"Ketahuilah, jika ia menyukaimu, ia tak akan pernah berani menatap matamu." -yyyy
******
Enaknya sih sambil denger lagu "Tahu Diri" dari mbak Maudy, yaaa... hehe^^
Purnama melangkah ragu, melihat sosok Chandra yang berdiri di samping mobil di depan area gedung membuat Purnama sedikit kebingungan. Perempuan itu sedikit menunduk dan memelankan langkah setelah jarak diantara keduanya menipis.
"Purna, kamu sudah selesai dengan pekerjaannya?" tanya Chandra dengan suara keras, terdengar bersahutan dengan suara kendaraan dari jalanan sore hari yang padat.
Sontak saja Purnama mendongak dan kembali menundukkan kepalanya, namun tak sedalam tundukkan tadi. Dirinya hanya tak sanggup membalas tatapan Chandra yang begitu meneduhkan seperti cahaya jingga di sore hari. Terlihat indah, namun hanya sekejap terlihat. Tidak berlaku selamanya untuk Purnama.
Purnama mengangguk pelan dan sedikit mengangkat kepalanya disaat leher bagian belakangnya terasa pegal. Dengan canggung Purnama mencoba mengusap permukaan leher belakangnya menggunakan tangan kiri.
Purnama bisa melihat di ujung bibir Chandra yang sedikit tertarik. Entah hal apa yang membuat Chandra menahan senyum menawannya.
"Aku lupa belum memberikan undangan kepadamu. Besok datang, ya?"
Purnama tahu maksud Chandra yang menanti kedatangannya. Terlihat dari tangan kanan yang sedari tadi membawa sebuah kertas tebal berlapis plastik kini mengarah kepada dirinya. Mengharap Purnama menerimanya dan segera pergi membawanya.
"Terima kasih, akan aku usahakan untuk datang." jawab Purnama cepat. Menyamarkan nada sumbang akan kegugupannya ketika sesuatu dalam dadanya terasa ditekan. Sesuatu yang terasa menyesakkan hingga seulas senyum-pun ia tak mampu melakukannya.
Chandra hanya mengangguk puas melihat undangan tersebut kini berada di tangan Purnama. Matanya mengedar dengan gerak tubuh menghindar untuk segera pergi dari tempatnya.
"Aku akan pulang sekarang, kamu mau diantar pulang denganku?" tanya Chandra yang berusaha bersikap sopan dengan menahan kedua kakinya untuk tidak berlalu memasuki mobil begitu saja.
Purnama menggeleng keras dan menjawab dengan suara lemah menyedihkan, "Tidak, a-aaku akan-" "Pur, ayo!" seru Andre dengan cepat menghentikan ketidakberdayaan dan kelemahan Purnama. Dengan cepat Purnama menoleh dan mengangguk menghampiri Andre dan kendaraannya.
Purnama tersenyum tipis kala mereka berdua melewati Chandra yang masih berdiri di tempatnya tadi. Diam-diam Purnama menghela nafas lega saat punggungnya telah menjauh dari jangkauan mata Chandra.
"Cepat pakai helm." ujar Andre seraya menyerahkan benda pelindung kepala itu setelah sedikit menepikan jalur kendaraannya tanpa menghentikan lajunya.
Purnama menuruti perkataan Andre meskipun tangannya sedikit gemetar dengan tangan yang masih memegang erat sebuah kertas undangan tadi.
"Dre, aku dapat undangan, nih. Kamu temani aku, ya?" pinta Purnama setelah seluruh keresahannya menghilang terbawa angin seiring dengan cepatnya laju kendaraan Andre.
"kayaknya enggak bisa, Pur. Soalnya Sania ngambek minta ditemani belanja besok."
Purnama memasang wajah kecewanya. Desahan kecewa dan frustasi terdengar di telinga kiri Andre yang dingin terpapar angin. Purnama tahu pasti, bahwa kekasih laki-laki itu merajuk karena merasa diabaikan seharian ini. Dan lelaki ini mencoba membujuk agar rajukannya mereda dengan memberikan perhatian sepenuhnya esok hari dikarenakan libur kerja.
Malang betul nasib Purmama saat ini. Ia tak tahu harus membuat keputusan apa dengan undangan ini. Tak mungkin jika Purnama hadir sendirian. Ia tak memiliki keberanian sebesar itu untuk menyaksikan sendiri pertunangan itu.
"Sepertinya Bibi Dania mau pergi. Kamu bisa ikut dengannya." ucap Andre terdengar begitu menyegarkan pendengaran Purnama yang kering. Namun sebelum kesenangannya terkampau tinggi, ia harus menastikan kebenaran ucapan Andre.
