Chereads / Harapan Sang Purnama / Chapter 5 - Bukan Undangan

Chapter 5 - Bukan Undangan

Pukul empat pagi, Purnama sudah dikejutkan dengan suara klakson motor di depan rumahnya. Ia yang hanya mengenakan handuk sehabis mandi memilih melihat sejenak dari balik pintu melalui lubang kunci.

Ternyata Andre yang sedang duduk di atas motornya tengah menunggu. Purnama tidak mengira bahwa Andre akan sepagi ini menjemputnya. Dan hal tersebut berarti membuktikan bahwa laki-laki itu benar-benar memasang alarm tepat pukul tiga.

Purnama menggelengkan kepalanya mengingat tingkah tak biasa laki-laki yang dikenalnya di tempat kerja itu. Selalu saja ada tingkah atau hal aneh lainnya yang muncul dari sossok Andre.

Segera Purnama berbalik melangkah menuju lemari pakaiannya. Ia tidak akan membiarkan Andre menunggunya lebih lama. Apalagi mengingat udara yang masih terasa dingin di luar membuat Purnama merasa tak enak hati.

Purnama keluar dan langsung disambut Andre yang mendongak dari layar ponselnya. Ia kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku jaket dan kembali menghidupkan mesin motornya.

"Lama sekali, nona. Lihat siapa yang terlambat sekarang?" cibir Andre dengan tatapan menyela. Tatapan yang selalu dilayangkan kepada Purnama disaat perempuan itu dirasa salah dan kalah olehnya. Namun Purnama tertawa dengan sedikit kegaduhan melihat tatapan jenaka yang merambah ke arah wajah jelek Andre yang selalu mengikuti tatapan sinisnya.

"Aku hanya tidak menyangka alarm milikmu bisa berfungsi juga." Purnama terpekik kecil untuk menahan tawa yang akan kembali ia lakukan. Dengan sigap Purnama menerima lemparan helm yang dilemparkan Andre kepadanya.

Andre menghembuskan nafas kasar, seolah ada beban yang memberatkan dirinya. "Aku menaruhnya di dekat telinga!" teriaknya tanpa mempedulikan keadaan yang memungkinkan orang-orang masih dalam keadaan lelap.

Purnama tersenyum lebar di depan punggung Andre. Laki-laki itu melajukan motornya di jalanan gang yang akan menemukan tepian jalan raya. "Terima kasih sudah mau menjemputku." ucap Purnama yang selalu menerima kebaikan Andre yang siap mengantar dan menjemput Purnama disaat ia memiliki jadwal pagi seperti ini.

Dan Andre hanya tersenyum sebagai balasan dari ungkapan terima kasih Purnama. Tentu selalu ada balasan disetiap perbuatan seseorang. Batinnya.

*******

Saat ini suasana toko bunga Nyonya Dania nampak hidup dengan aktifitas dua pegawai yang saling mengangkut barang-barang serta ratusan tangkai bunga bunga kering yang telah diawetkan ke dalam sebuah mobil pick-up. Nyonya Dania sendiri saat ini sedang menata barang apa saja yang hendak mereka bawa kesana sebagai tambahan.

Dan setelah semuanya terbawa, Nyonya Dania memerintahkan Purnama dan Andre untuk memulai sarapan pagi terlebih dahulu sebelum pergi ke gedung utama kota.

"Apa kita bisa melakukannya tepat waktu?" tanya Andre memecah keheningan kedua perempuan yang sedang memakan sarapan. Terlihat wajah ketidakmampuan dirinya yang jelas jarang terlihat.

"Kamu seperti tidak berpengalaman saja. Asalkan kamu tidak banyak bermain game saat bekerja, kita akan melakukannya sesuai jadwal kita." ujar Nyonya Dania yang kini sedang menuangkan teh hangat ke dalam cangkirnya. Mengabaikan Andre yang mendengus tak suka mendengar penuturan majikannya yang terlampau benar.

"Nanti ponsel Andre dipegang sama Punra saja, bi." usul Purnama yang langsung membuat Nyonya Dania mengangguk setuju.

"Ya, lebih baik seperti itu."

"Tidak bisa! Bagaimana jika Sania menghubungiku?!" sela Andre dengan keras membuat beberapa butir nasi di mulutnya terdorong keluar dan mengotori meja. Purnama mengernyit jijik melihat meja bagian Andre yang terdapat beberapa butir nasi yang basah lengkap dengan liurnya.

Perut Purnama terasa bergejolak hendak mengeluarkan makanan yang baru saja ia cerna. Untung saja ia sudah selesai dengan sarapan paginya sehingga ia tak perlu melanjutkan kegiatan makannya dengan perasaan mual.

