Flahsback On
Purnama menajamkan matanya melihat ke arah luar melalui jendela kaca yang berdebu. Di lapangan sekolah yang luas, ia bisa menatap Chandra yang tengah memantul-mantulkan bola basket ke tanah sebelum melemparnya ke dalam ring.
Purnama berdecak kagum melihat ketepatan bidikan Chandra dalam memasukkan bola ke dalam ring. Terlihat bahwa kini Chandra menepi seraya mengusap keringat di sekitaran pelipisnya. Setelah itu ia duduk di kursi penonton dalam undakan ke dua.
Kini perempuan yang tengah berada di ruang guru itu mengalihkan perhatiannya dan kembali fokus dengan kegiatan pemeriksaan nilai siswa. Sebelum jam pelajaran berakhir, sang guru memintanya bersama dua teman lainnya untuk memeriksa nilai tugas siswa dari beberapa kelas lain.
Dan sudah pukul empat sore Purnama bersama teman-temannya belum menyelesaikan tugasnya. Purnama berusaha untuk tidak mengangkat kepalanya lagi dan berakhir dengan mata yang asik memandang kegiatan latihan Chandra di lapangan. Ia ingin tugasnya segera selesai agar ia bisa pulang secepatnya dikarenakan langit sudah menghitam pertanda akan turunnya hujan.
Dan lima belas menit kemudian, Purnama menyelesaikan kegiatan memeriksa dan memasukkan data beserta nilai sesuai arahan dengan tepat. Disusul dengan kedua teman perempuannya, Purnama mengambil tas punggungnya dan berjalan bersama keluar ruangan. Di jari telunjuknya menggantung kunci ruang guru yang nanti akan di serahkan kepada pihak keamanan sekolah dikarenakan sudah tidak ada aktifitas lagi di dalam ruangan.
"Purna, kita pulang duluan, ya. Enggak apa-apa kan kalau kamu ke ruangan Pak Tono sendiri?" pinta Santi dengan nada tidak nyamannya karena ia dikejar oleh waktu keberangkatan bus bersama Fani. Jarak rumah mereka yang jauh serta tidak adanya angkutan umum selain bus membuat mereka selalu datang tepat waktu ke halte bus.
"Duluan saja, aku tidak apa." ucap Purnama yang berdiam diantara lorong yang menuju ruangan keamanan sekolah.
"Sampai jumpa." ucap Santi dan Fani bersamaan dan berjalan setengah berlari ke luar area sekolah yang sepi.
Purnama segera melangkahkan kakinya dan menyerahkan kunci tersebut kepada Pak Tono. Beruntungnya Purnama, karena Pak Tono sedang berada di ruangan sehingga ia tidak terlalu lama menunggu ataupun mencari keberadaan Pak Tono.
Setelah menutup pintu ruangan keamanan, Purnama berbalik dan berjalan melewati lorong tadi. Namun langkahnya sedikit tertahan ketika dari samping lorong muncul Chandra yang berjalan sendiri. Purnama terdiam sejenak sebagai pertanda bahwa ia mempersilahkan laki-laki itu untuk berjalan terlebih dahulu di depan.
Purnama berjalan seraya menundukkan kepala menatap kaki yang berbalut sepatu hitamnya daripada mendongak dan matanya bersibobrok dengan punggung tegap Chandra di depannya.
"Kamu, dari kelas sains 2?" tanya Chandra secara tiba-tiba membuat Purnama mendongakkan kepala dan menghentikan langkahnya segera sebelum ia menabrak bahu kanan Chandra yang terdiam. Laki-laki itu tengah menatap Purnama yang terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan.
Entah ada angin apa laki-laki itu bertanya kepada Purnama. Bahkan itu adalah pertama kalinya mereka berinteraksi dan sukses membuat jantung Purnama terasa begitu aktif berdetak. Purnama tak bisa menahan senyumnya dan menundukkan kepala setelah Chandra kembali membelakanginya.
Kemudian Chandra melanjutkan langkah membuat Purnama kembali ikut melangkah. Ia tidak ingin terlalu berjauhan dengan teman berjalannya saat ini. Karena Purnama mengakui bahwa di lorong yang pencahayaannya sedikit membuat Purnama merasa ketakutan dan tidak berani.
Dan setelah keluar dari lorong tadi, Purnama berjalan ke halaman yang luas menuju gerbang sekolah yang tertutup namun tidak dikunci. Ia membuka pintu gerbang sedikit lebar memberikan jalan bagi Chandra yang keluar bersama motornya. Setelah itu Purnama kembali menutup pintu gerbang dan berdiam menanti angkutan umum yang lewat.
Sudut mata Purnama menangkap Chandra dengan motor besarnya masih diam tak jauh di samping berdirinya Purnama. Laki-laki itu sedang menunduk dengan ponsel di tangannya. Dan setelah selesai dengan urusannya, laki-laki itu memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket jeansnya dan melirik ke arah Purnama.
