Sepekan sebelumnya ....
BLAM!!
Terdengar suara keras pintu dibanting dari ruangan rapat, tempat biasa para agen mata-mata berkumpul untuk presentasi laporan investigasi atau berdiskusi hal-hal penting lainnya yang berhubungan dengan tugas para agen intelijen.
Tampak sosok wanita berjalan terburu-buru sesaat setelah terdengar suara bantingan pintu itu. Beberapa agen melihat wanita itu baru saja keluar dari ruang rapat. Sepertinya agen baru, karena mereka belum mengenalnya. Salah satu agen bernama Theo, lantas memeriksa ke dalam ruang rapat tersebut.
Pemandangan yang Theo lihat adalah, agen seniornya, Hilman tergeletak di lantai, seraya memegang hidung dan selangkangannya. Spontan ia berlari mendekat dan membantu Hilman berdiri. Hilman berjalan tertatih menuju kursi. Theo melihat hidung Hilman mengeluarkan darah dan lekas mencari kain di kotak P3K yang selalu tersedia di ruangan, untuk menahan laju aliran darahnya, dan bersegera membawanya ke rumah sakit.
Beruntung nasib Hilman, sebelum melancarkan aksinya, mendengarkan saran Mia, salah satu operator misi dan teman baik Alisha, yakni untuk mengenakan perlengkapan pengaman di daerah sensitifnya. Meski hidungnya telah menjadi korban, setidaknya di masa depan, Hilman masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan keturunan. Karena serangan yang dilancarkan Alisha bisa saja memiliki efek samping, pada organ reproduksinya. Meski seorang wanita, tetapi kekuatan dan ketahanan fisik Alisha berada di atas rata-rata kekuatan wanita pada umumnya, setara dengan para petarung laki-laki.
Bakat yang memang sudah lama diawasi oleh agen rahasia BIN, sejak Alisha beranjak remaja, karena dahulu, sebelumnya, pernah ada wanita petarung seperti Alisha. Yang dikenal sebagai 'wanita mesin pembunuh'. Gerakannya saat bertarung, sangat lincah, cepat, dan membuat lawan tidak bisa memprediksi gerakan selanjutnya, untuk menangkis serangan yang dilancarkan. Namun, tiba-tiba wanita itu menghilang.
***
Sepekan kemudian ....
Mobil yang ditumpangi Adrian, Hilman, dan Regina, ibu mereka, baru keluar dari kawasan tol Sentul Selatan, Bogor, saat tiba-tiba Adrian mengambil jalur kiri, keluar dari jalan tol, menuju daerah Tanah Baru.
Regina yang sedang melakukan panggilan telepon dengan Laras, tante Alisha, untuk mengabarkan bahwa mereka telah tiba di pintu tol Sentul Selatan, Bogor, tiba-tiba menyadari, anaknya mengambil arah yang berbeda dengan yang diarahkan oleh GPS pada ponsel anaknya. Mereka mendapatkan alamat rumah keluarga Alisha dari tante Laras, dan mereka akan berkumpul di sana pada hari ini. Maksud dan tujuan mereka berkunjung pun sudah diberitahukan kepada ayah Alisha, Yahya.
"Ian, kok, malah belok ke sini?" tanya Regina.
Adrian tidak langsung menjawab, namun memberi kode pada adiknya, Hilman, bahwa ada mobil Vios hitam yang mengikuti mereka. Sejak mereka meninggalkan kawasan apartemen Hilman, Adrian sudah menaruh curiga, bahwa mobil di belakang mereka membuntutinya, bahkan menjaga jarak yang konstan, agar tidak kehilangan jejak. Awalnya, dia pikir hanya kebetulan saja, mungkin mobil itu memiliki tujuan yang sama dengannya. Namun, kini dugaannya terbukti. Positif! Mobil Vios hitam itu membuntuti mobil mereka, karena mereka ikut keluar dari jalan tol.
"Sebentar, Ma. Ian haus dan laper, mau cari mini market dulu," jawab Adrian menenangkan ibunya.
Tiba di ujung pertigaan jalan, Adrian membelokkan mobilnya ke kiri, jalanan sempit yang padat pamukiman penduduk membuat jarak mobilnya dan mobil di belakangnya semakin dekat. Adrian mencoba mengecoh, dengan masuk ke salah satu mini market yang ada di sana. Menunggu mobil itu melewatinya.
Hilman berinisiatif untuk turun dari mobil dan mengecek, sedangkan Adrian tetap di dalam mobil menemani ibu mereka.
