Chereads / Annaya & Takdirnya / Chapter 32 - Memanggilnya Mommy

Chapter 32 - Memanggilnya Mommy

"Oma saja," jawab Anna pelan. Dan itu sukses membuat mata polos Brayn menatapnya bingung.

'Oma dan nenekkan sama saja' batin Brayn.

"Mungkin dia akan suka jika kamu memanggilnya oma," ujar Anna yang paham akan arti tatapan bingung Brayn.

Anna berusaha memberi alasan terbaik agar balita itu tidak merasa sedih karena penolakan yang di tunjukkan Laila secara terang-terangan, bagaimanapun Brayn adalah anak kecil yang sepatutnya tidak menerima kekerasan dalam bentuk fisik atau pun verbal fikirnya.

Brayn hanya ber-oh ria saja atas ucapan Anna, lalu dengan menatap Anna yakin ia melanjutkan kalimatanya, "oma bilang aku pencuri," lanjutnya lagi sambil menunduk takut.

"Tataplah lawan bicaramu, nak. Apalagi jika kamu merasa tidak bersalah," ucap Anna. Anna mengangkat dagu lancip Brayn, dan menatap sayang manik polos balita itu.

"Dimana nenek dan gurumu?" tanya Anna lagi. Anna berfikir jika seharusnya balita ini sedang mengikuti jadwal pelajarannya sekarang.

"Nenek sepertinya ada diruangan kakek buyut bersama kakek Musa, dan Miss Carla sudah pergi," jawab Brayn pelan.

"Lalu?" tanya Anna lagi.

"Karena aku ingin menunggu nenek keluar dari ruangannya kakek buyut, aku duduk disini sambil memakan cemilan ini," kata Brayn lemah. Mata polosnya menatap Anna sedih. "Tapi oma Laila malah menuduhku sebagai pencuri," ucap Brayn lagi. Ia setengah berbisik ketika menyebut kata oma agar Laila tidak mendengarnya. Karena ia tau jika Laila juga tidak suka dengan sebutan itu.

Laila muak dengan interaksi keduanya, karena mereka dengan sengaja seperti mengabaikan kehadirannya, apalagi karena adanya Anna membuat bocah itu menjadi berani buka suara untuk melawannya.

"Kamu tidak mendengarku Anna! Dia hanya anak haram Sebastian," ucap Laila sedikit menaikkan nada suaranya. Kemarahannya semakin memuncak karena Anna mengabaikannya, seolah ia dan ucapannya hanyalah angin lalu.

Anna muak dengan sebutan anak haram yang berulang kali di lontarkan oleh Laila dengan lantang, ia memilih pergi meninggalkan wanita paruh baya itu.

Namun sebelum itu, Anna mengulurkan tangannya pada balita itu, dan dengan senang hati Brayn menyambut uluran tangannya, lalu ia menggenggam tangan Anna dengan kuat, seolah Anna adalah harapan terakhirnya. Anna paham jika, anak sekecil Brayn merasa ketakutan meski ia sudah merasa aman, dan itu reaksi yang alami menurut Anna.

"Kata hanya yang bibi ucapkan terlalu sederhana, karena pada kenyataannya di dalam tubuh anak ini mengalir darah Az-Zachary, suka atau tidak itu faktanya." Setelah mengatakan fakta itu, Anna meninggalkan Laila yang menatapnya nyalang. Namun Anna tidak takut dan tidak perduli.

Laila semakin murka dengan kalimat yang Anna katakan, sebab memang itulah kenyataan yang sebenarnya, dan karena itu juga rasa bencinya terhadap Brayn semakin tidak terkendali. Dan ia tidak menyangka jika Anna dapat melawannya, serta yang lebih Laila tidak terima, Anna yang bersikap begitu tenang saat menghadapi amarahnya.

Anna menggandeng tangan mungil Brayn berjalan kearah tangga untuk menuju kamarnya yang ada di lantai dua, tapi saat akan menaiki anak tangga, Anna sedikit terkejut karena Sebastian yang berdiri sambil menyenderkan bahunya di pegangan tangga dengan tangan yang ia masukkan ke dalam saku, menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Anna merasakan ketakutan yang di rasakan Brayn pada sosok di hadapannya saat ini sangat kentara, Anna yang tidak ingin anak ini semakin takut mengambil inisiatif untuk menggendong tubuh Brayn yang sedikit berisi itu. Dan Anna merasakan jika Brayn mengalungkan tangan mungilnya leher Anna dengan sedikit kuat.

