"Saya senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan kamu," seru Agusman. Wajahnya tampak cerah. Pria paruh baya itu bahkan tidak mengenakan jas formal melainkan baju santai yang tipis dengan corak bunga serta kombinasi warna kuning dan merah. Tak lupa celana pendek bewarna hitam sebatas lututnya dan topi putih, seolah ia ingin pergi ke pantai.
Ben berjalan disamping pria tua itu menuju lobi hotel Malpis. Dibelakangnya ada Arif, General Manager, dan penanggung jawab bagian pengelolaan lokasi hotelnya.
"Saya sudah menunggu saat seperti ini. Sudah banyak persiapan yang saya siapkan untuk kerja sama kita." Ucap Agusman. "Selama ini saya hanya bertemu dengan papamu dan abang-abangmu di Bali seminggu sekali kalau kami bermain golf." Tambahnya.
"Mereka juga banyak cerita soal itu." Wajah Ben ramah sekali. Ia sengaja harus berbasa-basi didepan Agusman agar hubungan mereka lancar. Karena Agusman ini termasuk orang penting dalam bisnis hotel.
"Kalau begitu pertemuan kita berikutnya akan membicarakan soal galerinya." Ucap Agusman. "Hmm, bagaimana kalau dipertemuan itu saya ajak orang yang akan bertanggung jawab penuh atas galeri ini?"
"Baik kalau begitu, saya setuju. Sampai jumpa minggu depan." Ben sedikit menunduk menunjukkan kesopanannya pada pria paruh baya itu.
Agusman diam sesaat dengan wajah memperhatikan. Ia mengulurkan tangan pada Ben, "Kalau begitu saya pergi dulu."
Ben meraih tangan itu dan bersalaman. Mereka berpamitan dan melepaskan bayangan mobil Agusman keluar dari pekarangan hotel. Setelah mobil Agusman menghilang, Ben menoleh ke arah Arif dan bertanya, "Kamu tahu siapa penanggung jawab galeri itu?"
"Tidak, pak." Jawab Arif sambil menggeleng. "Apa perlu saya cari tahu?" Usul Arif.
"Tidak perlu." Jawab Ben. Ia berbalik dan menuju kantornya kembali. Ben tidak mau berpikiran yang belum tentu benar nantinya. Namun didasar hatinya terbesit nama seseorang yang memiliki standar Agusman sebagai penanggung jawab galerinya.
***
Motor ninja itu melaju di jalanan ibu kota yang tampak macet. Langit yang sudah mulai gelap tak membuat si pengemudi mengalah dengan kendaraan lainnya. Ia menyalip diantara motor yang lain dan masuk ke dalam sebuah perkarangan hotel dan menuju parkiran di basement.
Dewa membuka helmnya lalu meletakkannya dimotor dan ia melepaskan jaket yang menutupi tubuhnya. Ia setengah berlari menuju lantai dasar hotel Malpis.
Dewa memasuki sebuah restoran buffet yang berada didalam hotel Malpis. Ia memberikan anggukan sekilas pada seorang Manager yang tengah berdiri dipintu masuk dan sedang menatap para pelanggannya.
Dewa memasuki pintu khusus para karyawan dan menuju locker room. Ia menukar bajunya dengan seragam kerjanya lalu mengenakan celemek plastik dan juga penutup kepala yang bewarna serba biru tua.
Dewa menuju tempat pencucian piring didalam restoran buffet itu. Tumpukan piring yang mulai meninggi sudah menunggunya. Ia mulai melakukan tugas utamanya disana yaitu mencuci piring.
Sudah enam bulan belakangan Dewa bekerja sebagai pekerja paruh waktu di hotel Malpis. Ia bukanlah seseorang yang kekurangan dari segi ekonomi tapi ia merasa bekerja membuatnya lebih bisa menikmati hidup, mempercepat waktu dan membuat pikirannya soal pelajaran bisa dilupakan sejenak.
