Alya kembali membaca kertas didepannya dan lima menit kemudian hp nya kembali berdering. Ayah Dewa meneleponnya.
"Halo, buk?" Sapa pria itu.
"Iya pak, jadi bagaimana?" Sahut Alya.
"Mama Dewa sudah dalam perjalanan menuju ke sekolah untuk menemui ibu. Nanti dia akan menjelaskan semuanya." Jelas pria itu.
"Oh begitu ya, pak." Alya terlihat gusar. Ia berpikir kira-kira apa yang akan dibicarakan oleh mama Dewa hingga harus menemuinya disaat putranya tiga hari tidak masuk tanpa berita.
"Buk," panggil ayah Dewa. "Ibu bisa simpan nomor saya ini. Kalau suatu saat ada yang ibu ingin tahu atau beritahu, ibu bisa hubungi saya." Ujarnya. "Tolong jaga anak saya ya, buk. Saya titip Dewa dengan ibu. Tolong jaga dia dan bimbing dia." Pesannya.
Bulu kuduk Alya meremang. Perkataan pria itu seperti sebuah perpisahan. Pikiran Alya semakin tidak karuan.
"Buk, maaf ya. Saya harus kembali kerja sekarang." Pria itu pamit terlebih dahulu.
"Oh iya, pak. Maaf mengganggu waktunya." Belum sempat Alya menutup teleponnya, pria itu sudah lebih dulu menutupnya.
Tak butuh waktu lama, sepuluh menit kemudian mama Dewa muncul seorang diri dengan koper kecil yang dibawanya.
"Maaf buk saya Irma, mamanya Dewa Bastian." Wanita itu mengulurkan tangannya. Wajahnya masih tampak muda dengan rambut hitam ikal sebahu dan tubuh langsing.
"Oh iya. Saya Alya wali kelas Dewa, buk." Alya menyambut uluran tangan itu. "Mari kita bicara diruang lain saja." Ajaknya. Mereka duduk di ruang osis yang saat itu kosong. Untungnya Alya tidak ada kelas mengajar saat itu.
Wanita itu duduk kemudian menarik napas dan Alya langsung mengajukan kalimat. "Maaf ya, buk. Ibu sampai harus kesini."
Wanita itu melambaikan tangannya dengan senyum diwajahnya, "Enggak buk. Saya memang berencana datang kesini hari ini. Cuma tadi mampir ke tempat lain dulu." Ia diam sesaat. "Saya tahu Dewa tidak masuk ke sekolah tiga hari karna kemarin itu dia pergi ke Medan untuk mengunjungi makam neneknya. Dia sudah suruh saya datang dari dua hari yang lalu tapi saya tidak bisa meninggalkan rumah." Ia tertawa kecil. Alya juga ikut tertawa. Ia merasa kasihan dengan Dewa.
"Papanya Dewa pasti sudah cerita tentang keadaan kami." Tanyanya.
Alya mengangguk pelan. Muncul perasaan tidak enaknya karena mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
"Waktu kami bercerai, umur Dewa lima tahun. Saya titipkan dia ke tempat ibu saya di Medan. Dewa tinggal disana selama tiga tahun. Kemudian ibu saya meninggal dan saya ajak Dewa ikut saya ke New Zealand." Ia tersenyum kecil. "Ibu tahu lah, gimana jadinya kalau anak kandung kita tinggal serumah dengan anak tiri kita. Serba enggak suka, serba berantem, serba iri, dua tahun Dewa bertahan disana. Setelah itu dia minta pulang ke Medan. Tapi saya melarang." Ia berhenti sejenak.
Alya menarik napasnya pelan mendengarkan cerita yang menarik simpatinya untuk Dewa.
"Kalau saya pulang, saya gak punya waktu untuk ke Medan, artinya saya gak bisa ketemu dengan Dewa. Dan papanya juga. Setiap kali dia trip kerja selalu ke Jakarta. Dia juga gak mau kalau Dewa ke Medan. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa Dewa ke Papua ikut papanya." Ia tertawa kecil mengingat semuanya. "Disana dia cukup betah karna mantan suami saya punya anak bayi dan Dewa sayang sekali sama adiknya. Tapi disana dia gak punya teman, gak punya kehidupan sosial. Semua serba jauh, semua serba mahal, makanya dia minta pulang ke Medan." Wanita itu menghela napas. "Balik lagi buk, saya dengan mas Irwan gak setuju kalau Dewa di Medan, kami tidak bisa bertemu dengannya. Kami ambil jalan pintas yaitu mengijinkan Dewa hidup mandiri di Jakarta."