Anna kembali melanjutkan langkahnya, dan dengan tenang menaiki satu persatu anak tangga yang berbentuk setengah lingkaran itu, ia mengabaikan Sebastian yang sejak tadi menatap setiap gerakannya dalam diam. Anna sungguh tidak berminat untuk sekedar membalas tatapan Sebastian, saat ini yang ia inginkan hanya cepat sampai ke kamarnya untuk menenangkan Brayn.

Hati dan fikiran Sebastian sangat kacau saat ini, karena fikirannya beranggapan jika Anna lebih baik mengabaikan anak itu, tapi jauh di dalam hatinya ia merasakan kehangatn yang luar biasa saat melihat bagaimana Anna membela anak itu, bukan Sebastian tidak menyadari jika istri kecilnya itu mulai menyayangi anak yang bahkan tidak pernah ia anggap kehadirannya.

Bukan hanya amarah yang ia rasakan saat ini, tapi juga perasaan kesal yang sangatlah tidak berdasar, hanya karna Anna mengabaikan dirinya dan melewatinya begitu saja. Seolah yang berdiri saat ini bukanlah manusia melainkan hanya patung pajangan yang tidak bernilai.

'Sungguh berani' batinnya kesal. Lalu dengan perasaan rumit itu ia pergi meninggalkan mansion.

****

"Kita sampai," ucap Anna sambil mendudukkan Brayn diatas kasurnya.

"Terima kasih bi," ucap Brayn pelan. Brayn menundukkan kepalanya karena ia merasa sedih.

"Mulai sekarang, jangan pernah menundukkan kepala seperti ini, pria pemberani akan selalu mengangakat kepalanya saat berbicara pada siapapun," ujar Anna lembut. Lalu ia pun ikut duduk di hadapan balita itu dan menatapnya penuh kasih sayang.

"Seperti suami bibi?" jawab Brayn. Dan itu sukses membuat Anna terkejut sampai mengerutkan kedua alisnya.

'Dari mana balita ini tau istilah itu' batin Anna.

"Bukankah yang kamu sebut suamiku adalah papamu?" tanya Anna pelan.

"Iya, kata nenek aku baru boleh memanggilnya papa jika aku sudah menjadi anak yang baik, dan juga istrinya mengizinkan aku," jawab Brayn polos.

Anna semakin terkejut karena Brayn juga mengerti istilah itu, dan jujur ia tidak sepaham dengan cara ibu mertuanya memberi pengertian dan isrilah kepada anak yang masih sangat kecil ini, tapi bukan tempatnya untuk mengoreksi fikirnya.

'Apa begini cara orang luar mendidik anak?' Batinnya.

"Kenapa begitu?" tanya Anna lagi. Anna penasaran dengan seberapa banyak balita ini mengetahui konsep suami-istri.

"Biar mereka tidak bertengkar karena aku, bi," jawab Brayn lagi. Anna mengerti sekarang alasan ibu mertuanya mengatakan hal ini, ia hanya tidak ingin Brayn tertekan karena rasa bahagianya yang mungkin tidak akan disambut baik oleh ayah dan ibu sambungnya.

"Kamu putranya, tidak perlu izin siapapun untuk memanggilnya papa," tutur Anna lembut. Sebetulnya Anna tidak habis fikir, bagaimana anak sekecil ini di beri pengertian yang menurutnya tidak masuk akal.

"Tidak apa-apa bi, bisa bertemu langsung saja aku sudah senang," ucapnya pada Anna. Bibir kecil itu menyunggingkan senyum tulusnya, dan itu membuat hati Anna tiba-tiba merasa nyeri.

"Kamu jarang melihatnya?" tanya Anna lagi. Anna teringat jika hal ini juga yang di sampaikan ibu mertuanya beberapa waktu lalu.

"Iya, kemarin pertama kali bertemu. Selama ini hanya lihat dari foto saja," jawabnya polos.

