Alisha masih bergeming, waspada, saat Hilman menatapnya tajam kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga kanannya. Tangan Alisha yang dicengkram kuat oleh Hilman, terkepal. Menunggu kesempatan untuk melawan. Dirinya tidak terima, pria tampan sekali pun, atau bahkan bosnya sekali pun, jika coba-coba melecehkannya.
Posisinya benar-benar tidak menguntungkan Alisha saat ini. Menggunakan dahi untuk melumpuhkan Hilman pun, peluangnya sangat kecil. Jarak sependek ini tidak akan berpengaruh banyak, jika ia tetap melakukannya, paling-paling hanya akan membuat hidung Hilman memerah saja.
Menekan hidung lawan, menggunakan dahi, harus ada jarak setidaknya sekepal tangan, tetapi tidak demikian, dengan posisi Alisha sekarang. Menggunakan lututnya untuk melawan pun, sulit. Hilman sengaja memangkas jarak sekecil mungkin, seolah penuh perhitungan, memprediksi tindakan apa yang akan Alisha ambil untuk melawannya.
"Kau harus banyak belajar, Al," ujar Hilman di telinga kanan Alisha. Napas yang berhembus, menyentuh kulit di lehernya, membuatnya meremang, geli. Aroma strong mint dari mulut Hilman terhindu kuat di penciuman Alisha, memberikan sensasi dingin. "Kumis yang tipis bikin gemes, heh?" lanjut Hilman. Membuat Alisha terbelalak dan spontan menoleh, membuatnya tanpa sengaja menyentuh permukaan lembut, basah, dan hangat. Sekejap mata!
Hilman terkesiap, dan tanpa disadarinya melonggarkan kuncian tangannya pada pergelangan tangan Alisha. Kesempatan ini tidak disia-siakan, langsung digunakan Alisha untuk melawan. Kepalan tangannya mengeras, dengan kekuatan penuh, Alisha menghentakkan dahinya ke arah hidung Hilman, sekeras mungkin yang ia mampu.
Terakhir, menggunakan lututnya untuk menyerang selangkangan Hilman. Melihat masih ada ruang yang cukup antara Alisha dengan Hilman, ia lalu meluruskan lengan kirinya dan menekan dagu serta hidung Hilman dengan tangan kanannya. Semua tindakannya terjadi begitu cepat dan seketika membuat Hilman disorientasi, limbung, terkapar di lantai. Memegang hidung dan selangkangannya. Alisha yakin, wajahnya semerah tomat.
"Aku telah belajar. Ternyata, lelaki yang pandai memasang penyadap, tidak cukup pintar memilih aroma mulut yang disukai wanita, untuk memikatnya. Strong mintmu terlalu lebay, Man. Saranku, pakai aroma strawberri, itu bahkan lebih membuatku bergairah!!" ucap Alisha geram, lalu berlalu akan meninggalkan Hilman di dalam ruangan.
Baru dua langkah, Alisha teringat sesuatu, "Oh, ya, by the way, aku terima perjodohan dengan kakakmu! Jadi ingat-ingat posisimu nanti adalah adik iparku!!" ucapnya terakhir kali dan benar-benar meninggalkan Hilman yang kesakitan. Dibantingnya keras, pintu ruangan itu. Beberapa rekannya yang ada di sana dibuatnya terkejut.
Alisha berjalan cepat menjauhi ruangan laknat itu. Dengan terburu-buru menekan tombol lift agar segera membuka. Di dalam lift, Alisha merenung. Ternyata, sejak awal Hilman sudah menguntitnya. Tetapi di mana alat penyadap itu disembunyikannya? Tak lama, pintu lift terbuka di lantai 12, Alisha keluar dari lift dan tanpa sadar, langkahnya membawanya ke ruang kendali, tempat Mia bekerja. Dirinya butuh tempat untuk menumpahkan emosinya.
***
"Tenang Al. Tarik napas, buang napas, hirup, hembuskan," ujar Mia menenangkan Alisha. Beberapa lembar tisu, teronggok begitu saja di meja dan di lantai ruang kerjanya. Menjadi saksi bisu kekecewaan Alisha.
Mia, sedang berkomunikasi dengan seseorang melalui alat telekomunikasi khusus, saat mendapati Alisha masuk ke ruangannya. Matanya memerah, begitu pula hidungnya. Hatinya sedang buruk, Mia menebak. Dirangkulnya tubuh Alisha, kemudian digiringnya menuju sofa kecil yang ada di sudut ruangan. Seketika pecah tangis Alisha, yang semenjak tadi dibendungnya saat meninggalkan ruangan rapat. Membiarkan supervisornya terkapar di sana.
Sungguh, Alisha tidak peduli dengan posisinya sekarang, dia akan melawan, jika dirinya ditarik dari misi ini, atau bahkan dipecat secara tidak hormat. Dia akan mengatakan, bahwa Hilman telah melecehkannya, dan tindakannya adalah untuk membela diri.