Purnama memberi isyarat melalui tatapan matanya agar Andre bergerak cepat untuk membersihkan butiran nasi itu dari meja. "Beritahu sekarang bahwa kau akan bekerja seharian penuh tanpa bisa memberi kabar kepada kekasihmu itu. Apa susahnya? Memangnya kalau tidak ada kabar selama satu hari jam kerja kekasihmu bisa mati?"

Andre berjalan menuju kamar mandi dan kembali membawa sebuah kain lap basah. "Bukan mati! Dia akan mengamuk seperti orang gila." gerutunya seraya mengumpulkan nasi tersebut dan melemparnya ke kamar mandi bersama kain lap-nya.

"Dre, kamu mengatai gila kepada kekasihmu sendiri?" tanya Purnama seraya menaikkan alis kanannya. bibirnya melengkung membentuk senyuman mengejek melihat Andre yang gelagapan menyadari ucapan kotornya.

"Hei, ini salahmu! Kamu yang memancingku agar berkata seperti itu!"

"Mana bisa! Kamu saja yang selalu sembarangan bicara. Cepat, sekarang hubungi kekasihmu, lalu kemarikan ponselmu!"

"Cerewet." Dengan terpaksa Andre mengeluarkan ponselnya dan mengirim sebuah pesan beruntun kepada kekasihnya bahwa ia tidak bisa berbagi kabar dalam seharian ini. Dan setelah menyelesaikan pesan tanpa menerima balasan terlebih dahulu, Andre menyerahkan ponselnya dengan enggan ke telapak tangan Purnama.

"Kamu seharusnya beruntung, Aku hanya bisa cerewet kepadamu, anak bandel." ujar Purnama seraya menepuk pundak Andra yang tinggi.

********

Sampai di halaman gedung yang di dalamnya masih gelap, Purnama beserta Andre bersama-sama menurunkan bunga dan benda-benda dekorasi lainnya. Sedangkan Nyonya Dania tengah bertanya kepada pengelola gedung tersebut dan meminta agar segera membuka pintu gedung.

Udara pagi yang belum terpapar panas matahari membuat Purnama tak mengeluarkan keringat sedikitpun disaat tubuhnya harus keluar masuk ke dalam gedung membawa beban berat.

Purnama akhirnya tersenyum lega melihat semua bunga kering beserta ornamen kayu ukiran sudah tersimpan rapi di tempat bagiannya.

Dengan gerakan cepat, Purnama kemudian menghampiri Andre ke arah podium, tempat utama dari pelaksanaan acara pertunangan. Ia membantu Andre yang berusaha menggeser rangkaian papan kayu dengan ukuran yang hampir menutupi dinding polos gedung.

Setelah sesuai dengan posisi amannya, Purnama menuruni undakan podium dan membawa dua box besar berisi daun dan bunga kering yang menjadi hiasan latar podium.

Purnama menunggu disaat Andre tengah memasang sebuah kaca hias yang seukuran dengan dinding kayu di kedua sisinya.

Setelah dinding buatan itu berdiri kokoh, Purnama bersiap diri dibantu oleh Andre dan Nyonya Dania merangkai satu persatu bunga -yang diantaranya terdiri dari beberapa bunga kapas dan baby breath- serta dedaunan besar yang kering dan menempelkan di dinding kayu yang terukir.

Untuk saat ini, mereka menggunakan konsep alami yang menggunakan warna dasar cokelat dan putih. Perpaduan antara kayu jati disertai dedaunan hasil pengeringan dan juga bunga-bunga bernuansa putih akan menghasilkan perpaduan alami yang sempurna.

Purnama begitu lihai dan cekatan disetiap pemasangan bunga. Hal itu pula dilakukan oleh Andre dan Nyonya Dania. Hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul sebelas siang.

Proses pengerjaan mereka telah mencapai lebih dari enam puluh persen. Bagian utama gedung sudah mereka hias sedemikian rupa hingga menampilkan tampilan yang cantik. Sedangkan kini, para pekerja itu tengah beristirahat makan siang sebelum melanjutkan proses mendekor pada bagian tempat duduk tamu undangan dan halaman teras gedung.

"Pur, berikan ponselku sebentar." ujar Andre yang telah menyelesaikan makan siangnya lebih cepat dari Purnama dan Nyonya Dania.

Nyatanya kedua tangannya itu sudah tidak bisa menahan gatal untuk tidak menyentuh lebih lama lagi benda kesayangannya itu.

Dengan malas Purnama memberikan ponsel itu ke tangan pemiliknya. Setidaknya saat ini mereka tengah beristirahat dan Purnama bisa mengambil ponsel itu kembali setelah waktu istirahat mereka dirasa cukup.

