Chereads / Annaya & Takdirnya / Chapter 31 - Ciptaan Tuhan Yang Sempurna

Chapter 31 - Ciptaan Tuhan Yang Sempurna

"Bibi, kamu sangat cantik bila tersenyum seperti ini!" Seru Brayn dengan riang. Rei yang sejak tadi berdiri disekitar mereka pun merasa penasaran dengan ucapan Brayn. Tapi sayang Rei tidak bisa melihat kecantikan itu karena posisi Anna yang membelakanginya.

"Ekhm, bagaimana jika kita berkenalan sekarang?" tanya Anna mengalihkan perhatian Brayn.

"Bukannya bibi sudah tau namaku? Dan begitupun aku yang sudah tau nama bibi," jawab Brayn sambil menatap Anna dengan mata polosnya.

"Ya, tapi kita belum berkenalan secara langsung kan?" jawab Anna yang mencoba mencari alasan yang tepat, karena ia hanya tidak ingin balita tampan ini terus memujinya.

"Oh. benar juga," ucap Brayn dengan mengetukkan jari manisnya di dagunya, seolah ia sedang berfikir tentang ucapan Anna.

"Kalau begitu biarkan aku memperkenalkan diriku lebih dulu," putusnya sambil berdiri di hadapan Anna namun, sebelum berdiri dengan tegak dan sigap, Brayn lebih dulu menepuk pantatnya pelan untuk membersihkan tanah yang menempel di celana ponggolnya. Dan semua gerakan yang tampak menggemaskan itu tidak luput dari pandangan Anna.

"Namaku Brayn Faraz Az-Zachary. Brayn dalam bahasa inggris artinya terbaik atau terhormat sedangkan Faraz dalam bahasa arab artinya berwibawa. Jadi bisa di maksudkan artinya adalah, pria terhormat dan berwibawa cucu dari keluarga Az-Zachary," ucapnya lancar dengan nada bangga khas balita.

"Siapa yang memberi tahumu tentang arti namamu?" tanya Anna penasaran.

"Uncle Daren," jawab Brayn dengan senyum merekah. Dan Anna dapat menyimpulkan jika balita tampan ini anak yang cerdas, sebab ia dapat memahami dengan baik sesuatu yang harusnya sangat sulit untuk di pahami oleh anak seusianya.

"Baiklah, kalau begitu namaku Annaya Nur Kamila. Kamu bisa memanggilku sesuka hatimu," ucap Anna sambil mengelus kepala Brayn.

"Bukannya bibi punya nama belakang yang sama sepertiku?" tanya Brayn menatap bingung Anna, sebab Anna yang tidak menyebutkan nama belakangnya.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan disekitar taman," ajak Anna sambil berdiri dan di ikuti Brayn dengan antusias. Anna tidak berniat menjawab pertanyaan Brayn yang satu ini.

Wanita dewasa dan balita itu berjalan dengan bergandengan tangan, sesekali balita itu menjelaskan tentang area yang mereka lewati dengan antusias dan penuh keriangan. Anna menikmati moment tersebut dengan hati yang hangat. Anak ini sungguh bisa mengalihkan perasaan Anna sejenak dari rasa sakit karena kenyataan hidup yang ia jalani saat ini.

***

"Sayang. Miss Carla telah tiba. Sekarang waktumu untuk belajar, nanti baru bermain lagi bersama bibi Anna ya," ucap Louisa yang menghampiri keduanya di taman. Ia melihat Anna yang setia mendengarkan setiap ocehan yang keluar dari bibir mungil cucunya dengan serius.

"Oh. Miss Carla sudah datang nek? Kenapa terlalu cepat?" tanya Brayn lesu. Ia merasa enggan berpisah dengan Anna.

"Ini sudah jam sepuluh, dan ini jadwalmu seperti biasa sayang," jawab Louisa lembut sambil mengelus surai Brayn penuh kasih.

"Bi, kalau begitu aku belajar dulu ya. Nanti, apa boleh aku bertemu bibi lagi?" tanya Brayn sambil menatap Anna penuh harap.

