Alya kembali mengisi laporan hasil semester muridnya. Dan ia sedang menulis diatas kertas milik Dewa. Senyumnya mengembang karena nilai bocah itu memuaskan. Tidak ada yang tidak tuntas. Tak sengaja matanya melihat tanggal lahir Dewa yang menarik perhatiannya.
Tanggal 30 Desember adalah hari ulang tahun Dewa. Selama ini ia selalu tidak pernah merayakan atau mengucapkannya sama sekali. Dan tanggal itu akan tiba minggu depan. Dimana sekolah sudah libur dan dirinya pasti tidak akan bertemu dengan Dewa. Alya merasa mungkin baiknya ia tetap melakukan seperti biasanya, tidak merayakan apapun.
Ponsel Alya berbunyi dan muncul nama Irma yaitu Mama Dewa yang meneleponnya dengan kode Amerika. Alya mengangkat panggilan itu.
"Halo, buk." Sapanya.
"Apa kabar ibu Alya?" Sapa Irma lembut.
"Baik. Ibu apa kabar? Saya dengar ibu katanya sakit." Alya merasa sudah akrab dengan wanita itu.
Tawa Irma terdengar pelan. "Sudah agak mendingan sekarang."
Alya merasa sedikit lega mendengar wanita itu sudah membaik.
"Ibu Alya, kata Dewa lusa pembagian rapor ya?" Tanya Irma.
"Iya, buk. Jam 9 sudah dimulai."
Irma diam sejenak. "Gimana ya buk, sepertinya tahun ini rapor Dewa tidak ada yang bisa ambil, seperti biasanya buk. Saya tidak bisa datang dan papanya juga tidak bisa. Hmm, apa bisa rapornya saya ambil pertengahan bulan januari saja? Sekitar bulan itu saya berencana ke Indonesia." Jelasnya.
Alya menghela napas beratnya. Ia merasa kasihan pada Dewa. "Ya sudah buk, tidak apa-apa." Katanya. Ia mendengar Irma batuk beberapa kali. "Saya sudah dengar cerita dari Papa Dewa yang bilang katanya Ibu mau Dewa ke Amerika liburan kali ini." Ia diam sejenak. "Apa perlu saya bujuk Dewanya?" Usulnya.
"Tidak perlu, buk." Sanggah Irma. "Kalau Dewa sudah bilang tidak mau, tidak perlu dipaksa. Mungkin dia sudah ada janji lain liburan kali ini." Katanya. "Sebenarnya saya mau merayakan ulang tahunnya kali ini. Semenjak dia pindah ke Papua, saya tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Tahun ini dia sudah 20 tahun." Ungkapnya. "Dulu sempat nganggur setahun waktu pindah ke Australia." Sambungnya.
Rasa iba Alya untuk Dewa muncul. "Apa Dewa ada rencana kuliah, buk?"
"Saya pernah sempat tanya soal itu tapi dia gak pernah mau jawab." Kata Irma.
Alya merenung sejenak.
"Ya sudah buk, saya mau sampaikan itu saja. Tolong jaga Dewa ya, buk." Pintanya penuh harap seolah permintaan itu sudah terbiasa baginya.
Alya mengangguk paham. "Pasti, buk." Ia menutup sambungan telpon itu. Laporan Dewa didepannya membuatnya melamun jauh.
Bocah yang dulu muncul dikehidupannya yang baik-baik saja ternyata malah membuatnya memiliki reputasi buruk disekolah. Tapi sampai saat ini ia masih menjaga dan membimbing Dewa agar bisa bertahan dan menyelesaikan sekolahnya seperti keinginan orang tua bocah itu walaupun ia harus bersembunyi dari pandangan guru-guru yang lain. Tiba-tiba saja ia ingin merayakan ulang tahun bocah itu yang mungkin terkahir kalinya bisa ia lakukan.
***
Alya memasuki apartemennya yang sepi dan sunyi. Hari ini ia pulang lebih awal dari sekolahnya dan berencana untuk melanjutkan mengisi laporan muridnya yang masih tersisa lima orang. Ia duduk di meja makan dan melanjutkan kembali kegiatannya.
Samar-samar terbayang diingatannya tentang kejadian tadi malam yang menguras tenaga dan emosinya. Perasannya seperti diaduk-aduk oleh pertengkarannya dengan Ben. Pria itu bahkan tidur di sofa dan memilih untuk tidak berbicara apapun bahkan hingga pagi tadi.
