Ben memegang kedua tangan Alya dengan erat. Ia menahan wanita itu untuk menamparnya. "Alya, kamu dengarkan aku dulu. Aku bisa jelaskan semuanya. Apa yang kamu lihat..."
"Pernikahan ini gunanya untuk apa?" Tanya Alya dengan suara lirih. Ia membuang wajahnya ke arah lain. Ben terdiam.
Alya berdiri dari tempat tidur. Ia melepaskan tangan pria itu darinya.
"Kamu mau kemana?" Ben menahan lengan Alya.
"Aku gak bisa lihat kamu sekarang. Aku gak bisa terlalu dekat dengan kamu." Alya berjalan ke arah luar. Ia duduk di sofa depan televisi. Ben mengejar Alya dan duduk disamping wanita itu. Ia masih menahan keresahannya. Bibirnya sudah sangat ingin menjelaskan.
Alya meraup wajahnya dan kesedihannya tak juga mereda. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Rasa mengganjal didalam hatinya ingin sekali meledak.
Ben menggeser duduknya mendekat ke arah istrinya.
Alya berdiri dari sofa itu ketika ia melihat Ben mendekatinya. Ia berjalan ke arah kamar kembali. Ben ikut berdiri dan berniat untuk mengikutinya.
Alya membalikkan tubuhnya menghadap belakang. "Kamu bisa gak, jangan dekat-dekat dulu dengan aku." Teriaknya.
"Alya kasi aku satu kesempatan untuk jelaskan semuanya sama kamu dari awal. Aku mau cerita semuanya." Pinta Ben.
"Apa yang aku lihat tadi udah menjelaskan semuanya, Ben. Kamu mau jelasin apa lagi?" Kekesalan Alya sudah mencapai ubun-ubunnya. "Kamu mau jelaskan ke aku, berapa kali kamu tidur dengan Elena. Berapa kali kalian jalan berdua?" Bebernya.
Ben menunduk dan menghela napasnya.
"Kamu jahat tahu gak!" Alya meneteskan air matanya. "Aku nungguin kamu dirumah sendiri, tapi kamu malah enak-enakan berduaan dengan Elena. Aku masak untuk kamu tapi kamu malah makan berdua dengan Elena. Aku mau ajak kamu jalan tapi alasan kamu selalu capek, capek. Tapi nyatanya kamu jalan sama Elena. Penjelasan apa lagi yang harus aku tahu?!?" Ungkap Alya. Ia menahan dadanya yang begitu sesak.
Ben menahan tubuh Alya yang terlihat rapuh. Namun wanita itu malah menepis tangannya.
"Aku kecewa sama kamu, Ben. Aku percaya sama kamu. Aku percaya kalau kamu bisa menjaga hati selama Elena ada di Hotel, tapi apa yang aku dapat?" Ia memukul dada Ben dengan sisa tenaganya.
Ben tidak bisa berkomentar apapun karena semua kalimat yang Alya berikan padanya tidak memiliki pengecualian apapun.
"Aku tahu kamu masih cinta dengan Elena. Aku juga tahu kalau waktu itu kamu masih berusaha melupakan Elena, tapi aku gak nyangka kalau kamu tega sejauh ini dibelakang aku."
Ben membalikkan tubuhnya dan meraup wajahnya yang lelah. Penyesalan memang selalu datang paling akhir, dan saat ini ia menyesalinya.
"Kamu lebih suka sarapan dengan Elena dari pada dengan aku." Ujar Alya pelan. Ia menyeka air matanya.
"Alya cukup!" Ben memutar tubuhnya kembali dan memohon pada wanita itu.
Alya memandang wajah Ben dengan lirih, "Aku gak mau lihat kamu lagi!" Ucapnya. Ia berbalik dan menuju kamar lalu menguncinya tanpa menyisakan apapun. Ben mengejar istrinya namun sudah kalah cepat. Ia hanya bisa meraba daun pintu itu dan berharap apa yang dikatakan oleh Alya barusan hanyalah emosi.
Dewa berjalan ke arah lift ketika ia sudah menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Ia bisa pulang awal walaupun besok adalah hari terakhir sekolahnya sebelum libur akhir tahun. Tiba-tiba bahunya ditarik oleh seseorang. Dewa terkejut dan menoleh.
Mita berdiri dibelakangnya. "Alya gimana tadi?" Tanyanya. Ia baru sempat menanyakan hal itu sekarang.