"Kata siapa bibi Dania mau pergi?"
"Tadi aku melihat undangan yang sama di dalam tasnya."
"Kamu tak sopan sekali!" cibir Purnama yang sedikit tak suka sikap sembarangan Andre.
"Ckk, hanya melihat. Itupun juga menguntungkanmu. Kamu bisa menghubungi dan tanya Bibi Dania nanti."
Mau tak mau Purnama mengangguk membenarkan. "Hmmm ... aku akan memikirkannya dulu"
******
Semalam adalah waktu paling lama untuk Purnama mengusahakan matanya terpejam. Raga beserta pikiran yang sudah lelah tak mampu membuat kelopak matanya terpejam istirahat. Mengikuti perasaan hatinya yang bergemuruh gelisah akan datangnya hari esok.
Dan sekarang Purnama menyesal tidak memaksakan matanya tertutup di awal waktu. Kini lingkaran hitam di kedua kantung matanya tak dapat ia sembunyikan pagi ini. Rasa kantuk pun masih menggebu menyuruhnya untuk segera tidur. Ingin rasanya ia berbaring dan tidur kembali jika tak melihat jam dinding yang sudah menunjukkan angka tujuh.
Purnama mencoba menegarkan dirinya dengan menghadiri pertunangan teman SMA-nya sendirian. Setidaknya sebelum ia bertemu dengan Nyonya Dania di gedung nanti dan nantinya ia akan terus mengekori wanita tua itu.
Purnama mengikat tinggi rambut sebahunya menyisakan anak rambut yang tertinggal karena terlalu pendek. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan menyiapkan diri untuk hadir di acara pertunangan nanti.
Pukul sembilan pagi Purnama datang sedikit terlambat. Terlihat mobil yang terparkir sudah memenuhi area parkir depan gedung. Dengan keberanian yang sengaja ia tampilkan Purnama berjalan menaiki undakan tangga dan memperlihatkan tanda undangan ke arah petugas di depan pintu.
Purnama meremas bagian gaun putih yang jatuh hanya sampai betis. Ia harus menampilkan ke seluruh dunia bahwa ia tegar, ia berani, dan ia ikhlas. Purnama melangkah memasuki gedung sampai sebuah tangan mencegah pergerakannya dan sontak mengejutkan Purnama.
"Rama?!" pekik Purnama diantara perasaan bingung dan senang. Purnama hanya tidak menyangka Rama akan ikut hadir di acara pertunangan Chandra. Karena seingat dirinya, sudah lama Chandra menetap di kota sementara Rama selalu berkelana ke berbagai tempat sesuai dengan profesi fotografernya.
Mungkin ikatan hubungan pertemanan mereka masih kuat. Tak seperti dirinya yang begitu rapuh dan memilih memutuskannya tanpa mau menyambungkan kembali.
"Ikut aku dulu, siapa tahu mau lihat Chandra sebelum pasang cincin." ajak Rama tanpa menyadari ketidaksiapan Purnama di balik cengkraman tangannya.
"Aku langsung ke depan saja. Aku sudah lapar, hehe." tolak Purnama melepas cengkaram kuat Raka secara halus. Tak ada gunanya! Dengus Purnama melihat Raka yang berbalik menatapnya tanpa melepaskan Purnama.
"Makanan di belakang lebih banyak. Kamu juga tidak perlu malu-malu ambil makanan."
"Rama! Aku tidak mau!" ucap Purnama jujur. Ia tak peduli makanan itu, ia tak peduli cara makannya, yang ia pedulikan sekarang hanyalah perasaannya. Biarlah Punama melihat dari kejauhan diantara orang-orang. Karena Purnama menyadari ia tak akan sanggup melihat keduanya dari arah begitu dekat, tanpa di kelilingi orang-orang yang berbincang bahagia menatap kedua pasangan sempurna itu. Biarlah ia yang terlihat menyedihkan sendirian.
"Tapi sekarang aku memaksa!" ujar Rama manrik Purnama dan mendekap bahu perempuan itu selanjutnya. Membawanya ke ruang ganti di samping gedung.
Wajah kesedihan dan kecewa amat nampak Purnama tunjukkan kepada Rama yang terlihat acuh. Sedari dulu Rama selalu begitu. Tak mempedulikan perasaan Purnama.
Pintu ruangab terbuka dan Chandra yang sedang bersiap menoleh ke arah pintu dan tersenyum menyapa Rama "Ram-" namun senyuman itu meluntur melihat Purnama yang berdiri tersiksa dalam rangkulan kuat Rama.