Bukan maksud Alya untuk mencurigai atau menuduh Ben. Tapi ia juga tidak bisa membohongi perasannya kalau ia memiliki firasat yang tidak enak yang membuatnya harus memikirkan skenario terburuk atas suaminya. Belum lagi soal perubahan sikap Ben, parfum yang tercium dan hal lainnya yang membuat Alya harus bertanya dan membicarakan hal itu pada Ben.
Tapi Alya masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya. Ia teringat soal kalimat Mita yang mengatakan kalau di Hotel banyak gosip yang beredar. Alya termenung sejenak. Ia memikirkan banyak kemungkinan yang mungkin Mita ketahui tapi tidak memberitahunya. Alya harus menemui sahabatnya itu dan mencari tahu. Ia menyelesaikan sisa laporan muridnya dan mengganti pakaiannya kemudian menuju hotel.
***
Alya memarkirkan motornya di basemen Hotel Malpis. Ia menoleh ke arah parkiran mobil dan tidak melihat mobil Ben disana. Lagipula bukan pria itu yang ingin ditemuinya melainkan Mita. Ia berjalan ke arah lift untuk menuju lobi.
Alya keluar dari lift dan berjalan ke arah restoran western dan ia tidak sengaja melihat galeri Elena yang selama ini belum pernah dilihatnya. Lebih tepatnya semenjak menikah, ia jarang ke Hotel lagi. Ia melihat wanita itu tengah mengunci pintu galerinya.
Alya berusaha mengabaikannya dan berjalan ke arah tempat kerja sahabatnya. Ia disambut oleh seorang pelayan yang sudah mengenalnya.
"Eh, mbak Alya udah lama gak main kesini." Sapa pelayan itu ramah.
Alya memasuki restoran itu lebih dalam. "Mitanya ada?" Tanyanya.
Pelayan itu menggelengkan kepalanya, "Enggak ada, mbak Alya. Mbak Mitanya pergi keluar."
"Udah lama?"
"Udah dari setengah jam yang lalu."
Mendengar hal itu membuat Alya putus asa. "Masih lama gak ya baliknya?"
"Saya kurang tahu."
Alya merasa mungkin belum saatnya ia bertanya hal ini kepada Mita. "Ya sudah, nanti kalau Mita pulang tolong sampaikan saya datang ya." Pesannya.
"Iya, mbak." Pelayan itu memberikan senyumannya.
Alya keluar dari restoran itu dan berjalan lunglai ke arah lift. Kedatangannya kesana hanya sia-sia. Ia tidak mendapatkan apapun. Alya menoleh ke arah depan dan langkahnya terhenti ketika ia melihat Elena juga berdiri didepan lift dan baru saja menoleh ke arahnya.
Elena terkejut ketika ia melihat Alya berjalan ke arahnya saat ini. Ia menelan ludahnya karena ia harus hati-hati dalam bersikap dan berbicara. Langkah kaki Alya terasa berat sekali untuk berjalan ke arah Elena.
"Kamu lagi ngapain disini?" Tanya Elena basa-basi. Senyumannya mengembang tipis.
Alya berdiri disamping kiri Elena dan menekan tombol lift menuju bawah. "Aku tadi rencananya mau ketemu teman. Tapi orangnya gak ada." Jelasnya berusaha ramah, walau nadanya bergetar. Ia gugup bersebelahan dengan Elena.
"Kamu kenapa gak bareng, Ben?" Tanya Elena. Bukan maksudnya menginggung pria itu. Ia hanya ingin beramah-tamah.
Alya menoleh sekilas. "Aku lihat tadi mobilnya gak ada. Mungkin dia lagi meeting diluar." Jelasnya. Elena mengangguk paham. Ia tidak bersuara lagi.
Tiba-tiba pendingin ruangan disekitar mereka berhembus hingga membuat Alya mencium aroma yang sudah membuat dirinya berdelik penasaran. Aroma yang muncul dari Elena yang berdiri disamping kanannya.
Alya menoleh dan menatap Elena lekat. Ia menajamkan hidungnya. Benar saja, bau parfum itu begitu kuat hingga bisa dihapalnya. Ini adalah bau yang sama yang menempel pada kemeja Ben belakangan ini. Alya mulai berpikir yang tidak-tidak.