Dewa menunjukkan wajah murungnya. "Sedih, mbak."
Mita menarik napas dalamnya. "Gimana nasib Alya sekarang? Ditinggalin sama Rama. Diputusin sama Yogi, sekarang diselingkuhin sama Ben." Sedih hatinya memikirkan hal ini.
Dewa menatap lantai dibawahnya. Ia tahu saat ini harusnya ia bisa memahami kondisi wali kelasnya, tapi baru saja ia berucap didalam hati, kalau saja ia terlahir lebih awal dan tidak menjadi murid Alya, mungkin saat ini ia sudah mencintai wanita itu dengan sepenuh hatinya.
Ben menyandarkan tubuhnya di daun pintu kamarnya. Ia menekuk kedua lututnya dan menatap kaki lemari kabinet didepannya.
Alya bersandar didinding tempat tidurnya sambil menenggelamkan wajahnya didalam lipatan lututnya. Kenapa rasa sedihnya tak juga hilang. Setiap kali ia berusaha untuk tenang, kembali terbayang pikirann nakalnya membayangkan Ben berdua dengan Elena dan meninggalkannya seorang diri dirumah.
Alya menegakkan tubuhnya dan sorot matanya berubah kelam. Ia begitu terpukul menerima kenyataan yang merupakan mimpi buruk baginya. Tidak pernah terlintas dipikirannya kalau Ben akan benar-benar mengkhianatinya.
Kenapa aku tidak bisa bahagia, katanya pelan. Kenapa aku selalu berakhir seperti ini, ucapnya lagi. Aku kira Ben adalah orang terakhir yang aku sayang tapi kenapa begini jadinya, serunya pelan. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Ben mendengar suara tangis Alya didalam kamar. Rasa penyesalannya semakin besar. "Al, aku tahu kamu bisa dengar aku sekarang." Ucapnya.
Tangis Alya berhenti dan hatinya menyuruhnya untuk mendengarkan kalimat Ben.
Ben menarik napas dalamnya. "Aku salah, Alya. Aku minta maaf." Ia diam sejenak. "Semuanya terjadi sehari sebelum pernikahan kita." Ujarnya.
Alya menutup mulutnya karena ia mendengar kalimat 'sehari sebelum pernikahan kita'
"Aku datang ke apartemen Elena cuma untuk menolong dia dari Roy. Tapi aku malah melakukannya."
Alya menarik selimutnya dan menutup mulutnya yang siap meraung karena terkejut.
Ben menarik napasnya dalam. "Pertama kali, aku tahu itu salah. Aku merasa sudah mengkhianati kamu. Aku ingin memperbaiki tapi aku terjebak lagi dalam situasi yang membuat aku tidak bisa melepaskan Elena." Helaan napas beratnya terdengar disana. "Aku melakukannya beberapa kali." Sambungnya. Ia ingin mengakui semua kesalahnnya.
Alya sudah tidak dapat menahan kesedihannya. Ia membiarkan dirinya menangis saat ini. Penjelasan yang harus ia dengar malah membuatnya tak berdaya. Pria itu bukan hanya sekali tapi sudah beberapa kali. Sedangkan hubungan mereka selama pernikahan ini hanya terjadi dua kali.
"Alya, aku minta maaf." Ucap Ben lemah.
Pintu itu terbuka tiba-tiba dan Alya berdiri menatapnya dengan wajah muram. Ben menoleh kaget dan langsung berdiri dari tempatnya.
"Dulu aku merasa Elena wanita paling jahat, karena dia meninggalkan kamu yang sayang banget sama dia cuma buat Roy. Tapi sekarang, ternyata kamu lebih jahat dari Elena. Karena kamu kembali dengan perempuan yang udah buat tiga tahun kamu gak ada artinya." Ujarnya sedih.
Ben selalu tidak bisa mematahkan kalimat Alya yang benar-benar menggambarkan dirinya.
"Aku menikah sama kamu, karna aku percaya kalau kamu tidak akan melakukan ini, tapi nyatanya aku salah besar. Kamu tidak bisa menghargai apa yang sudah kamu punya, kamu tidak belajar dari segala kesalahan yang sudah Elena buat." Alya menahan rasa sedihnya setiap kali ia mengingat alasannya menikahi pria itu. "Seberapa besar perjuangan aku untuk membantu kamu melupakan Elena gak ada gunanya kalau kamu sendiri masih ditempat yang sama."