"Banyak gaya! Para tamu udah nunggu, tuh." Wajah yang semula muram kini kembali memancarkan kebahagiaan mendengar guyonan Rama yang diam di tempat bersama Purnama. Perempuan itu benar-benar sudah jengah dengan sikap Rama yang menyakiti dirinya. Bukan hanya perasaannya, namun juga leher dan bahunya yang nyeri akibat tekanan lengan Rama.
"Rama! Sakit!" Purnama membentak disertai rengekan meminta kebebasan. Sementara Rama terbahak melihat penampilan Purnama yang kini berantakan. Wajah kusut dan rambut yang berantakan benar-benar membuat Purnama terlihat kacau.
Purnama merutuk Rama yang memberikan kesan menyebalkan ditengah pertemuan pertama mereka setelah sekian lama mereka kembali. Kedatangan mama Chandra menghentikan tawa Rama dan menyeret Purnama ke dalam untuk memberi ruang Bu Windi memasuki ruangan.
"Purnama, kanu cantik sekali. Cocok sama Rama, loh." ujar Bu Windi saat melihat Purnama yang sudah terlepas dari kukungan Rama.
"Enggak tan, dia cuma budak, haha." Purnama mendengus. Candaan Rama masih sama seperti dulu, tak berperikemanusiaan bagi Purnama.
'Budak cinta Chandra.' bisik Rama disertai kekehan ringan di telinga Purnama. Membuat ia kegelian ingin memelintir lidah kurang ajar itu.
"Kalian dekat sekali sepertinya."
"Rumah kami tetanggaan, tan. Masa enggak ingat?"
"Masa, sih? Tante lupa. Udah tua, tolong dimaklum, ya." Rama mengangguk dengan mulut melebar, tangannya mengusap bahu Purnama untuk meredakan amukan Purnama terhadapnya. Dengan kesal Purnama menghempaskan lengan Rama dari pundaknya dan memberi jarak dengannya.
"Chandra, ayo Sinta sebentar lagi Sahira sampai." ajak Bu Windi yang segera menggandeng lengan anaknya yang penurut. Purnama menatap Chandra terakhir kalinya sebelum mata Chandra menangkap tatapannya dan memenjarakan dirinya. Dan benar saja Purnama melakukannya dengan baik. Menghindari tatapan tajam Chandra yang berjalan melewatinya tanpa berkata apapun.
"Ayo, ngapain diam disini." Rama memecahkan kesunyian Purnama yang menatap punggung Chandra. Purnama melirik Rama yang tersenyum tulus mengulurkan tangan. Berharap perempuan itu menerimanya.
"Katanya mau makan disini!" protes Purnama yang tak melihat apapun di sekitar ruangan ini. Apalagi meja berisi makanan. Ia merasa dibohongi oleh teman sekaligus tetangganya itu.
"Kamu lihat ada makanan disini?" tanya Rama dengan pandangan penuh tak tahunya. Tatapan orang idiot yang ingin sekali Purnama teriakkan kepadanya.
"Dasa pembohong!"
*******
"Ram, kenapa Sahira belum datang, sih? sudah jam setengah sepuluh. Kenapa juga harus pisah kendaraan sama keluarganya? Gimana kalau terjadi apa-apa?"
Wajah-wajah kebingungan dan keresahan nampak di setiap manusia yang hadir dalam gedung ini. Terkecuali Rama yang tengah menatap penampilan seorang penyanyi yang entah sudah berapa kali mengeluarkan suaranya untuk menulur waktu. Purnama benar-benar jengah melihat mata jelalatan Rama terhadap wanita cantik yang ada di sekitarnya. Selalu wajah cantik dengan tubuh yang menarik mampu menyedot penuh perhatian Rama.
"Udah diem, deh. Sebentar lagi sampai,kok. Ngarep banget mau gantiin itu perempuan." jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Sembarangan kalau ngomong." Purnama berdecak sebal, bisa-bisanya Rama berbicara sesuatu yang pernah terlintas di benaknya.
"Sembarangan kalau bohong." ucapanny kali ini benar-benar menohok perasaan Purnama, membuat perempuan itu mengalihkan bahan perbincangan.
"Rama, berisik! Bawain aku makanan, cepat!"
"Mau apa?" Kali ini perkataan Purnama berhasil mengalihkan perhatian Rama. Laki-laki itu terlihat begitu serius jika berhubungan dengan persoalan makan Purnama.
"Apa aja." ujar Purnama karena ingin Rama segera langkah kaki menjauhinya. Purnama hanya ingin bebas mengedarkan pandangan untuk mencari sosok Chandra.
