Alisha akhirnya tertidur pulas. Entah sejak kapan, Alisha tidak ingat.
Ketika bangun, masih setengah sadar, Alisha merasakan tidur di sisi yang salah. Mengapa bisa begitu? Tangannya meraba-raba sisi ranjangnya, tapi tidak terasa seperti kasur yang empuk. Melainkan sesuatu yang hangat, terdengar suara detak jantung yang teratur.
Sesuatu yang Alisha duga adalah kasur empuknya, hanya saja, terasa seperti liat berotot, dan entah mengapa menjadi panas. Apa AC di kamarnya mendadak mati?
"Kau mau begitu terus hingga malam? Aku, sih, gak keberatan." Suara pria yang sudah familier terdengar dari bawah tubuhnya.
Apa? Bawah?
Seketika Alisha membuka matanya lebar-lebar. Dan mendapati Alisha tidur dalam pelukan Adrian.
"Aaaaacccch!!" Teriakannya cukup memekakkan telinga. Entah apa yang ada di pikirannya saat tertidur tadi.
Mengapa bisa, Alisha tidur di dalam pelukan Adrian? Apakah pria itu yang diam-diam memindahkan tubuhnya dan membawanya ke dalam pelukan hangat dan nyaman milik Adrian?
Ataukah, Alisha sendiri yang menyerahkan dirinya, untuk dipeluk Adrian?
Rasanya, pilihan pertama lebih masuk akal. Karena itu Alisha beranjak dan bertanya dengan nada menuding, "Ian, kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan, ya?"
Adrian yang masih berada di posisinya, mengurut pangkal hidungnya. Mengapa di mata Alisha, dirinya selalu menjadi orang yang disalahkan?
"Kamu bicara apa, Al? Aku gak lakuin apa-apa. Kamu sendiri yang begitu."
"Apa?" Alisha tidak percaya.
"Kau yang meminta untuk dipeluk. Aku tidak tahu kamu mimpi apa."
"Dan kau memelukku?" Alisha makin tidak percaya.
"Kamu yang mendatangiku, Al. Ya, sudah, jika tidak percaya." Adrian beranjak. Berdebat dengan Alisha tidak akan menang, meski Adrian di pihak yang benar.
"Kau mau ke mana?" pandangan Alisha mengikuti ke mana Adrian melangkah.
"Mandi. Ini sudah sore." Dan Adrian meninggalkan Alisha begitu saja di kamarnya.
Alisha menekan alat komunikasi di telinganya. "Mia, apa lo tadi denger apa yang terjadi?"
Hening beberapa saat.
"Mia?"
["Ya, Al."]
"Apa yang Adrian bilang, apakah benar?" Alisha butuh saksi.
["Maaf, Al, tadi alatnya kita matikan. Takut mengganggu aktivitas kalian."] Mia berkata dengan nada lirih.
"Apa?!" Alisha menjadi tidak sabaran. "Aktivitas apa?"
Hening kembali.
"Mia?" Alisha makin tidak sabaran. Sebetulnya apa yang telah terjadi saat ia tertidur tadi?
["Al, gue disuruh matiin sama pak Hilman, itu, kan, privasi. Gue juga gak mungkin dengerin."]
Mia ini, bicara apa, sih? Privasi apa? Mendengarkan apa?
"Mia, bicara yang jelas."
["Ya, lo tadi ngapain sama Adrian? Masa malah nanya sama gue. Mana gue tau, Al."]
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Adrian sudah kembali. Wangi aroma sabun mandi langsung memenuhi kamar Alisha. Mau tidak mau, Alisha berhenti mencecar Mia. Perhatiannya beralih kepada Adrian.
Pria ini, apa melakukan sesuatu padanya saat Alisha tertidur? Rasanya Adrian bukan pria yang seperti itu. Iya, kan? Alisha menjadi tidak yakin.
Bagaimana caranya mencari tahu apa yang terjadi? Di kamarnya tidak dipasangi CCTV atau alat perekam apa pun. Bertanya langsung, Alisha tentu saja tidak akan melakukannya.
"Ian," panggil Alisha, saat pria itu tengah memilih pakaian yang akan dikenakannya.
Pakaian yang dibawanya dari Bandung, masih berada di dalam tasnya. Entah mengapa Adrian tidak memindahkannya ke dalam lemari Alisha. Mungkin karena tahu, wanita itu tidak akan mengijinkannya, atau ada alasan lain?
"Kenapa?" Adrian sudah menemukan pakaian gantinya. Dan saat itu juga langsung membuka pakaiannya. Membuat Alisha memekik dan spontan membalikkan badan.