Mereka berdua bertatapan sekilas. Alya membuang wajahnya ke arah lain karena ia tidak bisa menatap Ben lebih lama lagi. Hatinya terlalu sakit untuk memaafkan pria itu.
"Alya..." Ben ingin meraih kedua bahu wanita itu.
Alya mundur selangkah dan berkata, "Jangan sentuh aku!" Ia menatap kedua tangan Ben dengan tatapan jijik. "Tangan kamu lebih banyak untuk Elena daripada untuk aku." Ia berbalik dan menuju tempat tidurnya. Ben mengikuti langkah istrinya.
Alya menoleh ke belakang. "Keluar! Aku gak mau sekamar sama kamu!" Bentaknya.
Ben menggelengkan kepalanya.
"Keluar!" Pekiknya.
Ben masih menggelengkan kepalanya dengan sangat yakin.
Alya geram. "Kamu yang keluar atau aku yang keluar." Ancamnya.
Ben terdiam ditempatnya. Ia menarik napas beratnya sekali lagi. "Aku aja yang diluar." Ucapnya. Ia mengalah demi itu. Ia berbalik dan keluar dari kamar itu sambil menarik daun pintu itu.
***
Alya masih harus ke sekolah dan menyelesaikan tugas terakhirnya hari ini yaitu membagikan rapor murid dikelasnya. Ia melihat tampilan dirinya didepan cermin besar. Tak ada paras ayu dan semangat disana. Semua berubah menjadi kelam. Untungnya kelopak matanya langsung menghilang pagi tadi, namun perasannya terasa seperti kosong dan tak bermaya.
Alya keluar dari kamarnya dan ia melihat Ben sudah duduk di sofa dan menunggunya. Alya hanya melihat pria itu sekilas dan membuang wajahnya ke arah lain.
Ben berdiri dan menahan Alya dengan lembut. "Nanti kita bicara lagi." Katanya.
Alya melepaskan tangan Ben dari lengannya. Ia menatap pria itu sendu. "Aku udah pikirkan soal ini tadi malam. Aku rasa, aku gak bisa satu rumah lagi sama kamu." Serunya.
Ben menganga tak percaya pada apa yang didengarnya.
"Aku tidak butuh semua ini. Aku tidak butuh pernikahan ini. Untuk apa dilanjutkan kalau salah satunya sudah berbeda arah." Alya menelan ludahnya karena ia baru saja mengucapkan kalimat perpisahan yang paling halus.
Ben terduduk di sofa itu dengan sedikit membanting dirinya. Tatapannya kosong dan ia seperti baru saja mendengar kilatan petir dipagi hari.
"Kalau aku bisa mengulang waktu, aku bahkan gak tahu apa yang harus aku rubah pertama kali, membatalkan pernikahan kita atau menyuruh kamu menolak pembukaan galeri itu."
Ben menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia meraupnya dengan kasar. Ada rasa yang lebih besar dari sekedar penyesalan yang muncul dari dalam dirinya saat ini.
Alya menoleh sekilas dan kembali berkata. "Kalau kamu begitu mencintai Elena, tinggalkan aku. Kita selesaikan semuanya sampai disini." Lirih hatinya mengucapkan kalimat itu kepada pria yang disayangnyinya. "Aku tidak mau menjadi penghalang kamu lagi. Kamu bisa bebas menemui Elena tanpa harus sembunyi lagi. Begini lebih baik." Alya meninggalkan apartemennya dan pergi ke sekolah dengan membawa sebuah tas jinjing plastik yang berisikan rapor murid kelasnya.
Alya berjalan ke arah majelis guru dengan langkah lunglai. Ia sudah tidak bersemangat hari ini. Ia menoleh ke arah depan dan melihat Dewa sudah berdiri didepan Majelis guru dan memandanginya.
"Ibu baik-baik aja?" Sapa Dewa begitu wali kelasnya berdiri didepannya. Suaranya dibuat sepelan mungkin.
Alya mengangguk. Ia menggenggam tali tas jinjing plastik itu semakin erat.
Dewa melihat sekelilingnya sekilas. "Kalau ada apa-apa, Ibu tahu kan kemana harus mencari saya." Ucapnya lembut.