Elena melihat Alya menekan tombol lift ke arah bawah. "Kamu mau pulang?" Tanyanya.
Alya ingin bertanya tapi bisa saja hanya kebetulan. Lagipula Elena bisa saja mengelak dengan apa yang akan ia tanyakan kelak. Alya menoleh lagi ke arah Elena disebelahnya. Ia melihat dress merah yang digunakan oleh wanita itu, dan ia mengenalnya. Itu adalah dress yang ia ingin beli sewaktu di Bali kemarin. Tapi ia kalah cepat dengan Ben yang sudah lebih dulu membelinya saat itu. Saat dimana mereka belum mengenal satu sama lain. Waktu itu Alya berpikir kalau dress itu untuk kekasih Ben, tapi nyatanya untuk Elena. Yang artinya, setelah itu Ben bertemu dengan Elena kembali untuk memberikan dress itu. Alya merasa separuh hatinya sudah terluka.
"Kamu mau kemana?" Tanya Alya ingin tahu. Nadanya terdengar pelan.
"Oh..." Elena seperti gugup. Ia terlanjur menekan tombol ke atas. "Emm... aku mau ke lantai enam." Katanya. "Mau bertemu dengan Direktur Utama." Sambungnya. Ia berusaha menarik garis senyumnya.
Pintu lift terbuka dan beberapa orang keluar dari dalamnya. Alya masuk ke dalam lift dengan beberapa orang yang masih tersisa didalamnya. Elena memberikan senyumannya dan melepaskan kepergian wanita itu. Alya tidak membalas senyuman Elena sedikitpun. Ia tidak ingin. Alya keluar dari lift dengan hati yang mengganjal. Langkah kakinya terasa berat sekali untuk meninggalkan tempat itu.
Pintu lift Elena terbuka dan ia menekan angka tujuh belas untuk menuju kamarnya dan berisitirahat sejenak. Pasalnya ia belum istirahat saat makan siang tadi. Tidak ada hal yang ia perlu takuti ketika Alya sudah pulang.
Alya berjalan ke arah parkiran dengan lunglai. Sorot matanya sendu dan ia ingin menangis saat ini.
"Alya!" Panggil seseorang entah dari mana. Suara itu bergema dibasemen tersebut.
Alya menoleh dan ia melihat Mita berjalan ke arahnya dengan setengah berlari. Alya mengejar Mita dan memeluk sahabatnya itu.
"Lo kenapa?" Tanya Mita gelisah. Jika Alya memeluknya, artinya sahabatnya itu tengah bersedih dan butuh teman cerita.
"Gue mau bicara sama lo." Kata Alya lirih.
"Sama, gue juga mau bicara sama lo. Ke atas dulu yuk." Ajaknya. Alya mengangguk dan mengikuti langkah temannya itu.
Elena masuk ke dalam kamarnya dan mengecek seisi kamar itu untuk memastikan kalau Ben tidak ada di kamarnya. Ia takut kalau tiba-tiba Alya menangkap basah dirinya dengan Ben. Elena merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur dan memejamkan matanya sejenak. Kemudian ia membuka pakaiannya dan menuju kamar mandi. Ia ingin berendam saat ini.
Alya duduk di dalam restoran Mita. Ia menunggu sahabatnya itu untuk menyelesaikan urusannya lebih dulu. Perasaan Alya sudah tidak enak saat mendengar kalau Mita juga ingin berbicara dengannya.
"Al, lo bisa tunggu bentar gak? Gue harus ke atas nih ketemu Manajer F&B, dia tadi mau ketemu gue. Bisa kan?" Tanya Mita. Urusan kerjanya tidak bisa ia tinggalkan.
Alya mengalah. Lagipula itu adalah resikonya datang dijam kerja seperti ini. "Iya gak apa. Gue tunggu disini." Ia mengangguk pelan.
"Lo tunggu ya. Kelar ini kita bicara panjang lebar." Seru Mita sambil berjalan ke arah luar restoran.
"Mbak Alya mau minum apa?" Tanya pelayan yang sebelumnya berbicara dengannya.
"Gak usah." Ia menolak untuk minum karena bukan itu tujuannya.
Mita tiba di lantai enam dan ia berjalan ke arah ruang Manajer F&B yang berada disebelah kanan lift. Tak sengaja matanya menoleh ke arah kiri dan melihat Ben berdiri didepan meja resepsionisnya. Mita mengerutkan dahinya, tapi langkah kakinya terus berjalan ke arah berseberangan.