"Ian, kamu, kamu gak sopan!" Alisha masih memunggungi Adrian yang terlihat mencibir tingkah Alisha. Untuk apa wanita itu berbalik badan? Tho, mereka suami istri.
"Dasar perawan!" ledek Adrian. Pakaiannya sudah berganti. Namun, Alisha masih memunggunginya, membuat Adrian mendapatkan ide.
"Aku memang masih perawan. Apa masalahmu?" Alisha menjawab ketus.
Tidak ada yang salah bukan, jika Alisha masih perawan? Punya pacar saja tidak. Sekalinya ada pria pemberani yang melamarnya, di tengah jalan malah kabur. Bahkan saat undangan sudah disebar. Entah kenapa, pria itu bisa berubah pikiran tepat sepekan sebelum hari pernikahan mereka.
"Tidak ada." Adrian menjawab tepat di telinga Alisha, membuat Alisha lagi-lagi merinding.
"Ian ...." Alisha mengetatkan rahang.
"Kau masih menolakku?" Nada Adrian datar, namun Alisha tahu maksud pertanyaannya ke mana.
"Aku tidak menolakmu. Hanya saja, aku sedang datang bulan. Ok?" Alisha memberanikan diri membalik badannya. Tidak lagi peduli jika mendapati Adrian dengan tubuh polosnya.
Alisha menatap Adrian, yang juga tengah menatapnya. "Jadi, setelah bulanmu pergi, aku akan mendapat hakku?" Adrian mengonfirmasi.
"Aku istrimu, kan?" Alisha menjawab seolah pasrah.
"Wanita cerdas." Dan Adrian mengecup bibirnya, begitu saja. Tanpa perlawanan dari Alisha.
"Kamu mandilah. Setelah itu, kita turun bersama." Adrian menjauhkan diri dari Alisha dan duduk di atas ranjang.
Alisha menurut, dan menyiapkan segala keperluan mandinya, termasuk pakaian dalam dan pembalut wanita.
Selang dua puluh menit kemudian, Alisha dan Adrian sudah berada di bawah. Berkumpul bersama ayah dan kedua saudara kembarnya.
Mereka tengah bersiap untuk makan sore bersama. Obrolan di meja makan berputar soal rencana Alisha dan Adrian yang akan tinggal bersama di Bandung.
"Kau tahu, Alisha tidak bisa memasak, Ian." Alvian, kakak nomor dua membocorkan rahasia besar adik perempuannya. Tentu saja, Alisha memberinya hadiah, sebuah tendangan di kaki, dari balik meja.
"Tidak apa-apa. Aku juga bukan suami yang rewel, mewajibkan istri bisa masak." Adrian menjawab dengan santai.
Alvian mendengar jawaban Adrian, semakin menjadi menggoda adiknya. Hingga wajah Alisha memerah, menahan malu. Aldian pun ikut menggoda. Meski demikian, Adrian tetap membela Alisha. Alisha bisa melihat itu dari sudut matanya. Bahwa Adrian benar-benar tidak mempermasalahkan istrinya yang tidak bisa memasak. Menurutnya, keahlian memasak bisa didapat seiring berjalannya waktu. Dan selama itu, mereka bisa membeli makanan jadi. Lebih praktis
Alisha bisa bernapas lega. Tugas memasak biasa dipegang oleh kakaknya nomor satu. Aldian adalah koki andalan di dalam keluarga. Sejak kecil terbiasa membantu ibu mereka di dapur. Dan kemampuan memasaknya berkembang hingga dewasa. Sementara Alisha, hanya gemar memakan hasil buatan ibu dan kakaknya.
Tiba-tiba teringat kembali akan ibunya, membuat Alisha menjadi terdiam, sepanjang sisa makan sore bersama.
Yahya yang menanyakan kabar putrinya. "Kau baik-baik saja, Al?"
Alisha menyeka kedua sudut matanya. "Hanya teringat mama." Alisha mencoba tersenyum. Kedua kakaknya ikut terdiam.
Mereka yang ada di meja makan, merasakan kesedihan yang sama. Kehilangan orang yang mereka kasihi begitu cepat.
"Pa, kalau Al, berangkat ke Bandung malam ini. Apa Papa keberatan?" tanya Alisha tiba-tiba, setelah hening lama.
Adrian terkejut mendengar ucapan Alisha. Begitu pula Yahya dan kedua saudaranya.
"Kamu yakin, Al?" Adrian yang bertanya.
Rasanya tidak percaya. Sebelumnya, dalam perjalanan pulang kembali ke Bogor, Alisha sendiri yang bersikeras untuk tidak terburu-buru ikut dengan Adrian ke Bandung.