Dan Purnama tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Matanya mengedar ke setiap penjuru ruangan dan sekumpulan orang untuk menemukan sosok jangkung dengan setelan batiknya. Namun Purnama tak menemukannya juag hingga usapan pelan di punggungnya membuatnya memekik kaget. Tangannya segera diraih dan membawanya kembali ke ruang ganti di belakang tadi.
Purnama masih kebingungan hingga mereka berdua sampai di dalam ruangan. Keduanya terdiam beberapa saat untuk menetralkan perasaan masing-masing.
"Purna, tolong aku." pinta Chandra setelah menutup pintu dan menyisakan sedikit celah.
"Tolong apa?"
"Aku mau kamu mengganti Sahira, ya? Kita bertunangan." permintaan Chandra benar-benar menyurutkan aliran darah Purnama. Kenapa tiba-tiba Chandra meminta hal di luar nalar seperti ini? Kenapa harus dirinya yang dimintai pertolongan laki-laki itu?
"Chandra! Jangan sembarangan berbicara! Kemana Sahira? Tidak mungkin aku menggantikannya. Kalian yang mempunyai acara!"
Purnama melemas disaat kedua tangannya digenggam oleh Chandra. Hal yang tak pernah ia sangka sebelumnya. "Tolong, kita bertunangan hari ini. Kamu bahagia, kan?"
"Ini gila Chandra! Kemana Sahira?! Apa terjadi sesuatu dengan dirinya? Tidak mungkin kamu memutuskan hal ini begitu saja."
"Sahira pergi, Purna. Aku tak tahu kenapa ia meninggalkanku. Aku tidak tahu dosa apa yang telah aku lakukan kepadanya. Tolong aku Purna."
Purnama menjauh dari hadapan Chandra. Ia benar-benar bingung dan kecewa dengan pernyataan Chandra saat ini. Sahira menghilang, dan Chandra menginginkannya sebagai pengganti. Kenapa harus begini? Kenapa hal yang sempat melintas selibat dalam pikiranku kini seolah menjadi nyata?
"Kenapa bisa? Sahira tidak mungkin melakukan hal itu. Dia mencintaimu, Chandra!"
"Dia pergi denga lelaki lain, Purna. Dia mengirim pesan bahwa dia tak mau melanjutkan hubungan denganku." terdengar isakan menyakitkan dari bibir Chandra yang manis. Purnama memejamkan mata, merasa sesak dan pilu mendengar isakan menyedihkan Chandra.
"Kenapa kamu tidak tanya keluarganya saja? Mereka pasti tahu alasan Sahira pergi." Susah payah Purnama mengeluarkan suaranya yang mulai serak menahan saliva yang menggumpal dalam rongganya.
"Mereka tidak tahu. Mereka sama terkejutnya denganku."
"Kalau begitu batalkan saja pertunangannya!" Chandra meluruh, berlutut di hadapan Purnama yang mematung menyaksikan.
"Tidak, ibu akan kecewa. Aku sudah bersusah payah meyakinkan ibu. Aku tidak mau ini berakhir patah."
"Lalu, bagaimana tanggapan ibu jika perempuan yang kamu tunangi berbeda?! Kenapa kamu tidak memikirkan hal itu?!"
"Ibu sudah tahu semuanya, Purna. Dia kecewa, dia menangis. Aku tak mau melihat ia menangis lebih lama. Setidaknya dengan acara yang berjalan sampai akhir akan sedikit mengurangi kekecewaannya."
"Aku tidak bisa, Chandra." ucap Purnama lemah. Air matanya menurun seiring dengan isakan yang keluar dari mulutnya.
"Kenapa? Bukannya kamu bahagia aku batal bertunangan dengan Sahira? Harusnya kamu menari bahagia aku memintamu menjadi tunanganku, bukan?! Jangan munafik seperti ini, Purna!" Purnama menggeleng dengan isakan tertahan. Pemikiran sempit yang Chandra luapkan benar-benar menyakiti perasaannya.
Tidak, ia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan dengan keadaan ini. Ia sedih dan kecewa dengan Chandra. Ia sedih melihat Chandra yang menangis lemah di hadapannya, namun ia juga menelan kekecewaan mendengar kalimat terhina yang diucapkan Chandra untuknya.
"Chan?" suara Rama yang berada di luar membuat Purnama dan Chandra menoleh ke arah pintu. Kini Rama berdiri di hadapan keduanya setelah beberapa saat mendengar percakapan kedua sahabatnya.
Chandra berdiri dan menyembunyikan wajahnya yang berair seraya berusaha menghapusnya.
"Tolong ikut aku, kita harus bicara."