"Mbak, Pak Santo nya ada didalam?" Tanya Mita pada sekretaris Manajer F&B itu.
"Ada Mit, tapi bentar ya lagi ada ada telpon penting." Katanya.
Mita mengangguk paham. Ia menoleh ke arah lift dan melihat Ben dengan seorang karyawan hotel lainnya masuk ke dalam lift. Kening Mita semakin berkerut karena ia ingin tahu kemana Ben pergi. Sesuatu menggerakkan hatinya untuk menuju ke arah lift dan ia mengikutinya. Lift itu berjalan menuju lantai lima belas. Mita masih menunggu dan lift itu berhenti dilantai tujuh belas. Benak Mita dibuat berdesir. Kenapa lift itu harus berhenti dilantai yang sudah dicurigainya.
"Mita!" Panggil sekretaris F&B itu.
"Iya, mbak." Mita melangkah ke arah suara yang memanggilnya. Ia harus menyelesaikan urusan pekerjaannya kemudian mencari tahu soal lantai tujuh belas.
Alya merasa resah duduk dan menunggu di restoran itu. Ia berdiri dan berjalan keluar restoran untuk mencari udara segar dan menangkan dirinya. Tapi ia malah melihat siluet yang sangat dikenalinya tengah membelakanginya dan memakai seragam restoran buffet. Alya melihat Dewa tengah mengambil piring-piring kotor di restoran itu.
Alya setengah berlari mengejar Dewa. Ia mendekati bocah itu. "Dewa!" panggilnya.
Dewa menoleh dan terkejut sekali saat melihat Alya berdiri didepannya dengan tatapan penuh tanya.
"Kamu kerja disini?" Tanya Alya masih setengah tidak percaya.
Dewa tergagap. "Emm... buk, saya..." ia sulit menjelaskan.
Alya memperhatikan Dewa mndorong trolley piring kotor. "Pantesan tangan kamu rusak, karna kamu mencuci piring setiap hari." Ujarnya dengan sedih.
Dewa menunduk. "Maaf buk. Saya sembunyi selama ini karena saya takut kalau Ibu akan melarang saya kerja." Ungkapnya.
Alya menggelengkan kepalanya. Ia merasa menjadi orang paling jahat karena ditakuti oleh muridnya hanya karena bekerja. "Sudah berapa lama kamu kerja disini?"
"Setahun lebih, buk." Jawabnya.
Ben berdiri didepan kamar Elena dan melihat sekelilingnya. Ia mengeluarkan master cardnya dan masuk ke dalam kamar itu. Ben tidak melihat apapun didalam kamar itu kecuali pintu kamar mandi yang tertutup.
"Elena." Panggilnya sambil mengetuk pintu kamar mandi.
"Kamu sudah datang?" Jawab Elena. "Sebentar ya, aku mandi dulu." Katanya. Ia keluar dari bathtub dan membersihkan tubuhnya.
Ben menunggu di kursi yang biasanya ia duduki. Ia membuka jasnya dan meletakkannya di atas tempat tidur. Ia melonggarkan dasinya dan sejenak melepas penat disana.
Alya menatap Dewa dengan tatapannya yang berubah serius. "Berarti kamu kenal Ben sudah lama?" Tanya Alya.
Dewa terdiam. Tenggorokannya tercekat.
"Waktu itu kamu berantem dengan Ben?" Ia teringat saat Ben pulang dengan wajah babak belur dan Dewa juga memiliki lebam yang sama saat ke sekolah.
"Buk, itu..." Dewa tidak siap menceritakannya. Wanita didepannya ini bisa rapuh.
"Bajingan yang kamu maksud itu Ben?" Tanya Alya lagi. Ia belum mendapatkan jawaban sebelumnya tapi kepalanya sudah menyuruhnya untuk terus bertanya. "Selama ini Ben selingkuh dari saya?" Matannya mulai berair kembali.
Dewa tidak bisa melihat wanita didepannya ini menangis. "Saya pernah melihat mereka pergi bersama... dan... berdua dikamar." Ceritanya.
Alya merasa hatinya hancur seketika. Semua protes yang Dewa berikan padanya selama ini benar, dan ia tidak pernah percaya. Kepercayaan yang ia berikan pada Ben selama ini sudah didustai oleh pria itu.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA