"Ekhm ... bagaimana kabarmu?" Chandra bertanya dengan nada canggungnya yang terdengar jelas meskipun suara hilir mudik kendaraan begitu kentara terdengar.
"Baik." jawab Purnama singkat. Ia masih mengikuti langkah Chandra yang entah ke mana tujuannya. Keringat dingin memenuhi telapak tangannya di tengah pancaran sinar matahari yang panas. Punama merasa was-was mengetahui Chandra mengajaknya untuk berbicara dan kini entah kemana alur ceritanya.
Keduanya cukup lama terdiam kembali hingga Purnama memberikan pertanyaan agar ia tak terlalu canggung dalam keterdiaman. "Ada perlu apa?"
"Kita masuk dulu." ujar Chandra sembari menarik telapak tangan Purnama yang masih berkeringat menuju ke dalam sebuah cafetaria di depan. Suasana yang nyaman dan sejuk langsung meresap dalam diri Purnama membuat ia menghirup udara sedikit lama mengingat rasa sesak yang disebabkan genggaman Chandra pada telapak tangannya.
Kini Purnama duduk di samping kaca lebar yang memperlihatkan bagian outdoor kafetaria. Dan tepat di depannya, Chandra duduk seraya memilih menu dalam sajian.
Purnama sekali lagi mengedarkan pandangan ke seluruh isi kafetaria. Bukan hanya hawanya yang sejuk, namun pandangannya ikut menyejuk kala melihat beberapa tanaman hijau dan tanaman hias lainnya memenuhi setiap sudut kafetaria. Ia sangat tidak menyangka jika kafe yang sering ia lewati ternyata tidak hanya di luar saja yang menarik, namun di dalamnya juga begitu nyaman dan memanjakan mata.
Purnama harus merasa bersyukur karena Chandra mau mengajaknya ke tempat seperti ini. Karena baru pertama kalinya ia memasuki kafetaria yang selalu ia perhatikan sampai titik ujung mata ketika berjalan melewatinya. Padahal sudah lima tahun lamanya ia pulang pergi melewati kafe ini, namun karena tidak ada teman dan sedikitnya biaya membuat Purnama mengesampingkan keinginannya.
"Mau pesan apa?" tanya Chandra seraya menyodorkan sebuah buku tipis yang berisikan menu yang disediakan. Purnama menariknya setelah selesai memindai seluruh ruangan dan membuka buku menu tersebut.
Pandangan serta gerakan tangannya meragu untuk melihat lebih banyak lagi makanan yang tertera lengkap dengan harga yang dijual. Matanya kini menatap Chandra dan menutup sedikit buku tersebut seraya berkata, "Aku mau air putih saja."
Chandra menatap lekat wajah Purnama yang tersipu. Pandangan itu masih sama, pandangan tajam yang tengah mengintai secara samar ditunjukkan untuk keseriusan serta penasaran yang dimiliki Chandra. "Makanannya?"
"Ehm ... kebetulan aku sudah makan siang sebelum kesini."
Chandra menghapus tatapan mautnya dan berubah sedikit melembut. Kemudian ia bersandar di kursi kayu yang tengah di dudukinya dengan tangan bersidekap di dada. "Pilih yang lain lagi minumannya. Aku yang akan membayar."
"Aku merasa tidak nyaman."
"Tak usah sungkan, kita berteman, bukan?" Purnama tersenyum kecut. Sudut bibirnya terasa perih disaat ia harus memberikan senyuman serta anggukkan kebenaran terpahitnya.
"Aku mau nutella mikshake saja." jawab Purnama yang langsung mengembalikan buku menu ke hadapan Chandra. Kemudian laki-laki itu menyerahkan buku menu dan menyebutkan kembali apa yang diinginkan Purnama. Bukan diinginkan sebenarnya, Purnama hanya asal bicara setelah melihat pilihan menu minuman di halaman pertama. Ia sudah tak bersemangat memperlambat waktu bersama dengan Chandra.