Alya mengangguk paham akan penjelasan wanita ini.
"Jujur saja buk, saya berat sekali meninggalkan Dewa hidup sendiri. Tapi papanya Dewa meyakinkan saya kalau anaknya udah besar dan bisa mengurus dirinya sendiri. Semua pengalaman hidup bisa dia jadikan pelajaran ke depannya. Papanya sudah banyak sekali mengajarkan bagaimana mengurus diri sendiri dan sebagainya. Pelan-pelan saya terima." Jelas Irma dengan nada lemah.
Alya menelan ludahnya, "Jadi maksud ibu ketemu saya untuk apa?" Ia merasa inti penjelasannya sudah selesai dan tidak sabar mendengarkan klimaks dari percakapan ini.
"Dewa bilang sama saya, kalau wali kelasnya baik sekali dengannya, perhatian dengannya, sangat membimbingnya selama ini."
Alya menahan lonjakan emosi terkejutnya. Sejak kapan gue baik sama dewa, sejak kapan juga gue perhatian sama dia. Tuh anak gila kali ya, batinnya.
"Saya dengan papanya Dewa memang sudah merencanakan hal ini." Ia menarik napasnya. "Kami mau menitipkan anak kami kepada wali kelasnya. Kebetulan Dewa sangat menyukai wali kelasnya, jadi saya rasa pas sekali kalau saya meminta tolong sama ibu."
Alya menelan ludahnya. "Minta tolong apa, bu?"
"Saya minta tolong sama ibu, tolong jaga anak saya selama dia berada di sekolah maupun di luar sekolah. Tolong ibu bimbing dia dan kontrol dia. Ibu benahi tingkah lakunya, kadang-kadang dia suka kelewatan kalau bercanda atau berbicara."
Alya merasa pundaknya berat sekali seperti memikul batu bata yang sangat banyak. "Ibu, Dewa memang tanggung jawab saya disekolah. Tapi kalau di luar sekolah saya rasa, saya tidak bisa. Lagipun belum tentu Dewa mau saya benahi atau kontrol seperti permintaan ibu." Ia menolaknya halus. Bagiamana mungkin ia harus menjaga Dewa diluar sekolah. Ia juga punya kehidupan percintaannya yang harus ia jaga.
Irma memegang kedua tangan Alya dengan hangat. "Saya tahu buk, saya paham. Tapi ibu tidak perlu terlalu serius mengurus Dewa. Maksud saya, ibu perhatikan pergaulannya diluar. Kalau ada yang mencurigakan seperti dia ketahuan keluar malem atau balap liar atau pakai narkoba. Ibu bisa langsung bertindak tanpa harus menghubungi saya. Takutnya saya dan papanya Dewa sedang sibuk dan tidak bisa dihubungi." Ia meyakinkan Alya. "Saya mohon ya buk. Tolong jaga dan perhatikan Dewa."
Alya ingin sekali menolak. Tapi kenapa rasa kasihannya lebih besar dari pada rasa egoisnya. Saat ini didalamnya dirinya seperti ada dua orang yang sedang berdebat. Yang satu menyuruhnya menolak karena ia merasa tidak ada gunanya mengurusi hal muridnya. Tapi yang satunya lagi menyuruhnya mengiyakan permintaan wanita itu karena jiwa muda yang labil seperti Dewa sangat butuh bimbingan.
"Ini buk," Irma mengeluarkan secarik kertas berisikan beberapa nomor penting. "Ini nomor saya dan mas Irwan. Disini juga ada nomor kantor kami, ibu bisa telpon kalau saja hp kami tidak bisa dihubungi. Dan ini nomor hp Dewa dan nomor telpon apartemennya."
Alya hanya memandangi kertas itu tanpa menyentuhnya. Ia masih ragu. "Apa Dewa tahu soal ini?"
"Dia setuju." Irma mengangguk yakin. "Awalnya dia menolak dengan usul ini tapi setelah tahu wali kelasnya dia langsung telpon saya dan setuju." Ia mendekatkan kertas itu pada wali kelas anaknya.
Alya mengambil kertas itu dan menyimpannya dengan rapi didalam kantongnya.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!