Alya masuk ke dalam apartemennya dan ia melihat Ben sudah duduk disofa depan televisi dengan pakaian kerjanya seperti biasa. Mereka saling bertatapan sekilas.
Ben sengaja pulang lebih awal. Ia hanya datang ke kantornya dan menyerahkan semua pekerjaannya pada Arif sementara. Ia sedang tidak bisa berpikir apapun saat ini selain menahan istrinya untuk pergi.
Alya masuk ke dalam kamarnya dan langsung menuju kamar mandi. Begitu ia keluar, Ben sudah duduk di tepi tempat tidurnya sambil menatapnya sendu.
"Alya, tolong jangan pergi." Pinta Ben lirih.
Alya tidak menggubrisnya. Ia membuka pintu kamarnya lalu menoleh ke arah suaminya. "Aku gak mau satu ruangan kamu kamu. Keluar!" Perintahnya.
Ben berdiri dan mendekati wanita itu. "Alya..."
"Kamu yang keluar atau aku yang keluar?" Ancam Alya dengan kalimatnya yang membuat pria itu tidak bisa berkomentar banyak.
Ben menunduk dan mengalah lagi. Ia meninggalkan kamar itu. Dan dalam sekejap Alya menutup pintu kamarnya dengan keras. Ia berjalan ke arah wardrobenya.
Ben duduk di sofa depan televisi dan termenung. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan Alya keluar dengan membawa tas jinjingnya yang tak seberapa besar. Ben terus berdiri dan menahan wanita itu didepan pintu.
"Alya, kamu mau kemana?" Tanya Ben gusar. Ia melihat isi tas itu penuh seolah Alya menyimpan sesuatu yang penting disana.
"Aku mau pulang." Sahut Alya tanpa menoleh ke arah suaminya.
"Jangan, Al. Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan rumah ini." Pinta Ben gelisah.
"Rumah kamu disana, tempat galeri itu berdiri. Sedangkan ini cuma hotel buat kamu." Alya memegang erat tasnya.
Ben menggelengkan kepalanya. "Al, jangan bicara seperti itu." Ia memegang kedua tangan wanita itu.
Alya menepisnya dengan cepat. "Bicara seperti ini saja sudah membuat kamu tidak suka, apalagi aku yang membayangkan kamu tidur dengan Elena. Kamu bisa bayangkan sakitnya kayak apa?"
Ben menutup matanya rapat. Ia menahan segala gejolak amarah didalam dirinya yang hanya untuk dirinya.
"Harusnya kamu bisa membedakan cinta yang aku kasi dengan cinta Elena yang masih tertinggal di hati kamu. Elena meninggalkan luka disana sedangkan aku datang untuk menyembuhkannya. Tapi apa artinya kalau kamu masih ingin mengulang luka itu untuk kedua kali." Ucap Alya sedih. "Aku memilih kamu karena aku yakin kita bisa bahagia bersama dan menyebuhkan luka masing-masing." Ia menunduk dan menghela kesedihannya.
Ben menarik Alya ke dalam pelukannya hingga tas yang dipegang wanita itu terlepas. Ia merapatkan tubuhnya hingga wanita itu tidak memiliki celah untuk mendorongnya.
"Kamu tidak akan bisa melupakan Elena kalau kamu masih menyimpan puzzle itu." Ujar Alya ditelinga pria itu. Ia tidak membalas pelukan suaminya karena ia memang tidak ingin melakukannya.
Ben melepaskan pelukan itu dan menatap Alya dengan lekat.
"Kalau kamu ingin melupakan seseorang, harusnya kamu membuang kenangannya sampai hal terkecil." Alya mengambil kembali tasnya lalu meninggalkam apartemen itu. Ben tidak bisa berbuat apapun.
***
Alya menangis didalam kamar lamanya sebelum ia menjadi istri seorang Benjamin Malpis. Kamar yang dulu menjadi saksinya ketika ia putus dari Rama dan Yogi, kini menjadi saksinya menangis karena Ben. Ia sengaja tidak menghidupkan lampu kamarnya dan membiarkannya remang karena biasan cahaya dari arah luar.
Trisnah duduk didepan televisi dengan gelisah. Ia menoleh ke arah kamar Alya yang letaknya disamping kanannya. Helaan napasnya terdengar. "Alya kenapa, Pak?" Tanyanya pada suaminya yang menatap layar televisi.
"Apa?" Sahut Yusril pelan. Ia menggengam remot televisi didalam tangannya.
"Aku lihat dia bawa tas besar dan masuk kamar dari tadi gak keluar. Alya bertengkar dengan Ben kayaknya." Komentar Trisnah.
"Biarkan saja dulu. Biar Alya mengerti tentang hubungannya dengan suaminya." Nadanya begitu datar.
Trisnah menoleh kesal. "Pak, Alya itu baru menikah. Pernikahan mereka baru semumur jagung, harusnya Alya tidak boleh meninggalkan rumahnya." Suaranya kesal sekali.
"Tapi kita juga tidak boleh ikut campur. Ini masalah rumah tangga mereka, biar mereka selesaikan sendiri. Mereka sudah dewasa. Alya tahu mana yang terbaik untuknya."
Trisnah tidak menerima jawaban suaminya. "Selama ini Alya sudah ikuti keinginan bapak untuk jadi guru. Membiarkan dia menikah dengan duda, sekarang membiarkan dia bertengkar seperti ini. Kalau perceraian yang dipilihnya nanti bagaimana?" Tanyanya dengan nada emosi. "Alya mau letak mukanya dimana, didepan murid-muridnya. Wibawanya sudah tidak ada lagi." Tegasnya.
"Trisnah!" Sahut Yusril lantang. "Jangan pernah kamu sebut kalimat itu didepan Alya." Bentak Yusril. Ia mematikan televisinya dan masuk ke dalam kamar meninggalkan istrinya seorang diri disana.
Ben duduk dikursinya didepan meja makan. Sudah dua jam ia duduk disana dan termenung tanpa arah. Dari tempatnya tampak seluruh isi apartemennya. Suasana yang sunyi dan kosong membuatnya linglung. Tidak biasanya ia merasakan perasaan seperti ini.
Selalunya ada Alya yang akan akan bertanya padanya apa yang ia ingin makan, apa yang ia ingin minum. Tapi sekarang semua itu sudah tidak ada lagi. Bahkan suara televisi yang selalu menyala menemani istrinya setiap malam, mendadak hilang karena penikmatnya sudah pergi meninggalkan tempat itu.
Penyesalannya tidak akan pernah bisa mengulang apa yang sudah terjadi, termasuk menahan istrinya pergi. Jika ia bisa memutar waktu, maka ia akan memilih untuk tetap di Bali waktu perkenalan mereka pertama kalinya. Ia tidak akan mengambil penerbangan pagi hari dan akan memilih untuk mengambil jadwal yang sama dengan Alya. Dengan begitu, akan banyak waktu yang akan mereka habiskan bersama. Dan mungkin saat itu hatinya bisa dengan cepat mencintai Alya.
Dewa berdiri didepan pintu kamar 1702. Ia memegang ganggang trolley-nya dengan erat. Ia harus mengantarkan makanan kepada Elena saat ini. Dewa menarik napasnya sejenak dan mengetuk pintu itu.
Tak lama Elena membuka pintu itu dan muncul dengan baju mandinya. Wanita itu memberikan senyumannya menyambut makanannya. "Tolong letakkin di atas meja aja ya." Pintanya.
Dewa masuk ke dalam kamar itu dan melihat tampilannya yang rapi, tidak seperti terakhir kali ia melihatnya. Ia meletakkan piring makanan itu diatas meja.
"Terima kasih, ya." Ujar Elena lembut.
Dewa berbalik dan memperhatikan wanita itu yang membelakanginya dan menatap layar ponselnya yang sedang tersambung dengan kabel pengisian baterei. "Anda masih muda, dan anda sangat cantik. Tapi kenapa anda mengambil lagi barang yang sudah anda buang?" Tanyanya.
Elena menoleh kaget. Ia mengerutkan dahinya sambil berkata, "Sorry, maksud kamu bicara begitu apa?" Tanyanya balik.
"Barang yang sudah anda buang tidak seharusnya anda pungut. Walaupun rasanya masih sama tapi nilainya sudah berbeda." Kata Dewa.