Pelayan itu kembali ke belakang dan menyisakan kebisuan kembali diantara keduanya. Hingga saat rintik hujan mulai membasahi area luar kafe, Chandra kembali mengeluarkan suaranya membuat Purnama mengalihkan pandangan dari jendela.
"Aku minta maaf. Maksudku, kita mempunyai akhir kisah dengan tidak baik. Aku tahu kamu tidak nyaman. Begitupun aku. Oleh sebab itu, saat ini aku ingin meminta maaf. Aku harap kamu dapat melupakan serta lapang dada untuk setiap kisah di sekolah dulu. Kamu tidak perlu menghindari mereka lagi. Mereka sudah melupakan itu. Jadi, datanglah ke acara reuni bulan depan. Kamu sudah terlalu lama absen di deretan daftar nama." ucap Chandra dengan kalimat panjang nan penuh makna menyesakkan di dada Purnama yang diakhiri kekehan oleh keduanya.
"Aku ... kamu tidak perlu meminta maaf. Itu semua kesalahanku. Dan seharusnya aku yang meminta maaf. Aku minta maaf sudah banyak sekali mengganggu waktumu dulu. Aku juga minta maaf telah mempermalukanmu di hadapan teman-teman saat itu."
"Itu manusiawi, aku sadar, kamu saat itu tertarik padaku dan berusaha menarik perhatianku. Dan aku selalu berlaku tidak baik kepadamu. Maafkan aku."
"Tidak, kamu sangat baik. Tapi, tolong lupakan saja." ujar Purnama seraya menunduk dalam.
"Ya, dan oleh karena itu, aku harap kamu berkenan menghadiri acara pertunanganku dengan Sahira. Sebagai rencana, aku adakan di awal bulan februari. Untuk kedatanganmu, aku harap itu sebagai tanda akan perdamaian kita." Suara petir menyambar tepat setelah Chandra menyelesaikan ucapannya. Gemuruhnya sampai terasa ke dalam ulu hati Purnama hingga terasa menyiksa.
Senyum yang lebar Purnama paksakan dengan baik memperlihatkan bahwa ia sudah tak memperhatikan lagi akan masa lalu yang sudah terjadi. Memperlihatkan bahwa ia ikut bahagia dengan berita hubungan Chandra yang masih disukainya menuju ke jenjang yang lebih serius bersama kekasihnya. Namun semua hanyalah kebohongan semata. Sinar duka nampak samar dalam manik Purnama yang berusaha untuk tidak memperjelasnya. Itu akan membuat ia merasa mempermalukan dirinya kembali.
"Semoga rencanamu sesuai yang diharapkan." Purnama mengangguk dan mencoba menerima semua keadaan yang sudah tersusun dengan rapi. Ia tak mau mengacaukan semuanya lagi dan berakhir dengan semua orang menyalahkannya.
Chandra tersenyum tipis, merasa lega dengan keadaan yang telah membaik. "Ya, terima kasih."
Pelayan kafe kemudian kembali menghampiri meja mereka dengan sebuah nampan berisikan minuman pesanan mereka berdua. Chandra menyodorkan gelas milkshake milik Purnama ke hadapan gadis itu dan berkata, "Minumlah."
Purnama tersenyum dan mengangguk. Segera bibirnya mengarah ke ujung permukaan sedotan besar dan menarik minuman itu ke dalam mulutnya. Purnama kembali mengulas senyum tipis kala lidahnya mencecap rasa manis yang begitu kental dalam mulutnya. Ternyata ia tak salah memilih minuman di hadapannya.
Setelah mencoba dalam satu kali sedotan, Chandra berdehem seraya menaruh cangkir kopi hitamnya di atas meja. Mengalihkan perhatian Purnama yang hendak meminum kembali milkshake di depannya.
"Ehm, jika kamu minta, kita bisa berteman." Purnama tersenyum kecut dalam tundukkan kepalanya. Purnama tahu nada ketidak selarasan ucapan Chandra yang enggan mengatakannya. Dan Purnama hanya mengangguk masa bodoh tanpa mau memikirkan lebih serius kalimat ajakan yang seolah dirujukkan oleh Purnama sendiri. Saat ini Purnama lebih mengutamakan rasa manis nutella milshake-nya daripada ucapan Chandra yang terdengar pahit.