Buru-buru Purnama menggerakkan bola matanya ke tempat semula, yaitu menatap ke jalanan di depan menghindari Chandra yang sepertinya mengetahui bahwa ia diam-diam memandangnya.
"Dimana rumahmu?" tanya Chandra kepada Purnama untuk yang kedua kalinya setelah satu tahun lebih mereka berada di lingkungan sekolah yang sama.
"Eh, aku?" Chandra mengangguk melihat wajah kebingungan Purnama. "Di jalan Hatta."
Chandra mengambil helm-nya dan mulai memakainya. "Aku akan mengantarmu. Sepertinya angkutan umum sudah tidak ada yang lewat kesini lagi." Manik purnama membesar mendengar ucapan Chandra. Perasaannya semakin gelisah disertai gemuruh dalam dada. Purnama mencoba mengendalikan diri dan bersikap seperti biasanya.
"Tidak apa, aku akan menunggu." jawab Purnama seraya menatap jalanan kembali.
"Ini sudah terlalu sore. Sebentar lagi juga pasti hujan. Aku tidak akan berbuat apa-apa selain mengantarmu." Purnama menatap Chandra kembali dengan pandangan ragu. Ia bingung untuk menerima tawaran itu atau tetap menunggu angkutan umum yang entah kapan akan tiba disini.
"Ayolah. Aku harus segera pulang." ucap Chandra yang tak mau menunggu lebih lama keterdiaman Purnama.
Purnama menatap kembali jalanan yang sepi. Ia memutuskan untuk menerima ajakan Chandra. Dengan canggung Purnama berjalan mendekat dan menaiki jok belakang dengan perlahan.
Posisi motor yang terlalu tinggi membuat Purnama berhati-hati dan dan sedikit kesusahan. Dengan gugup Purnama berpegang ke pundak lebar Chandra disaat laki-laki itu mulai menyalakan mesin motornya dan melaju membelah jalanan.
Purnama menelan ludah menatap tubuh belakang Chandra yang begitu dekat dengannya. Bahkan sebagian sudah melekat dengan seragam putih abunya.
Purnama tidak menyangkal bahwa karisma yang dimiliki Chandra benar-benar menghipnotisnya. Ditambah dengan sikap ramahnya kepada orang lain membuat Purnama tak bisa memendam lebih lama rasa sukanya.
"Apa rumahmu dekat dengan Rama?" tanya Chandra dengan pandangan yang masih fokus ke depan.
Tanpa sadar Purnama mengangguk. Hingga ia sadar bahwa Chandra mungkin tak melihat anggukkannya dan Purnama memilih menjawab, "Tidak terlalu dekat, sih."
Purnama kini ingat dengan pemuda sepantara teman bermainnya sewaktu kecil. Mereka begitu dekat sampai-sampai mereka pernah saling menginap berhari-hari di rumah keduanya. Namun sekarang, untuk bersapa saja terasa canggung bagi Purnama dikarenakan mereka sudah jarang bertemu sejak mereka menginjak bangku SMP.
Rama yang masuk ke sekolah asrama di kota mulai jarang terlihat dan bermain bersama Purnama. Mereka kini disibukkan dengan urusan masing-masing sehingga lupa teman semasa kecilnya dulu.
Dan kini, temannya yang kembali dari asrama kembali memilih sekolah yang berbeda dengan Purnama sehingga membuat perempuan itu semakin tak mengenali Rama.
"Dia sebenarnya teman satu asramaku dulu." ucap Chandra yang terdengar ingin menceritakan sesuatu.
"Aku tidak tahu kamu teman Rama." ucap Purnama dengan pamdangan menerawang ke arah jalanan di depan.
"Karena kamu jarang keluar rumah." ucap Chandra dengan jelas di telinga Purnama. Namun karena ia sedang tidak fokus, ia tidak bisa mencerna makna kalimat Chandra barusan.
"Maksud kamu?"
"Aku sering bermain ke rumah Rama." jelas Chandra seraya tersenyum kecil yang dilihat Purnama dari pantulan kaca spion.
"Ohh ..."
Chandra mengangguk kemudian membelokkan motornya sesuai dengan arah jalan yang dituju. "Kamu dekat dengan Rama?" tanya Chandra yang kembali mengeluarkan Purnama dari kebisuan.
"Iya, sewaktu kecil."
"Kalau sekarang?" tanya Chandra dengan penuh keingintahuan.
"Tidak terlalu." Purnama mengedikkan bahunya. Sudah lama juga ia tak melihat wajah Rama lagi sampai saat ini. Purnama yang selalu menyibukkan diri di rumah, dan Rama yang sibuk dengan kegiatan di luar rumah membuat mereka tidak pernah bertatap muka lagi sampai sekarang. Bahkan untuk berpapasan di jalan saja mereka sudah tidak pernah.