Tidak ada yang tahu Dewa bekerja disana kecuali satu orang yang sudah berjanji padanya untuk menutup rahasia ini. Bahkan Alya yang bertanggung jawab penuh atas Dewa baik di sekolah maupun di luar sekolah, juga tidak tahu. Dewa sengaja tidak memberitahukan hal itu, karena Alya pasti akan melarangnya, mengingat nilai Dewa disekolah tidaklah bagus.
***
TIGA TAHUN SEBELUMNYA.
Ini adalah tahun pertama Alya diberikan kepercayaan oleh kepala sekolah untuk memegang kelas. Alya dengan senang hati menerima tawaran itu. Semenjak dirinya sudah menjadi guru tetap disekolah itu, menjadi wali kelas adalah sesuatu yang ia capai.
Ia diberikan tanggung jawab untuk memegang kelas 10-3. Seminggu kelas berjalan, semuanya baik-baik saja dan sesuai aturan. Namun saat masuk minggu kedua, salah seorang muridnya bernama Dewa Bastian tidak masuk ke sekolah selama tiga hari berturut-turut.
Sebagai wali kelas, Alya harus tahu ada apa, dan mengapa muridnya tidak masuk. Dengan memegang amanat sebagai wali kelas, Alya mencoba menghubungi orang tua Dewa. Alya dibuat terkejut ketika ia membaca riwayat muridnya.
Sejak Dewa berumur lima tahun, kedua orang tuanya sudah bercerai. Alya bingung ia harus menelpon diantara keduanya. Melihat nomor telepon luar negeri yang tertera pada mama Dewa, Alya enggan menghubungi. Akhirnya Alya memutuskan menelepon nomor ayah Dewa.
Beberapa bunyi dering terdengar namun tidak diangkat oleh pemiliknya. Alya mencoba lagi hingga dering ketiga panggilannya diterima.
"Halo, siapa ini?" Sapa suara berat dan sedikit lantang itu. Suara mesin dan kebisingan terdengar.
"Halo pak, selamat siang. Saya Alya wali kelasnya Dewa Bastian." Sapa Alya tenang, walau keberaniannya sudah menciut saat mendengar intonasi wali muridnya. Apalagi ini pertama kalinya ia berhadapan dengan seorang wali murid walaupun secara tidak langsung.
"Oh. Iya buk, ada apa?" Suara itu tiba-tiba melembut. "Maaf tadi saya lagi kerja jadi tidak sempat angkat telponnya. Ada apa ya buk?" Perlahan suara kebisingan mesin itu berkurang.
"Begini pak, sebenarnya saya telepon ini cuma mau bertanya soal anak bapak. Dewa sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Apa bapak tahu dia ada dimana?" Tanya Alya hati-hati. Ia takut pria itu terkejut mendengar prilaku putranya.
"Gimana ya buk?" Suara pria itu gusar. "Sebentar ya buk." Ucapnya. Terdengar suara teriakan memanggil seseorang, lalu suara langkah yang sedang berlari, suara deru angin, hingga suara pintu ditutup. Suara mesinpun tidak terdengar lagi. "Halo buk?" Panggilnya.
"Iya pak, gimana?" Jawab Alya.
"Begini buk, saya dengan mamanya Dewa itu sudah lama bercerai. Semenjak itu saya tinggal di Papua. Mamanya Dewa belum menemui ibu, ya?" Jelas pria itu.
"Belum ada, pak. Ada apa ya beliau mau bertemu dengan saya?" Alya cukup terkejut saat mendengarnya.
"Harusnya mamanya Dewa sampai Jakarta semalam. Kami sudah berjanji akan menemui ibu, tapi kerjaan saya minggu ini tidak bisa ditinggalkan. Mungkin saya akan ke sana minggu depan." Jelas Pria itu.
Alya semakin bingung kenapa mereka harus menemuinya bersama-sama. "Sebenarnya ada apa ya, pak? Saya tidak mengerti."
"Gimana ya buk," pria itu diam sejenak. "Saya coba telepon mamanya Dewa sebentar bisa, buk?" Tanyanya meminta ijin.
"Ya, baiklah kalau begitu." Belum sempat ia mematikan teleponnya, pria itu sudah lebih dulu mematikannya.
Bersambung....