Alekta membutuhkan waktu untuk memikirkan apa yang diinginkan olehnya sang ayah dan ibunya. Namun, rasa cintanya pada Caesar begitu besar, dia takut tidak bisa membahagiakan yang akan menjadi suaminya kelak.
Rumah tangga yang tidak dilandasi cinta hanya akan membuat kedua pasangan itu saling menyakiti. Tidak akan ada rasa hangat dan saling mendukung antara keduanya.
Dia takut jika menikah dengan pria pilihan ayahnya yang akan menderita adalah pria itu. Karena dia tidak bisa memberikan rasa cinta dan kehangatan untuknya.
Karena hari dia sepenuhnya hanya untuk Caesar seorang. Mungkin dia tidak akan pernah membuka hatinya untuk orang lain.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Casandra yang baru saja memasuki kamar Alekta.
"Kau pasti sudah tahu," jawab Alekta dengan datar.
Casandra berjalan mendekat lalu dia duduk di samping Alekta. Dia pun menatap sahabatnya itu sebab dirinya tahu jika Alekta masih belum bisa melupakan Caesar.
"Lupakan pria itu! Dia tidak pantas untukmu. Apa kau tahu jika dia memiliki motif untuk mendekatimu?" kata Casandra sembari menatapnya.
"Apa maksudmu? Kau menganggap aku sudah dibodohi olehnya?" tanya Alekta dengan nada sedikit meninggi.
"Kau yang bisa menilai dirimu sendiri dan kau juga pasti bisa menilai bagaimana Caesar itu," timpal Casandra.
Casandra mengatakan jika dalam beberapa hari ini dirinya akan sangat sibuk karena mengurus acara pernikahan kakaknya. Namun, dia akan selalu ada untuk Alekta jika membutuhkannya.
Kali ini Casandra hanya berkunjung sebentar saja, dia hanya ingin melihat keadaan Alekta. Karena ibunya menghubungi Casandra dan menyuruhnya untuk menemuinya.
"Bagaimana jika kita pergi ke suatu tempat?" usul Casandra.
"Ke mana?" tanya Alekta dengan nada malas.
Alekta sedang tidak ingin bepergian, dirinya hanya ingin diam di dalam kamar. Sembari memikirkan apa yang harus dilakukan olehnya.
Pikirannya masih kacau, dia tidak ingin mengecewakan dan membuat sedih sang ayah serta ibunya. Namun, dia juga tidak bisa mengesampingkan hatinya karena itu akan berpengaruh pada kebahagiaannya.
Karena baginya pernikahan adalah suatu hal yang sakral dan tidak bisa dilakukan tanpa cinta. Banyak ketakutan dalam dirinya jika menikah tanpa adanya rasa saling cinta.
"Ikut saja denganku! Ayo bersiap kita menggunakan motor saja!" ujar Casandra.
Casandra datang ke rumah Alekta menggunakan sepeda motor. Dia berniat untuk mengajak Alekta menunggangi sepeda motornya lalu memacunya dengan kecepatan tinggi.
"Aku malas naik motor, bagaimana jika naik mobil saja?" tanya Alekta yang bermalasan.
"Tidak. Pokoknya aku ingin kita menggunakan sepeda motor!" tekan Casandra.
Alekta pun akhirnya mengalah dengan Casandra, dia mengganti pakaiannya. Setelah semuanya siap, mereka berdua berjalan keluar.
"Apa kalian akan pergi?" tanya ibu yang sedang duduk santai di sofa sembari memegang ponselnya.
"Iya, Bu. Bolehkan aku membawa putrimu yang pemurung ini?" jawab Casandra dan sekalian meminta izin untuk pergi bersama Alekta.
"Pergilah tetapi kalian harus berhati-hati dan ingat jangan pulang larut malam!" ujar ibu seraya memberikan peringatan tetapi mengizinkan mereka berdua pergi.
Alekta tidak banyak bicara, dia pun berjalan keluar rumah. Sang ibu hanya memperhatikan kepergian putrinya yang tidak berkata apa-apa padanya.
"Kamu pasti kecewa dengan apa yang sudah kami putuskan. Namun, semua ini demi kebaikanmu, Sayang." Gumam ibu sembari kembali fokus pada ponselnya.
