Adrian turun dari kendaraannya setelah memarkirkan di garasi rumah milik orang tua Alisha. Meninggalkan Alisha begitu saja di dalam mobilnya.
Tidak membukakan pintu untuk Alisha, sebagaimana biasanya pria sejati memperlakukan wanitanya.
Sepanjang perjalanan pulang ke Bogor, Alisha dan Adrian kembali bertengkar mulut.
Alisha yang memulai terlebih dahulu pertengkaran mereka, menyebutkan perjanjian yang harus Adrian pegang selama awal-awal pernikahan.
Seperti tidak seenaknya menggandeng tangannya di muka umum. Tidak lagi mencuri ciuman Alisha. Hingga permintaan Alisha memberinya waktu untuk menunaikan haknya sebagai istri.
Membayangkannya saja Alisha sudah bergidik ngeri. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya akan melakukannya bersama orang yang tidak dicintainya, apalagi pria itu adalah kakak dari laki-laki yang Alisha cintai.
Rasanya sulit dan tidak mungkin dilakukannya untuk saat ini. Tidak sekarang atau pun nanti, meski Alisha telah selesai dengan siklus bulanannya.
Alisha masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya di lantai dua. Mengabaikan ayah dan dua saudara laki-lakinya yang baru saja selesai makan siang. Adrian baru saja bergabung. Dan ayah, juga dua saudara Alisha menemaninya makan siang.
Jika Alisha besok harus ikut tinggal di Bandung bersama Adrian, malam ini adalah malam terakhir ia tidur di kamarnya.
Alisha menyiapkan beberapa pakaian yang akan dibawanya ke Bandung. Tidak banyak, Alisha masih menyisakan pakaian lainnya di dalam lemari. Berharap saat Adrian libur kerja, suaminya itu mau diajak kembali ke Bogor dan menginap.
Mengingat akan meninggalkan kamarnya sedari awal remaja, membuat Alisha merasa berat sekali. Banyak kenangan di dalam kamarnya itu.
Sejak sekolah menengah pertama, di tahun ke dua, Alisha terpaksa kehilangan sang ibu. Kala itu ia genap berusia empat belas tahun. Tanpa sengaja, sepulang sekolah melihat ibunya sedang bertarung dengan beberapa pria dewasa berpakaian serba hitam yang tidak dikenalnya. Tidak jauh dari tempatnya bersekolah.
Alisha kemudian turut membantu ibunya mengalahkan orang-orang asing itu. Dalam sekejap, mereka berhasil dilumpuhkan. Setelah itu, Alisha terjatuh tak sadarkan diri karena kelelahan.
Saat sadar, Alisha sudah berada di rumah sakit, dirawat bersama ibunya. Satu hari setelah itu, ibunya dinyatakan meninggal. Penyebabnya masih belum diketahui hingga hari ini.
Setelah kematian ibunya, Yahya membawa Alisha dan juga dua anak laki-lakinya pindah ke Bogor.
Alisha menatap foto lama ibunya dan Alisha. Foto yang diambil beberapa bulan sebelum kematian sang ibu. Mereka berdua saling berpelukan dan tersenyum ke arah kamera. Yahya yang mengambil foto mereka berdua, saat rekreasi ke daerah Puncak, Cisarua, Bogor.
"Kangen ibumu?" Tiba-tiba saja, suara Adrian terdengar di telinga Alisha. Pria itu duduk di ranjang di sebelah Alisha. Ikut memandangi foto Alisha dan ibunya.
Alisha mengusap sudut matanya. "Bukan urusanmu!" jawab Alisha ketus, kemudian meletakkan kembali foto itu di atas meja rias Alisha.
Adrian menghela napas. Susah ternyata mengambil hati Alisha. Adrian lantas memilih merebahkan diri di atas ranjang, menyanggah kepalanya dengan kedua tangannya, kemudian memejamkan mata. Mengabaikan Alisha yang kini melotot ke arahnya.
"Ian, kamu ngapain?" Alisha beranjak dan menatap Adrian yang dengan santainya merebahkan diri di atas ranjangnya.
Masih memejamkan mata, Adrian dengan santai menjawab, "Kau tidak bisa lihat, Al? Aku sedang berusaha untuk tidur."
Alisha menatap Adrian tidak percaya. Pria ini, sesaat lalu marah dan meninggalkannya begitu saja di garasi. Sesaat lalu bersikap sok akrab bertanya soal ibunya. Dan sekarang, dengan santainya tanpa merasa bersalah, tidur di ranjangnya.