Tertohok. Itulah yang Anna rasakan saat ini, bagaimana anak sekecil ini bisa dengan tenang mengatakan semua ini padanya tanpa menunjukkan kesedihan, padahal Anna tau dari mata bening Brayn sangat terpancar rasa rindu yang besar terhadap pria itu. Ayolah, semua akan dapat melihat betapa balita ini begitu mendambakan seorang Sebastian.

"Jika kamu diberi kesempatan untuk memiliki seorang ibu lagi, apa kamu mau?" tanya Anna. Dengan sekuat tenaga Anna menekan perasaannya.

"Tentu mau!" Seru Brayn. Ia tampak senang dengan apa yang Anna ucapkan, sebab selama ini neneknya mengatakan jika mamanya telah berada disurga bersama Tuhan. Jadi saat akan memiliki mama lagi tentu dia akan senang hati menerimanya.

"Tapi--" ucapnya ragu dan mata indah itu seketika meredup.

"Tapi, kenapa?" tanya Anna.

"Apa bibi akan menerimaku untuk menjadi anakmu?" tanyanya.

"Tentu." Anna membawa Brayn kepangkuannya lalu mengelus surai yang berwarna coklat tua milik balita itu.

"Terima kasih." Brayn langsung memeluk dan menciumi pipi Anna karena ia begitu bahagia, dan Anna juga menyambutnya dengan hati yang hangat.

"Tapi dari mana kamu tau aku yang menjadi ibu barumu?" tanya Anna. Ia mengurai pelukan itu dengan lembut dan menatap Brayn dengan penuh kasih.

"Nenek yang bilang," jawabnya.

"Lalu kenapa kamu memanggilku bibi?" tanya Anna lagi. Ia penasaran dengan balita yang mulai menunjukkan sifat manjanya ini.

"Takut kalau bibi tidak akan suka jika aku panggil Mommy," lirih Brayn. Dan Anna tidak salah jika menilai kalau balita ini lebih cerdas dari anak seusianya.

"Mommy?" tanya Anna. Ia tidak berfikir jika Brayn memilih kata itu dari pada kata Mama.

"Iya, karena Mama sudah ada di surga bersama Tuhan, dan aku ingin memanggil ibuku yang lain dengan sebutan Mommy," jelas Brayn. Jawaban yang membuat Anna takjub, tapi Anna tidak menunjukkan ekpresi itu secara langsung pada Brayn.

"Kalau begitu mulai sekarang dan selamanya panggil aku mommy" tutur Anna. Anna berfikir jika wanita yang melahirkan anak ini sungguh beruntung, dan ia juga merasa bersyukur karena diberi kesempatan untuk bertemu dan menjadi ibu sambung balita dari cerdas ini.

"Bolehkah?" tanya Brayn. Ia menatap Anna senang bercampur tidak percaya.

"Tentu, aku adalah istri papamu berarti aku adalah ibumu," jawab Anna yakin. Demi tuhan Anna menyukai tatapan bahagia Brayn yang begitu tulus.

"Mommy!" Teriak Brayn. Dengan senang ia lansung menghambur kepelukan Anna yang di sambut Anna tidak kalah bahagia. Hatinya merasa di sirami air yang begitu segar dan menyejukkan kala sebutan Mommy keluar dari bibir mungil Brayn. Panggilan dan status yang selama ini ia dambakan.

'Terima kasih tuhan telah mengirim malaikat kecil ini untukku' batin Anna sambil memeluk sayang Brayn.

'Terima kasih Tuhan, dan juga terima kasih mama yang disurga, karena telah mengirim bidadari untuk menjadi mommyku' batin Brayn senang.

Brayn memeluk Anna begitu kuat sambil menggesekkan kepala kecilnya di dada Anna dengan senang, sebab sekarang ia bisa merasakan pelukan seorang ibu.

Dalam tubuh keduanya tidak mengalir darah yang sama, tapi percayalah rasa cinta dan sayang dari keduanya lebih kental dari darah. Mulai saat ini mereka akan saling melengkapi sebagai ibu dan anak.

Anna percaya jika anak ini adalah kiriman Fateh untuknya, agar ia bisa menjalani hari kedepan dengan lebih baik, Anna tidak perduli akan status anak ini, yang ia tau hatinya sudah terpaut dengan anak yang telah menjadi putranya mulai saat ini dan selamanya. Anna juga tidak perduli jika kedepannya ia harus berhadapan dengan ayah anak ini.