"Kenapa?"
"Ehm, karena kami sudah jarang bertemu. Dan mungkin dia sudah mempunyai teman yang lebih asik." ucap Purnama sekenanya.
"Kamu menyindirku?"
"Hah? Maksudnya?" Purnama sungguh tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Chandra. Namun setelah berpikir beberapa detik, ia mulai menyerap hubungan perkataannya dengan pertanyaan Chandra.
"Tentu tidak." ucap Purnama setelah mengerti apa yang dimaksud Chandra.
"Kamu mau menghampiri Rama dulu?" tanya Chandra saat mereka melewati rumah Rama.
"Tidak. Aku masih menggunakan seragamku. Agak tidak nyaman." Chandra mengangguk dan menghentikan motornya di depan rumah Purnama yang ditutupi pagar.
"Sudah sampai."
"Ah, iya. Terima kasih." Chandra mengangguk dan memutar balik motornya yang hendak menghampiri Rama di rumahnya.
Purnama terdiam menatap Chandra yang kini memasukkan motornya ke halaman rumah Rama. Dan bisa dilihat sebelum Chandra berbelok, pandangan mereka bertemu dan Chandra memberikan senyuman di balik helmnya yang nampak menyipitkan kedua sudut matanya
Purnama mematung melihatnya. Perasaannya diderasi oleh aliran hangat yang mampu mempercepat debaran jantungnya.
Flashback off
******
Saat ini Purnama sedang berada di sebuah gedung tempat diadakannya pertunangan Chandra dan Sahira. Ia sedang melihat seluruh sudut bangunan yang akan didekornya bersama Nyonya Dania dan Andre satu hari sebelum acara pertunangan dilaksanakan.
Dan Chandra menginginkan suasana pedesaan yang penuh dengan kayu-kayuan dan bunga segar, sesuai dengan kesukaan dua pasangan yang akan bertunangan itu.
Purnama tersenyum mengingat Chandra yang selalu menyukai kayu-kayuan dan segala hal yang diciptakan dari bahan dasar kayu. Dan sekarang-pun, mengingat perkataan pria itu, Chandra sudah mapan dengan memiliki usaha furniture yang sudah terkenal dengan kualitasnya.
Setelah meneliti dan mencatat apa yang dibutuhkan bersama Nyonya Dania. Purnama beserta wanita tua itu keluar dari gedung beserta pengelola dari gedung tersebut. Dan setelahnya mereka akan kembali ke toko bunga yang sementara di jaga oleh Andre.
Sebenarnya toko bunga milik Nyonya Dania adalah usaha kecil-kecilan yang dimiliki wanita tua tersebut. Ia pun hanya memiliki dua pegawai ditambah dirinya yang ikut mengelola. Namun meski begitu, kinerja mereka tak bisa diremehkan. Mereka bekerja bersama dengan keras hingga hasil yang dicapai selalu memuaskan.
Di halaman gedung, mereka bertemu dengan Ibu Windi, ibu dari Chandra yang baru saja keluar dari mobilnya seorang diri. Ia menghampiri Nyonya Dania dan meminta waktu kerja Purnama yang tersisa. Dan tanpa lebih banyak bertanya lagi, Nyonya Dania mempersilahkan Purnama untuk ikut bersama Bu Windi.
"Bagaimana progres tata dekorasi yang hendak kamu gunakan?" tanya Bu Windi yang tengah mengemudikan mobilnya tanpa memperhatikan gadis di sampingnya.
"Untuk desain kami sudah menentukan yang terbaik. Dan untuk bahan sendiri, ada sebagian yang belum kami dapatkan. Saya pastikan semuanya akan lengkap tepat pada waktunya." papar Purnama seraya melihat kertas catatan kerjanya.
"Saya ingin yang terbaik untuk anak saya." ucap Windi seraya menoleh ke arah Purnama dan tersenyum penuh pengharapan. Dan Purnama mengangguk membalas senyuman itu dengan tulus. Mungkin dengan memberikan yang terbaik bagi Chanda, adalah hal yang akan membuat Purnama tenang dan bahagia.
"Anda sangat menyayangi anak anda." tutur Purnama dengan pikiran yang tertuju kepada seseorang yang tengah ia bicarakan.
"Ya, dia sangat penurut dan pandai menjaga emosi." Purnama mengangguk membenarkan perkataan Windi. Dulu Chandra selalu baik dan tidak pernah marah kepada siapapun. Dan karena kebodohan Purnama sendiri, ia yang mencoreng daftar sifat baik Chandra dan membuat pria itu marah besar kepadanya. Dan Purnama sangsi bahwa Chandra hanya pernah marah kepada dirinya saja.
"Saya harap kamu akan menyempurnakan acara pertunangannya nanti." Dan Purnama kembali mengangguk dengan pasti demi memenuhi keinginan pelanggan.