Elena masih tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh pelayan didepannya ini. "Kamu ini siapa sebenarnya?"
"Dengan segala yang anda punya, anda bisa mendapatkan apapun tanpa harus mengambil milik orang lain." Dewa memasang wajah datar.
Elena berjalan ke arah pintu arnya dan membukanya dengan napas kesal. "Bisa keluar sekarang?" Tegasnya.
Dewa berjalan menuju pintu kamar itu dengan santai. Namun langkahnya tidak begitu saja pergi, ia berhenti didepan Elena dan berkata, "Harusnya anda malu tinggal disini, apa yang anda lakukan dan anda sembunyikan sudah bukan rahasia lagi. Semua karyawan di hotel ini sudah tahu, termasuk pergawai part-time seperti saya." Dewa meninggalkan kamar itu dan pergi mengantar pesanan makanan yang lainnya.
Elena menutup pintu itu dan kesal teramat sangat. Ia dibebankan oleh kalimat itu. Ia mengambil ponselnya lalu menelepon nomor Ben. Beberapa kali tersambung namun tidak sekalipun dijawab. Elen mencobanya sekali lagi namun tetap saja. Hingga akhirnya, ponsel tidak bisa dihubungi.
Ben meletakkan ponselnya diatas meja kerjanya. Melihat mama Elena muncul tidak membuatnya tertarik. Ia berharap Alya akan meneleponnya atau sekedar mengirimkan pesan padanya. Nyatanya, wanita itu benar-benar membiarkannya.
***
Yusril keluar dari kamarnya dan melihat bapaknya tengah duduk di teras rumah sambil mendengarkan siaran radio pagi. Ia bergerak menuju kamar mandi dan membersihkan sedikit tubuhnya dari kemarin sore.
Selesai mandi, Alya melihat bapaknya duduk di meja makan sedang meneguk kopi hitamnya.
"Sini sarapan, sama-sama." Panggil Yusril sambil mengangguk pada putrinya.
"Bentar, Pak." Alya menuju kamarnya dan meletakkan handuknya sesaat.
Yusril memperhatikan wajah putrinya yang sayu dengan kelopak atasnya yang tampak tebal. Trisnah juga melihat hal yang sama. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
Alya mengambil roti isi srikaya dari dalam plastik pembungkus. Ia menggigitnya pelan. Tak ada rasa lapar yang muncul saat ini, tapi ia tahu kalau dirinya lapar dan perlu makan. Karena sejak kemarin siang ia belum mengisi perutnya.
"Alya, Ben kemana?" Tanya Trisnah. Ia melirik suaminya sesaat.
"Lagi keluar kota, buk." Jawab Alya pelan.
"Ya sudah, tidur disini saja dulu sampai suaminya pulang. Sendirian dirumah juga gak baik." Komentar Yusril. Trisnah mencubit paha suaminya pelan karena tidak mencari tahu.
"Alya ke kamar dulu, ya." Ia membawa roti serta tehnya ke dalam kamar.
"Bapak ini gimana sih, bukannya cari tahu malah dibiarkan gitu aja." Marah Trisnah.
"Alya itu masih sedih. Dia belum mau cerita ke kita kenapa. Tunggu sampak besok, baru aku tanya sama Alya." Ujarnya lugas.
Trisnah menghela napasnya, "Aku gak yakin, Ben keluar kota." Uangkapnya. Yusril hanya bisa diam saja.
Alya meletakkan roti dan tehnya diatas meja kerjanya. Ia kembali berbaring diatas tempat tidur dan memeluk gulingnya dengan erat kemudian menenggelamkan kepalanya disana. Ia berharap rasa sedihnya bisa menghilang saat ia bangun pagi tadi, nyatanya tak semudah yang dipikirkannya.
***
Ben menghentikkan mobilnya beberapa meter dari rumah orang tua Alya. Ia berdiam disana dan memandangi pagar rumah itu. Keberaniannya tidak sebesar dulu, ketika ia datang kesana dan mendekati Alya. Ia tahu kesalahnnya dan ia tidak tahu bagaimana cara menebusnya.
