Senja yang perlahan menyisakan kegelapan menuntun setiap langkah Purnama di jalanan trotoar. Kegiatannya bersama Bu Windi dalam membahas acara pertunangan Chandra membuat mereka larut dan melupakan sang waktu yang telah berdenting panjang. Hingga saat Purnama keluar dari rumah makan betawi tadi langit dengan sekejap sudah menjadi hitam diiringi dengan kabut polusi yang masih memenuhi ruang ibu kota.
Purnama sesekali mendongak dan mengedarkan matanya ke arah gedung-gedung tinggi yang sebagian sudah memancarkan cahaya buatannya. Pemandangan tersebut membuat Purnama selalu berdecak kagum melihat hasil buatan manusia yang luar biasa.
Namun Purnama menyayangkan, hasil ciptaan tuhannya sang segala maha harus sedikit demi sedikit terkikis tergantikan dengan buatan manusia yang fana. Tanpa menyisakan keindahan alam yang lestari demi membangun tembok-tembok tinggi yang semakin menyempitkan ruang.
Purnama memelankan langkahnya dan memutuskan untuk berhenti dengan sudut mata yang melirik ke arah jalanan. Ia bisa melihat sebuah mobil yang kemarin dilihatnya berhenti tak jauh di depan dengan gerakan pintu kemudi yang segera terbuka. Sosok tegap Chandra berjalan menghampiri Purnama dan berdiri tepat di hadapannya.
Purnama sekali lagi mendongak. Menatap ciptaan Tuhannya yang lebih sempurna dibandingkan dengan gedung-gedung di sekitarnya. Jantung Purnama kembali bertalu-talu setiap Chandra menatapnya dalam beberapa waktu.
Dan Purnama semakin takut akan hatinya yang kembali berkhianat dengan meluapkan segala emosi yang ada di benaknya. Memproklamirkan dengan tegas bahwa ia masih mencintai Chandra dan dengan hati yang keras Chandra kembali menolaknya.
"Maaf, ibuku tak sempat mengantarmu pulang. Dan beliau memintaku untuk menyusulmu." Chandra mengeluarkan suaranya yang hangat diantara hembusan angin malam yang mulai mendingin.
Purnama menggeleng. Ia merasa sungkan menerima ucapan Chandra yang tidak sepenuhnya datang dari hati. "Seharusnya Bu Windi tidak usah repot. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah sewaku."
"Tapi ibu khawatir. Dan aku melakukan ini sebagai wakil pertanggung jawaban ibu." Purnama tersenyum manis, namun terasa kecut dalam hati. Mana ada tanggung jawab seseorang bisa diwakilkan? Purnama tidak terlalu butuh dengan perlakuan Chandra seperti itu. Hatinya akan kembali rapuh dan kembali menguat dengan harapan baru bahwa Chandra akan menjadi miliknya. Dan itu tidak boleh terjadi lagi sampai kapanpun.
"Ayo, aku antar." ujar Chandra yang segera menangkap pergelangan tanganku. Namun hempasan kuat Purnama kerahkan agar hatinya tidak akan terbelenggu dalam harapan seperti halnya genggaman yang telah Chandra lakukan.
"Baiklah." ucap Purnama dengan wajah datarnya berjalan mendahului Chandra yang terdiam.
Purnama terdiam di depan pintu belakang mobil saat sinar netranya menembus lembaran kaca hitam mobil. Seorang wanita dengan perawakan yang masih dikenalinya membuat Purnama semakin enggan memasuki mobil itu dan membiarkan Chandra mengantarnya.
"Ayo masuk." ajak Chandra yang sudah membuka pintu mobil depannya. Tubuh Chandra sudah setengah duduk di kursi mobil yang akan segera menutup pintu. Namun segera diurungkan saat melihat Purnama masih terdiam di depan pintu mobil yang masih tertutup.
"Purna?" tekan Chandra yang merasa jengah karena Purnama lambat sekali dalam bergerak. Hanya saja Chandra tidak tahu, bahwa kini kinerja organ dalam Purnama bekerja lebih cepat dan tak beraturan seperti biasanya. Dadanya bergemuruh sesak, lambungnya terasa melilit, dan yang terakhir buliran air matanya hendak menetes sebelum Purnama menahannya dengan gerakan tergesa memasuki mobil.
Chandra melajukan mobilnya setelah memastikan bahwa Purnama sudah duduk dengan nyaman di kursinya. Sesekali matanya menatap ke arah kaca spion untuk melihat Purnama yang menunduk dengan tangan yang saling bertautan. Chandra tahu mengapa Purnama bersikap seperti itu.
Diliriknya perempuan yang duduk di sampingnya. Sahira sedang sibuk dengan ponselnya, tingkah penuh kepura-puraan dengan mengabaikan dirinya dan Purnama. Dan hal itu terlihat begitu kekanakan.
"Sahira, bagaimana kabarmu?" tanya Purnama dengan suara yang bergetar ringan. Chandra melirik Sahira yang terlihat begitu enggan mendengar, apalagi menjawab pertanyaan itu.Dan kini, Sahira memakai earphone di kedua telinganya sebagai pertanda bahwa ia tak ingi lagi mendengar suara dari mulut Purnama.
"Kabar dia sangat baik." sahut Chandra yang telah kembali memperhatikan arah jalanan. Purnama mengangguk berkali-kali, meyakinkan kepada Chandra bahwa sudah pasti ia tahu akan jawaban itu. Kabar Sahira begitu baik dan selalu baik. Bahkan lebih baik setelah mengingat acara pertunangan mereka yang tinggal menghitung hari.