Alya menganggukan kepalanya lembut ke arah muridnya itu kemudian berlalu pergi menuju mejanya dia majelis guru.
***
Elena berada didalam lift yang membawanya menuju lobi. Ia melihat layar ponselnya dan menunggy kabar berita dari Ben. Sejak semalam pria itu tidak mengangkat teleponnya ataupun membalas pesannya. Ia ingin tahu apa yang terjadi setelahnya.
Elena berjalan lunglai menuju galerinya dan ternyata Ben ada didepannya berlawanan arah. Mereka bertatapan lekat. Elena mendekati pria itu namun Ben membuang wajahnya ke arah lain dan membelokkan langkahnya agak menyerong dari Elena supaya mereka tidak terlalu dekat.
Melihat gerak Ben yang menjauhinya, Elena enggan menghampiri pria itu. Ia melepaskan kepergian Ben menuju lift. Elena bisa merasakan perubahan pria itu padanya. Ia berbalik dan berjalan menuju galerinya.
Ben masuk ke dalam ruang kerjanya diikuti oleh Arif dibelakangnya yang sudah mengetahui jalan cerita itu. Ben memutar kursinya menatap lapangan golf disampingnya. "Apa yang aku harus lakukan sekarang, Rif? Aku gak mau berpisah dengan Alya." Ujarnya pelan.
Arif menarik napasnya. "Tidak ada yang bisa anda lakukan, Pak. Bagi Ibu Alya ini adalah masa dimana dia terkejut dengan semua yang terjadi. Tidak ada celah untuk masuk karena dia punya banyak kecurigaan yang selama ini ia pendam. Semakin anda memaksa, beliau akan semakin membenci anda." Jelasnya lugas.
Ben memutar kursinya. "Jadi maksud kamu, aku harus membiarkan Alya pergi meninggalkan rumah?" Tak ada kemarahan diwajahnya selain kebingungan.
"Bukan membiarkan tapi memberikan. Beliau butuh ruang dan waktu untuk bisa berpikir dan mencerna semua yang ia baru tahu. Ibu Alya terlalu mempercayai anda, dan saat ini kekecewaannya terlalu besar untuk bisa dibujuk." Arif menunduk sejenak setelah ia mengucapkan kalimat itu. Ben menyandarkan bahunya yang lunglai di sandaran kursinya.
***
Dewa masuk ke dalam kelas setelah semua orang tua teman-temannya pulang. Ia mendekati meja guru dan menemui wali kelasnya yang sudah disana.
Alya memberikan senyumannya pada Dewa. Ia menunjukkan hasil rapor bocah itu. "Nilai kamu tidak terlalu buruk." Ucapnya.
Dewa melihat semua nilainya yang tuntas dan setidaknya tidak terlalu buruk. Ia melihat nilai Geografinya yang tertulis 90 disana dan merupakan nilai paling tinggi dari mata pelajaran lainnya. "Apa nilai sembilan puluh ini nilai tanda terima kasih?" Tanyanya.
Alya mengerutkan keningnya. "Saya harus tulis berapa disitu, kalau semua nilai ulangan harian geografi kamu seratus dan nilai ujian kamu kemarin sembilan puluh tiga." Bebernya.
"Dengan nilai segini saya bisa beli apa, buk?" Tanyanya penuh gurau.
Alya tertawa mendengarnya. Dewa senang melihat tawa wali kelasnya. Tawa itu harusnya tidak boleh hilang.
"Kamu ada rencana mau kuliah nanti?" Tanya Alya. Ia hanya ingin tahu apa rencana bocah itu ke depan.
"Ada, buk." Sahut Dewa dengan anggukannya.
"Baguslah." Komentar Alya. Ada rasa senang dirinya. Ia takut kalau bocah itu terlalu menikmati perkejaannya.
Dewa menatap wajah Alya. "Kenapa Ibu gak tanya apa alasan saya bekerja disana?"
Alya membalas tatapan bocah itu. "Saya tahu rasanya kesepian itu seperti apa. Melakukan semuanya serba sendiri, dan itu tidak enak. Setidaknya saya tidak perlu khawatir lagi kalau kamu akan bergaul dengan orang yang mungkin membawa pengaruh buruk untuk kamu." Cerita Alya.
Dewa menunduk malu dan ada rasa bangga didalam dirinya karena wanita didepannya ini mengerti alasannya.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.