"Jika dipikir-pikir, ada baiknya aku meminta pertolongan kepadamu untuk mendekor ruangan di acara pertunangan nanti." Chandra mengatakannya dengan binar penuh ketertarikan yang semakin menarik Purnama ke dalam jurang penuh kesedihan.
Purnama mendongak dengan ketertarikan yang tidak begitu nyata. "Tentu, itu bisa dibicarakan kembali bersana Bibi Dania, pemilik toko bunga itu." Bibir tipisnya terucap dengan datar membuat Chandra yang masih merasakan kegembiraan hanya mengangguk puas.
Purnama meminum kembali milkshake yang tersisa sedikit. Rasa manis yang lembut mampu mengikis sedikit rasa pahit yang tertancap dalam hatinya.
Setelah terjadi keheningan kembali, dan Purnama telah menghabiskan minumannya, ia berpamitan hendak kembali ke tokonya yang masih buka. "Aku harus kembali ke toko."
Chandra mengangguk dan beranjak menuju meja kasir setelah meminta Purnama menunggu. "Kita bersama. Mobilku masih terparkir di depan toko bunga tadi."
Purnama hanya diam menatap punggung Chandra yang sedang menghadap seorang kasir dan kembali berbalik setelah menyelesaikan transaksinya dengan sebuah payung di tangan. Purnama melirik ke arah jendela melihat hujan yang masih turun dengan deras.
"Aku sudah menyewa payung, dan hanya satu yang tersisa. Kuharap kamu tidak keberatan." ujar Chandra yang telah sampai di hadapan Purnama yang telah berdiri. Purnama hanya mengangguk dan sedikit tak mempermasalahkan. Bahkan ia tak khawatir jika harus kehujanan dan berakhir dengan tubuh menggigilnya karena itu hal biasa baginya.
Namun karena melihat Chandra yang telah mengusahakan, Purnama hanya mengangguk dan mengikuti Chandra keluar dari kafe.
Chandra membuka payung yang mengembang besar dan lebar sebelum menarik tanpa sadar bahu Purnama agar lebih mendekat kepada dirinya. Percikan air menerpa bagian sisi tubuh keduanya saat kaki mereka perlahan melangkah menerobos derasnya hujan.
Setelah sampai di depan toko dan mendorong Purnama untuk berlindung di tempat aman dari hujan, Chandra berpamitan dan segera berjalan menuju mobil putihnya di pinggir jalan. Chandra pergi bersama mobilnya setelah menekan suara klakson yang terdengar samar oleh hujan.
"Dia kekasihmu?" Suara itu mengejutkan Purnama yang sedang melamun. Ia menoleh dan mendapati Andre berdiri di belakangnya mengikuti arah pandang Purnama akan mobil Chandra yang melaju.
Purnama menggeleng sendu menatap kembali mobil Chandra. "Bukan."
"Kenapa bukan? Kurasa kalian begitu mesra berada di bawah lindungan payung yang sama." Purnama mendengus mendengar kalimat yang terdengar seperti ejekan di telinga Purnama.
"Dia sudah mau bertunangan dengan kekasihnya." lirih Purnama menundukkan kepala. Memperjelas perasaan kesedihan yang mendalam di hadapan rekan kerjanya.
"Ah, maaf. Aku tidak tahu kalau ceritanya berbeda."
"Tak apa, dia hanya teman lama." Purnama tersenyum sendu menatap Chandra yang sudah menghilang bersama mobilnya. Jalanan semakin lengang di tengah derasnya hujan. Dan Purnama memutuskan untuk memasuki toko dan membersihkan kembali sisa penjualan sebelum tutup.
"Tapi kamu tampak sedih." gumam Andre yang berbalik mengikuti arah pandang ke punggung rapuh Purnama.