Matahari yang mulai terbenam membuat sekitarnya menggelap. Bias cahaya oren dan kekuningan menenbus melalui jendela mobilnya. Sudah dua puluh empat jam ia tudak melihat wajah Alya, dam rasanya tidak mengenakan. Ben ingin sekali bisa dengan tegar masuk kesana dan mengajak Alya pulang.
Alya bangkit dari tempat tidurnya setelah ia bergulat dengan pikirannya sendiri sejak siang. Ia memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk bisa melampiaskan amarahnya. Tidak bertemu Ben, bukan membuat dirinya tenang melainkan malah membuatnya memikirkan hal yang tidak-tidak. Mungkin saja Ben dengan Elena saat ini menikmati kebebasan mereka. Hati Alya semakin sedih.
Alya keluar dari kamar dan melihat bapaknya sedang duduk diteras depan sambil menikmati angin malam yang semilir berayun. Ia mendekati bapaknya dan duduk disebelah pria tua itu.
Yusril menoleh ke arah Alya dan tersenyum tipis pada putrinya. "Gimana nilai murid-muridmu dikelas?" Tanya pria itu sekedar basa-basi.
"Baik, Pak." Jawab Alya. Ada kegugupan didalam dirinya yang membuatnya ragu unuk berbicara dengan bapaknya saat ini.
Yusril tahu putrinya ingin mengatakan sesuatu padanya. Ia sudah siap mendengarkannya.
"Pak." Paggil Alya ragu. Ia mempersiapkan kalimatnya terlebih dahulu. Keputusan yang sudah diambilnya ini sangat penting.
"Ada apa?" Tanya Yusril dengan intonasi tenang. Senyumannya menggelitik tipis.
"Alya... Alya..." jantungnya berdebar kencang dan kalimatnya terasa sulit saat ini.
"Ben kapan pulang dari luar kota?" Tanya Yusril. Ia tahu putrinya terlihat gugup saat ini.
"Hah?" Alya cukup terkejut dengan pertanyaan itu.
"Ben kapan pulang dari luar kota?" Yusril mengulang kalimatnya. "Kalau dia sudah pulang, jangan lama-lama kamu tidur disini. Kasihan suamimu sendiri dirumah." Ujarnya.
Alya terdiam. Ia menunduk dan menelan ludahnya. Ia sudah membohongi orang tuanya dengan mengaku kalau Ben pergi keluar kota.
"Pak, Alya... sama.... Ben..." ia tergagap saat ini.
Yusril menghela napasnya. "Kamu sudah pikirkan matang-matang keputusan yang kamu ambil ini? Sudah diskusikan dengan suaminya secara baik-baik?" Suaranya begitu tenang. "Semua itu tidak bisa diputuskan sebelah pihak. Kalian bukan anak kecil lagi dan kalian sudah sama-sama mengerti." Ungkapnya.
Alya terdiam. Ia menunduk dengan perasaan sedih.
"Apa sesulit itu sampai tidak bisa bertemu dan menghindari seperti ini?"
Alya bingung dengan maksud bapaknya. Ia menoleh meminta jawaban.
Yusril memandang putrinya. "Tadi bapak lihat mobil Ben lewat didepan rumah kita sebelum maghrib. "
Alya semakin sedih. Kenapa pria itu muncul dirumahnya dan membuatnya terlihat seperti orang jahat.
"Apa sebesar itu kesalahannya?" Tanya Yusril lagi.
Alya merenung. Ingin sekali ia mengucapkan kesalahan suaminya tapi entah kenapa ia menahannya.
"Pulanglah, temui suamimu dan bicarakan baik-baik. Ambil keputusan bersama supaya tidak ada penyesalan kemudian hari." Ucap Yusril. "Temui Ben sekali lagi untuk memastikan kalau keputusanmu adalah yang terbaik." Pungkasnya. Ia bangkit dari kursi itu lalu melewati putrinya dan menepuk bahu Alya pelan. "Bapak sayang sekali sama kamu, nak." Ucapnya sebelum masuk.
Alya meneteskan air matanya. Kalimat bapaknya barusan seperti air es yang melerai api panas didalam hatinya
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.
Ps: Ayo yg baca mana suaranya. Tunjukkan kesukaan kamu sama cerita ini dengan vote dan komentar. Jan lupa masukkan ke library kalian. Tag ya kalo lagi spam.
xoxo!!!