"Gue gak ngerti, kenapa Hilman berbuat begitu," tutur Alisha di sela isak tangisnya.
"Sabar, ya, Al. Gue yakin, pak Hilman gak bermaksud seperti yang lo sangka."
"Gak bermaksud gimana? Dia yang udah nyadap pembicaraan kita tempo hari, Mia," jelas Alisha. Bisa-bisanya Mia masih menganggap tindakan Hilman tidak ada maksud ke arah sana.
"Iya. Dan itu emang tugas dia sebagai supervisor, bukan?" jawab Mia. Tiba-tiba Alisha berhenti menangis.
"Lo udah tau, kalau yang nyadap gue, itu dia?" tuduh Alisha.
"Baru kemarin, Al. Maaf, gue gak kasih tau lo. Pak Hilman yang minta."
Alisha memaklumi, Mia tidak mungkin membantah perintah atasan. Tetapi, seharusnya sebagai teman, Mia bisa memberi sedikit petunjuk, bukan. Sebelum mereka, lebih tepatnya Alisha, membahas sosok Hilman.
"Gue baru tau, pak Hilman, supervisor baru lo, tuh, setelah alarm penyadap bunyi, Al. Waktu itu gue baru liat suratnya," lanjut Mia menjelaskan alasannya, berharap Alisha paham.
"Gue, jadi nerusin perjodohan ini, Mia," ujar Alisha mengalihkan pembicaraan.
"Lo yakin?" tanya Mia memastikan.
"Ini tugas gue, bukan? Setidaknya, kalau gue gak ditarik," ujar Alisha tidak yakin.
"Kalau lo nerima, ya, gak, 'kan, ditariklah. Lagian, kandidat yang cocok cuma lo," ucap Mia, menahan tawa.
"Rese, lo, Mia! Mentang-mentang udah punya suami."
"Sapa suruh, lo jomblo lama-lama?"
"Igh, lakinya aja yang pada gak mau sama gue," Alisha berkelit, namun tiba-tiba menyadari sesuatu. "Ya, ampun! Pantes aja laki-laki pada mundur, ya. Belum sepekan, gue dah bikin dua laki-laki terluka. Kakak-ade pula." Alisha lalu menutup wajahnya, malu.
"Nah, baru nyadar." Mereka pun tertawa.
***
Tepat dua pekan setelah kejadian yang menimpa Adrian di mall Bandung, masuk panggilan telepon di ponsel Hilman. Tertera nama ibunya di layar.
"Ya, Ma?" jawab Hilman setelah menggulirkan tombol menerima panggilan. Hilman sedang berkutat di depan laptopnya.
"Man, bisa ikut temenin mama sama Ian, 'kan?" tanya ibunya to the poin.
Hilman menggerutu, "Mama, nih. Anaknya lagi masa pemulihan. Bukannya ditanya dulu kabarnya. Malah nanyain yang lain." Terdengar tawa dari seberang telepon.
"Iya. Anak mama, udah sembuh, 'kan?"
Hilman memberitahukan ibunya, saat dirinya harus masuk rumah sakit di Jakarta, akibat kecelakaan di kantornya, tanpa menyebutkan penyebabnya. Hingga hari ini, ibunya tidak tahu bahwa Hilman bekerja sebagai mata-mata. Yang ibunya tahu, Hilman bekerja di sebuah perusahaan percetakan di Jakarta. Dan pulang setidaknya sebulan sekali ke rumahnya di Bandung.
"Lumayan," jawab Hilman. Matanya masih fokus menatap layar monitor. Jari-jemarinya dengan lincah menekan tombol-tombol keyboard.
"Besok, ya, temenin mama sama Adrian ke Bogor," pinta ibunya.
"Oke." Hilman pun memutuskan sambungan telepon. Ditatapnya lama, tulisan di layar monitor itu, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya.
***
Selepas subuh, Adrian dan ibunya sudah meluncur menuju Bogor, namun sebelumnya mereka terlebih dahulu menuju apartemen Hilman, untuk menjemputnya.
"Wo ho ho, idung lo kenapa, Man?" tanya Adrian dengan nada meledek, kala adiknya masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi depan.
"Biasalah," jawab Hilman singkat.
"Belum sembuh bener ya, Man?" tanya ibunya khawatir.
"Dikit lagi sembuh, kok, Ma. Tenang aja. Ini belum separah memar Adrian, kok," ujarnya menahan tawa. Diliriknya sekilas Adrian yang terlihat bermuka masam.
Adrian belum mengetahui, siapa yang bertanggungjawab atas lukanya. Jika tahu, mungkin akan lain ceritanya. Demi tugas, Hilman rela seperti ini.
***