Adrian menatap Alisha dengan pandangan yang sulit diartikan Alisha.
"Kamu takut aku kerjain, Al?" Adrian tersenyum misterius.
"Ngapain takut?" Alisha menantang Adrian.
"Kalau gak takut, diminumlah. Nanti mual lagi di jalan, aku gak mau berhenti, lho." Adrian masih menyodorkan obat anti mabuk perjalanan.
Mau tidak mau Alisha menerimanya. Membuka bungkusnya dan meminumnya sekali teguk. Perjalanan masih jauh. Alisha tidak ingin mobilnya kotor terkena muntahan. Adrian mana mau nanti disuruh membersihkan mobilnya. Iya, kan?
"Udah aku minum. Puas?" Alisha membuang bungkus obat itu ke tempat sampah yang ada di mobil.
"Nah, gitu, dong. Nurut sama suami." Adrian memasang sabuk pengaman, diikuti Alisha, dan mobil pun kembali melaju, meninggalkan area Puncak.
"Lagian, ada jalan tol, yang praktis. Kenapa juga harus ambil jalan Puncak?" Alisha menggerutu. Melipat kedua tangannya di depan dada. Membuang muka, dan menatap ke arah luar jendela.
Untung saja Alisha menggunakan jaket tebal, jadi malam itu Alisha tidak kedinginan. Kedua kakinya Alisha naikkan ke atas kursi. Bergelung agar hangat maksimal, seperti seekor kucing. Dan tidak lama, Alisha tertidur. Obatnya memang manjur.
Adrian memperhatikan jalanan dengan seksama, keadaan mulai sepi. Area Puncak sudah terlewati beberapa jam yang lalu. Belum ada tanda-tanda Alisha akan terbangun dari tidurnya. Dan beruntungnya perjalanan ke Bandung berjalan mulus tanpa ada penguntit di belakang mereka.
Hampir empat jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di apartemen milik Adrian. Alisha masih tertidur pulas. Tidak ingin mengganggu tidur istrinya, Adrian memilih untuk menggendong Alisha hingga ke unitnya, di lantai sembilan belas.
Apartemen Adrian berada di kawasan yang cukup elit dan memiliki tingkat keamanan yang sangat baik. Penjagaan dua puluh empat jam. Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam gedung apartemen itu, jika tidak memiliki ijin dari pemiliknya.
Para penjaga keamanan sudah mengenal baik siapa Adrian. Bertanya sedikit siapa wanita yang dibawanya. Adrian tentu saja mengatakan Alisha adalah istrinya, dan akan berada di apartemennya mulai malam ini.
Adrian membawa Alisha hingga ke lantai sembilan belas tanpa beban. Sedikit heran, wanita ini sama sekali tidak terganggu tidurnya. Apakah obatnya semanjur itu? Tiba di unitnya, Adrian langsung merebahkan tubuh Alisha di ranjang king sizenya. Melepaskan sepatu yang dikenakan Alisha berikut jaketnya. Kemudian menyelimuti tubuhnya.
Alisha yang tertidur pulas, terlihat begitu cantik dan damai. Entah apa yang akan terjadi besok pagi, saat wanita itu terbangun. Semoga saja, bukan hal yang buruk. Doa Adrian di dalam hati.
Adrian sendiri melepas jaketnya, meregangkan tubuh sebentar, dan ikut merebahkan diri di samping Alisha. Memejamkan mata dan berusaha untuk tidur. Perjalanan empat jam terasa begitu melelahkan.
Jelang pagi buta, Adrian bangun lebih dahulu, kemudian membersihkan diri. Pakaiannya masih banyak di dalam lemarinya. Saat hendak menikah di Bogor, Adrian memang tidak membawa banyak pakaian, karena tidak berencana tinggal lama di Bogor.
Tinggal menurunkan pakaian milik Alisha dan barang-barang lainnya, nanti selepas melakukan ibadah. Adrian biasa melakukan salat jamaah di masjid raya dekat apartemennya. Sepulang dari sana, Adrian baru akan membawakan tas dan koper milik Alisha.
Adrian kembali ke apartemen dengan membawa banyak barang. Saat membuka pintu unitnya, Adrian dikagetkan dengan keberadaan Alisha di depan pintu unit apartemennya.
"Kau sudah bangun," ujar Adrian setelah hilang rasa terkejutnya.