Benar-benar menyebalkan! Alisha merutuki dalam hati.
Alisha kembali membereskan pakaian yang hendak dibawanya ke rumah Adrian. Mengepaknya hanya dalam satu tas ransel saja.
Pintu kamarnya diketuk. Alvian sang kakak nomor dua.
"Ya, Kak?" tanya Alisha setelah membuka pintu.
"Al, udah makan? Dipanggil papa. Suami makan, kok, gak ditemenin, sih?" Alvian langsung mencecar Alisha.
Alisha menoleh ke arah ranjangnya, tempat Adrian tengah berbaring. "Iya, nanti Al turun. Al lagi beresin baju dulu."
"Ya, udah, langsung turun nanti." Alvian lantas pergi ke kamarnya.
Alisha menghela napas. Berpikir keras, apa yang harus ia katakan pada ayahnya nanti, membiarkan Adrian makan siang sendirian tadi, tidak ditemani olehnya.
Alisha menggigit bibir bawahnya, memandangi Adrian. Perlukah mengatakan kepada Adrian, jika Alisha akan ke bawah menemui sang ayah?
"Ian, aku ke bawah dulu sebentar." Alisha akhirnya mengatakannya, kemudian buru-buru keluar kamar tanpa menunggu Adrian menjawabnya.
Apa yang diharapkan dari orang yang sedang tidur? Lagi pula lebih baik begini, mengurangi pertengkaran mereka berlanjut. Baru menikah sehari, sudah berapa kali Alisha dan Adrian bertengkar? Benar-benar terlihat seperti pernikahan perjodohan yang terpaksa dan tidak bahagia.
"Ya, Pa?" tanya Alisha ketika sudah di bawah dan melihat Yahya tengah duduk di kursi malasnya, menatap layar televisi yang tengah menayangkan berita tentang kemacetan di daerah Puncak. Hal yang selalu terjadi di akhir pekan.
Perhatian Yahya teralihkan ketika mendengar putri satu-satunya menyapanya.
"Kau tidak ikut makan bersama suamimu tadi, Al?" Yahya meminta Alisha duduk di sampingnya.
Namun, Alisha memilih duduk di hadapan sang ayah. Lebih enak begitu, berhadapan langsung daripada berdekatan langsung, jika Yahya ingin menceramahinya.
"Ummm, Al tadi mau siapin baju dulu, Pa," jawab Alisha sambil tersenyum garing. Duh, alasan apa itu, Al? Tidak adakah alasan yang lebih baik? Tanya sebuah suara di kepalanya.
"Kalian bertengkar?" Yahya bertanya dari balik kacamatanya. Mengangkat kedua alisnya.
Alisha baru saja akan menjawab, 'tidak', Yahya kembali berujar, "Jika Al, menyesali keputusan menerima perjodohan ini. Dan ingin membatalkannya, Papa tidak akan melarang."
Alisha membelalakkan matanya. Tidak percaya ayahnya akan langsung memberinya ultimatum seperti ini.
Jika ayahnya mendukung perceraian, padahal mereka baru saja menikah, maka gagal sudah misinya. Meski Alisha kembali memperoleh kebebasan untuk mengejar cintanya–Hilman. Tapi, apakah itu sepadan? Ini misi pertamanya, masa iya, harus gagal?
"Nggak, Pa. Al gak ada pikiran ke sana," jawab Alisha yakin.
"Gak nyesel?"
"Nggak, Pa."
"Yakin?"
"Iya, Pa."
"Bagus. Lanjutkan pernikahan kalian hingga mendapat keturunan." Kalimat terakhir Yahya membuat Alisha kembali membelalakkan matanya.
Apa? Mendapat keturunan? Bagaimana caranya? Hari ini saja, Alisha baru memasuki fase menstruasinya yang kedua. Siklusnya biasa berlangsung selama lima hingga tujuh hari, tergantung emosinya.
"Kenapa? Tidak sanggup?" Yahya menatap lekat Alisha, yang terdiam membisu.
"Tidak, Papa. Hanya saja, Al, baru aja datang bulan, semalam." Alisha menunduk malu.
Betapa memalukan, bukan, membahas perihal datang bulan bersama ayahnya. Seharusnya hal ini ia bagi bersama ibunya, setidaknya dengan tantenya Laras. Tetapi bukan dengan ayahnya.
Tidak ada wanita di dalam rumah ini yang bisa Alisha ajak berdiskusi masalah kewanitaan seperti ini, juga hal lain yang berkaitan dengan dunia wanita.