Sepuluh menit kemudian, Hilman kembali dan di tangannya terlihat tiga minuman ringan dan satu bungkus roti sobek ukuran jumbo. Adrian dan Hilman kemudian memakan roti sobek itu, sambil menunggu keadaan aman. Sementara Regina hanya meminum minuman ringannya.
"Lanjut?" tanya Adrian.
"Lanjut," jawab Hilman.
"Ian, emang tau jalannya kalo lewat sini?" tanya Regina.
"Ada GPS, Ma. Tenang aja. Pasti nyampe," jawab Adrian.
Dua puluh menit kemudian, mobil yang mereka kendarai masih belum juga tiba di tujuan. Ntah apa yang salah dari pentunjuk yang diberikan oleh GPS ponselnya. Mereka seperti berputar-putar tak tentu arah, karena sempat melewati tempat yang sama tiga kali.
"My Big Bro, tau jalan, gak, sih?" tanya Hilman gemas.
"GPS-nya, niy," jawab Adrian hampir frustasi. "Atau, lo gantian yang bawa?" tawarnya.
"Oke," jawab Hilman.
Adrian kemudian menepikan mobilnya, dan menggeser duduknya, membiarkan Hilman yang keluar dari mobil untuk bertukar posisi. Dengan cekatan, Hilman mengirimkan pesan singkat ke Mia, meminta dipandu, sebelum ia masuk kembali ke dalam mobil.
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah lewat hampir sejam yang lalu dari waktu yang dijanjikan. Regina inisiatif menelepon Laras kembali.
"Jeng, maaf, niy, kita nyasar sepertinya. Yang lain masih nunggu, 'kan, ya?" ujar Regina setelah teleponnya diterima Laras.
"Ma, udah dapet, kok, ini jalannya. Sepuluh menit lagi paling, nyampe," ucap Hilman memberitahukan ibunya.
Regina pun memutuskan sambungan teleponnya, dan bersiap-siap. Perjalanan Bandung-Bogor memang menyita waktu, terlebih lagi di akhir pekan. Banyak kendaraan dari luar Bogor yang memenuhi arteri jalan, khususnya, jalan-jalan di kawasan yang terkenal dengan wisata kulinernya.
Lima menit berlalu, tampak mobil Vios hitam yang tadi membuntuti mobil mereka, kembali. Hilman, mau tidak mau, harus mengecoh mobil itu. Adrian menyadari ada yang salah dengan cara Hilman membawa mobil pun, melirik kaca spion depan.
"Dia balik lagi?" tanya Adrian.
"Apanya yang balik lagi, Ian?" tanya Regina tidak mengerti.
"Man?" tanya Adrian.
"Tenang," jawab Hilman. Kemudian, sekitar satu kilo meter di depan, dilihatnya pada layar ponsel, ada putaran Air Mancur. Hilman menambah kecepatannya, dan dengan mendadak, membanting stirnya ke kanan. Terdengar decitan keras suara rem mobil di belakangnya—bersamaan dengan teriakan Regina. Masih dengan kecepatan yang sama, Hilman membelokkan mobilnya ke dalam sebuah gedung olah raga, bersembunyi dan menunggu instruksi dari Mia selanjutnya.
Buru-buru Adrian menengok kursi penumpang di belakang. Regina, ibu mereka tampak syok.
"Mama, gak apa-apa?" tanya Adrian.
Regina terlihat mengatur napasnya perlahan. Dadanya masih berdebar-debar. Tak disangkanya, anak keduanya membawa mobil seperti itu.
"Minum dulu, Ma," ucap Hilman, menyodorkan minuman pada ibunya, yang langsung diterimanya dengan tangan bergetar.
"Hilman! Apa-apaan kamu, teh, ngebut-ngebut, ugal-ugalan kaya gitu! Kalo celaka gimana? Kalo nabrak orang gimana? Kalo ditangkap polisi gimana?" cerocos Regina setelah pulih kesadarannya.
Terdengar dering di ponsel Regina, yang langsung disodorkan kepada anak sulungnya. "Kamu yang terima, mama gak sanggup ngomong, masih lemes."
Adrian melihat nama yang tertera di layar ponsel, Laras.
"Ya, Tan? Ini Ian. Bentar lagi kami sampai," jawab Adrian.
Hilman kemudian mengemudikan kembali mobilnya, dengan kecepatan empat puluh kilo meter per jam saja. Perlahan mobil mulai meninggalkan kawasan itu menuju rumah keluarga Alisha.
***