"Chandra, sampai disini saja. Tempat tinggalku ada di gang sempit di depan." ujar Purnama saat mobil yang ditumpanginya telah berada dekat dengan tempat tinggalnya.
"Oh, baiklah."
"Terima kasih." ucap Purnama sebelum keluar daru mobil. Sebenarnya ia memiliki niat menawarkan mereka singgah sejenak. Namun melihat raut marah yang terpendam serta sikap akan penolakan yang Sahira layangkan membuat Purnama mengurungkan keinginannya.
Purnama tidak mau memikirkan lebih lama jajak yang menempel dalam benaknya. Ia memilih melanjutkan perjalanannya yang tersisa kurang lebih lima puluh meter dari arah jalan raya.
Rumah-rumah yang penuh merangkap dan berdempetan terlihat begitu sunyi melihat bahwa orang-orang lebih memiluh berdiam sejenak di dalam rumah sebelum waktu maghrib usai. Dan setelahnya, seperti biasa mereka akan keluar berkeliaran di berbagai sudut ibu kota menikmati kehidupan malam di kota.
Purnama menghembuskan nafas lelahnya dan mengambil kunci rumah di dalam tas yang ia jinjing. Rumah sewa yang sudah ditempati Purnama sejak satu tahun lalu terlihat nyaman dan bersih meskipun hanya sepetak ruang yang menyimpan alas tidur beserta kamar mandi kecil di ujung kiri ruangan.
Punama mengunci kembali pintu tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bagi dirinya untuk mengunci rumah saat ia tinggal sendiri. Ia hanya mencoba bersikap waspada akan hal-hal lain yang bisa saja terjadi.
Untuk kesekian kalinya Purnama menatap ruang yang memiliki jarak antar dinding yang tak lebih dari enam meter dari tempat ia duduk sejak tinggal di rumah tersebut. Purnama begitu bersyukur mendapatkan rumah sewa yang meskipun kecil dan dengan biaya sedikit mahal, namun keselamatan dari bahaya bencana alam seperti banjir tidak akan sampai disini.
Sudah berkali-kali selama empat tahun ke belakang Purnama berpindah-pindah tempat. Genangan air banjir serta serangan hewan melata yang pernah hinggap di alas tidurnya selalu ia dapatkan ketika musim hujan datang.
Dan kini, Purnama sudah mendapatkan tempat yang lebih nyaman dari yang sebelumnya berkat saran dan bantuan yang diberikan Andre kepadanya.
Purnama membuka ponselnya dan mengetik pesan kepada Andre. Ia lupa menanyakan ketersediaan bahan dekorasi yang sudah Purnama tulis untuk Andre cari.
'Semuanya sudah ada di toko.' Balas Andre setelah lima menit Purnama berkirim pesan.
'Kamu bekerja dengan baik. Besok jangan terlalu lambat. Subuh nanti kita harus sudah mengangkut semua bunga dan bahan dekor lainnya ke gedung.'
'Tentu, aku sudah memasang alarm pukul 3.' Purnama terkekeh geli membaca balasan Andre yang terlampau berlebihan itu.
'Ya, lebih baik seperti itu.'
Purnama memilih tidak melanjutkan percakapannya dengan Andre melihat laki-laki itu hanya mengirim sebuah emoticon jempol hitamnya. Ia menyimpan ponselnya di kasur dan memilih untuk segera mandi terlebih dahulu sebelum ia memasak makan malamnya nanti.
Setelah selesai membersihkan diri, Purnama membuka lemari pendingin kecil dan membawa dua tangkai sawi hijau dan dua buah tahu dan kedua bawang merah putih yang selalu merangkap dalam hidangan. Ia hanya akan menumis bahan tersebut seadanya. Cukup untuk dirinya sendiri dan untuk saat ini. Karena ia hidup sendiri dan tidak mau membuang makanan sisa yang terlampau banyak.
Purnama mencoba memutar musik dalam ponselnya. Agar suasana memasaknya tidak terlalu kentara dan terdengar tetangga. Dan terlebih bagi Purnama, agar ia tidak merasa sunyi dan kesepian.
Lagu yang tercipta oleh sang penyanyi, Adel begitu tepat menyayat Purnama yang mendengarkan. Lagu yang sebagian besar menafsirkan keadaan dirinya saat ini benar-benar membuat mata Purnama memanas. Bukan karena bawang yang sedang diirisnya, tetapi makna dari lagu yang sedang didengarnya.
Purnama mencoba menghapus cairan di sudut mata menggunakan punggung tangannya. Lalu tangannya segera beralih memutar lagu selanjutnya lebih cepat sebelum ia luruh dengan balut kesedihan.
When will i see you again ....
******
Purnama menyelesaikan masakannya dan membawa piring sajiannya ke depan. Ia akan makan di dekat alas tidurnya bersama dengan ponsel yang masih melantunkan untaian nada melodinya. Lagu yang dinyanyikan oleh David Archuletta dengan judul Crush memenuhi isi telinga Purnama yang sedang makan. Ia sesekali bernyanyi setelah nasi di dalam mulutnya habis tertelan dan kembali diam mendengarkan dengan satu suapan ke dalam mulutnya.
Purnama tidak mau memusingkan kepalanya sendiri karena memikirkan makna dari lagu yang didengarnya. Ia lebih mementingkan perasaannya yang harus bahagia dengan cara bernyanyi seperti itu.
Do you catch a breath when I look at you?
Are you holding back like the way I do?
'Cause I'm trying and trying to walk away
But I know this crush ain't goin' away ...
Goin' away ....