Motor sudah berdiri tegap dan mengkilap, rupanya satpam sudah menyiapkan sepeda motornya. Padahal dia tidak menyuruhnya, apakah semua ini adalah rencana Casandra.
"Jangan bengong! Aku yang menyuruh satpam untuk menyiapkan motormu!" ujar Casandra sembari memakai helmnya lalu duduk di atas motor.
Casandra langsung menyalakan mesin motornya, dia sudah siap untuk memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Kali ini dia tidak akan mengalah dengan Alekta.
"Kita bertemu di tempat biasa!" ucap Casandra lalu dia menarik gas motornya. Dia pun melesat meninggalkan rumah Alekta.
Alekta tersenyum, dia mulai menggunakan helmnya lalu menyalakan mesin motornya. Dia tahu jika Casandra tidak ingin mengalah darinya.
Namun, semua yang dilakukan oleh Allah Casandra tidak akan bisa mengalahkan dirinya. Meski dia temannya itu sudah berada di depannya, Alekta akan bisa mengejarnya dan mengalahkannya.
Alekta menarik gas motornya perjalanan meninggalkan rumah. Saat sudah berada di luar dia menambahkan kecepatan motornya perlahan.
Sedikit demi sedikit kecepatan motornya mulai meninggi. Sehingga dia melesat dan berusaha untuk mengejar Casandra yang sudah ada di depannya.
Jika pun dia kalah kali ini, dia tidak akan menerimanya begitu saja. Alekta akan menantang Casandra kembali di arena balap motor.
Karena di sana lebih aman untuk memacu motornya sampai titik paling tinggi. Jalanan mulai terlihat padat, Alekta meliuk-liukkan tubuhnya sehingga motornya ikut meliuk untuk menyalip kendaraan yang ada di depannya.
Kedua ukur bibirnya tersenyum, dia melihat Casandra yang berada di depannya. Dia langsung saja menarik gas motornya untuk mendekat.
Lampu merah menghentikan Casandra, dia terlihat sangat kesal dengan kepadatan di jalan raya. Dia melihat ke samping, senyum kecutnya muncul karena melihat sahabatnya sudah berada di sampingnya.
"Kau tidak akan bisa mengalahkan aku!" ujar Alekta dengan nada menggoda.
"Huh ... kita lihat saja nanti!" timpal Casandra dengan kesal.
Lampu merah akan berganti menjadi lampu hijau, Casandra sudah siap-siap menarik gas motornya. Dia tidak ingin kalah dari Alekta kali ini.
Alekta juga tidak akan mengalah begitu saja, dia akan mengalahkan sahabatnya itu. Namun, saat dia hendak menarik gas motornya, Alekta melihat seseorang.
Orang itu sedang berjalan lalu memasuki sebuah mobil. Dia juga melihat ada seorang wanita yang ikut masuk juga ke dalam mobil.
"Siapa dia?" gumam Alekta.
Terdengar bunyi klakson mobil dan motor yang memberikan tanda pada Alekta untuk segera menjalankan motornya. Dia kembali tersadar dan mulai menarik gas motornya.
Dia memacu motornya dengan cepat, tidak menyadari jika dirinya sudah melewati Casandra. Dia pun menghentikan motornya tepat di sebuah arena balap motor.
"Kau berhasil mengalahkan aku lagi," ucap Casandra yang berhenti di samping Alekta.
Casandra menatap Alekta, dia bingung dengan temannya itu. Tatapnya serasa ada kesedihan dan kekecewaan.
"Ada apa denganmu?!" Casandra bertanya pada Alekta dengan menepuk pundaknya.
Alekta tersadar dengan tepukan Casandra, "Aku tidak apa-apa."
Namun, Casandra tidak percaya begitu saja, dia yakin jika ada sesuatu yang sudah terjadi. Dia berusaha untuk membujuk Alekta agar mengatakan apa yang terjadi padanya.
"Katakan padaku! Apa yang sudah terjadi, Alekta Suryana!" tukas Casandra yang sudah kesal pada Alekta karena dia hanya diam seribu bahasa.
Alekta menghela napasnya, dia menatap ke atas langit yang begitu biru. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.
"Aku melihatnya tadi...,"
"Siapa yang kau lihat? Mengapa kau menjadi seperti ini!" Casandra kembali bertanya.
"Aku melihat dia, Casandra...," Alekta masih mengatakan hal yang sama.