"Kau meninggalkan aku terkunci di apartemenmu, Ian." Alisha langsung melayangkan protes, mengekor Adrian yang tengah membawa barang-barang miliknya dan Alisha ke dalam kamarnya, yang kini berubah menjadi kamar mereka.
"Aku bukannya sengaja, Al. Kau tidur nyenyak sekali." Adrian membuka baju koko dan sarungnya. Menggantungnya di salah satu dinding.
"Jadi itu semua salahku?" Alisha tidak terima disalahkan.
Siapa coba semalam yang membujuknya meminum obat anti mabuk perjalanan? Gerutu Alisha.
"Oke. Itu salah aku, karena membuatmu tertidur." Adrian memilih mengalah. Berdebat di pagi buta bukan pilihannya. Kemudian mengecup kening Alisha. Seolah itu hal yang biasa. Dan meninggalkan Alisha begitu saja, pergi ke kamar sebelah untuk mengerjakan pekerjaan kantornya.
Ya, Alisha harus mulai terbiasa. Menekan egonya. Melupakan perasaannya terhadap Hilman. Dan mulai menerima keadaan–bahwa Alisha adalah istri Adrian.
"Aku mau mandi." Alisha menuju kopernya, membuka kuncinya dan mencari handuk juga pakaian baru.
"Kau tahu letak kamar mandinya, kan?" Adrian menunjuk ke arah pintu yang tertutup yang berada di kamar mereka.
Alisha melepas anting di telinganya. Entah kenapa sejak semalam 'mereka' di sana terdengar tenang. Apakah 'mereka' mulai melepas Alisha atau bagaimana, Alisha tidak tahu. Yang jelas, mulai hari ini Alisha harus mulai memantau kebiasaan Adrian.
Alisha masuk ke kamar mandi, melepas pakaiannya dan mulai menyalakan air pancuran untuk mandi. Di bawah guyuran air hangat, Alisha memikirkan banyak hal.
Menyesalkan pagi dini hari pertamanya di apartemen Adrian, Alisha terlambat bangun. Sehingga tidak bisa mengukur dengan tepat, berapa lama Adrian pergi dari apartemennya.
Benar-benar sial, obat anti mabuk perjalanan itu, begitu manjur membuatnya tertidur lama tanpa terganggu. Alisha harus memeriksa kandungan obat anti mabuk itu.
Sepertinya kebiasaan Adrian salat berjamaah bisa Alisha gunakan untuk mulai memeriksa isi apartemen itu. Kemudian mencari komputer atau semacamnya yang biasa digunakan Adrian.
Selesai mandi dan berpakaian, Alisha keluar kamar. Aroma wangi masakan tercium dari arah dapur. Apakah Adrian sedang memasak? Suaminya itu bisa masak?
Alisha berjalan menuju dapur, dan benar saja melihat Adrian tengah menyiapkan sarapan paginya. Nasi goreng kecap spesial pakai telur mata sapi? Yang benar-benar terlihat sempurna. Alisha saja tidak bisa membuat telur mata sapi sesempurna itu.
Benar ucapan Alvian, Alisha memang tidak bisa memasak. Kecuali mungkin memasak air, itu pun jika Alisha tidak lupa sedang memasak air, dan meninggalkannya hingga tidak ada air yang tersisa di panci.
Setidaknya itu dahulu. Saat hendak membuat mie instan. Alisha memasak air dan meninggalkannya begitu saja, pergi ke kamar mandi. Untung saja, kecerobohannya tidak menyebabkan rumah mereka kebakaran.
Meski harus merelakan satu panci kesayangan ibunya hangus terbakar. Tidak ada korban jiwa. Hanya saja, sebagai hukumannya, Alisha harus membayar panci yang gosong itu dengan memotong uang jajannya selama beberapa bulan. Sebagai pelajaran, agar tidak mengulang hal serupa di masa yang akan datang.
"Ada panci?" tanya Alisha sambil membuka lemari kitchen set.
"Lemari ke dua dari kiri. Kau ingin membuat apa?" Adrian masih sibuk mengaduk nasi gorengnya. Hampir selesai.
"Kopi. Tiap pagi aku harus ngopi. Apakah ada kopi di sini?" Alisha mengisi panci dengan air keran. Kemudian menaruh panci itu di atas kompor dan menyalakannya.
"Kau bisa memasak air?" tanya Adrian seolah terkejut.
Alisha mendelik. Menatap tajam Adrian yang kini tengah menahan tawanya.
"Kau pikir, memasak air saja aku tidak bisa?"