Purnama mengedarkan pandangan ke arah depan dimana hasil dekorasi mereka bertiga sudah selesai. Sudut bibirnya terangkat sedikit mengingat ia sedang berusaha membahagiakan Chandra. Ya, setidaknya dengan membuat hasil kerja yang memuaskan dan membuat Chandra tidak akan kecewa merupakan hal baik bagi Purnama.

Setelah waktu istirahat mereka cukup, ketiganya kembali bergerak menyusun rangkaian hiasan bunga di setiap sudut ruangan. Kursi-kursi berlapis kain putih yang diikat oleh bunga di punggungnya berjejer rapi menghadap podium yang terhias. Sementara di antara jajaran kursi, terdapat ruang membentang dari pintu menuju podium yang digunakan sebagai jalan bagi tamu, terutama kedua orang yang akan bertukar cincin.

Di depan gedung sendiri, kini Andre tengah memasang empat tiang kayu yang saling berhubungan dan nantinya akan disambungkan dengan tirai putih yang menyilang di atasnya. Setelahnya Andre memasang beberapa lampu gantung dibantu oleh Purnama. Sedikit candaan dan tawa meringankan kelelahan mereka.

Hingga sebuah deheman keras dari arah belakang mereka membuat canda dan tawa itu terhenti. Purnama menolehkan kepalanya dengan posisi tangan yang masih menahan kursi tempat pijakan Andre di atas.

Perempuan itu tersenyum melihat Bu Windi yang sudah berada di dekatnya. "Semuanya lancar?" tanya Bu Windi ramah. Dan Purnama mengangguk senang melihat pekerjaan yang lancar dan penuh semangat.

"Saya mau bertemu Bu Dania dulu."

"Oh, bibi ada di dalam."

"Kalau begitu saya permisi." Sekali lagi Purnama mengangguk mempersilahkan Bu Windi berjalan melewati dirinya dan Andre yang masih berdiri di atas kursi.

Tatapan Purnama kini bertumpu pada sosok yang sebelumnya terhalang oleh tubuh besar Bu Windi. Chandra masih diam berdiri di tempatnya tanpa memiliki niat untuk masuk ke dalam gedung. Dan dengan kesopanan yang ada, Purnama memberikan sekilas senyumannya sebelum kembali memperhatikan Andre yang sedang dalam penjagannya.

"Loh, Chandra, bukannya kamu sekarang mau ambil cincinnya?" Bu Windi datang menghampiri Chandra beserta Nyonya Dania di belakang. Perempuan tua itu sedikit mengarahkan beberapa hal kepada Andre dan menasehati kedua pegawainya itu agar berhati-hati.

"Iya, bu. Sekarang Chandra pergi." ucap Chandra seraya berbalik seraya menatap sekilas orang-orang yang ada di hadapannya.

*******

Sore hari, pekerjaan demi pekerjaan telah usai. Purnama beserta Andre duduk berdua menghadap halaman dengan sebuah botol mineral di tangan masing-masing.

Purnama memejamkan mata guna menyegarkan kembali penglihatan serta pikiran yang sejak tadi terkuras bersama tenaganya.

Pikirannya kembali berkecamuk mengingat perkataan Chandra beberapa waktu lalu. Perasaan bimbang dan resah membuat Purnama meraup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum kemudian menghembuskannya dengan perlahan. "Dre, besok kamu kesini lagi, kan?" Purnama melirik Andre yang duduk bersandar di pilar gedung.

"Buat apa? Kita-kan kerja cuma dekor, enggak diundang ataupun jadi pengisi acara."

Purnama terdiam sejenak, menumang perkataan Andre yang benar. "Em, kamu temenin aku, ya. Soalnya aku diundang Chandra." Purnama memilih untuk meminta Andre menemaninya menghadiri pertunangan Chandra besok. Ia tidak mau menghadirinya seorang diri. Setidaknya nanti ada seseorang yang akan menghiburnya meskipun Purnama tidak akan menunjukkan kesedihannya secara jelas.

"Kamu terima undangan tertulisnya?"

"Eh?" Purnama terlihat kebingungan, kemudian ia menggeleng sembari meringis menyadari kebodohannya.

"Kalau gak punya bukti undangan fisik, mungkin kamu gak bisa masuk. Soalnya acaranya privasi juga, harus ada izin dan bukti ikut acara." papar Andre mengingatkan bahwa Purnama tidak boleh sembarangan datang tanpa membawa surat undangan yang telah diberikan.

"Jadi, lebih baik aku gak ikut aja, ya?" tanya Purnama untuk memastikan keputusan yang akan diambil. Keputusan yang sama beratnya jika memilih salah satunya.

Andre tersenyum menatap lurus ke depan, lalu menoleh kepada Purnama dengan senyum yang masih terlihat. "Kamu akan baik jika tidak ikut."