"Tentu," jawab Anna lembut sambil mencubit pipi gembul milik Brayn, membuat anak itu tersenyum riang, lalu dengan senang hati meraih tangan Louisa.

"Mama tinggal dulu sayang," ucap Louisa pada Anna yang hanya di angguki Anna sebagai jawaban. Lalu Louisa menggandeng tangan kecil Brayn menuju ruang belajar cucunya, dimana guru privat Brayn telah menunggu.

Anna kembali menikmati taman seorang diri, sampai seseorang juga turut serta duduk di sisi kursi yang lainnya. Melihat jika yang datang adalah Bosnya otomatis Rei pergi menjauh meninggalkan mereka berdua.

"Abaikan dia." Suara rendah milik Sebastian mengagetkan Anna yang sedari tadi memejamkan mata untuk merasakan angin yang berhembus pelan menerpa wajahnya.

Anna paham apa yang di maksud oleh pria yang duduk di sampingnya ini namun, Anna enggan untuk membuka matanya dan menoleh kearah Sebastian, sedangkan Sebastian memandang sisi kiri wajah cantik Anna dengan tatapan yang lembut.

"Tanpa kamu perlu mengingati aku, aku akan dengan senang hati mengabaikan apapun yang menyangkut dirimu," jawab Anna dingin, bahkan ia tidak membuka matanya.

"Bagus," jawab Sebastian santai tanpa terpengaruh oleh sikap dingin Anna. Lalu ia pun menatap kearah depan untuk melihat hamparan bunga yang tumbuh dengan cantik di taman itu, setelahnya ia ikut menutup matanya untuk menikmati pagi dan angin segar yang bertiup ringan.

Keduanya duduk dalam diam sambil menutup mata dengan fikiran masing-masing. Sebastian yang memikirkan tentang bagaimana Anna begitu tertarik pada balita tampan yang notabene adalah putranya, dan Anna yang berfikir untuk menimbang bertanya atau tidak tentang dirinya yang telah terbangun diatas kasur pagi ini, tapi Anna memmutuskan untuk mangabaikan semua itu, sebab ia merasa masalah itu akan semakin rumit jika ia permasalahkan.

Pagi ini tampak lebih cerah dan berwarna kala sepasang suami istri yang memiliki paras sempurna duduk berdampingan menikmati cahaya matahari yang dengan semangat memantulkan cahayanya.

Dengan pantulan cahaya matahari yang keemasan keduanya tampak elok, membuat siapapun yang memandang kearah keduanya enggan untuk berpaling dari ciptaan tuhan yang luar biasa itu.

****

"Dasar anak haram sialan!" Teriak Laila pada sikecil Brayn yang kini menunduk takut sambil memeluk lututnya.

"Siapa yang mengizinkanmu mengambil cemilan itu tanpa seizinku. Hah?!" Teriaknya lagi.

"Maaf nek...," cicit Brayn takut.

"Jangan panggil aku nenek, karena aku tidak sudi punya cucu sepertimu!" Hardiknya lagi pada Brayn.

Anna yang mendengar suara teriakan Laila dari kamarnya yang berada di lantai dua langsung bergegas pergi kearah sumber suara. Anna sudah menduga jika kemarahan Laila pasti berhubungan dengan Brayn.

Dengan langkah lebar Anna mendekati Brayn lalu membawa anak itu kedalam pelukannya sambil berkata, "tidak apa, ada bibi sekarang," ucap Anna sambil menggendongnya. Demi tuhan tubuh Brayn sangat dingin dan gemetar. Anak ini pasti sangat ketakutan.

"Apa yang terjadi?" bisik Anna di telinga Brayn sambil mengelus punggung Brayn untuk menyalurkan rasa nyaman.

Brayn tidak menjawab pertanyaannya tapi, ia semakin erat memeluk Anna sambil menenggelamkan kepala kecilnya di ceruk leher Anna.

"Jelaskan pada bibi apa yang terjadi. Jangan pernah takut selama kamu merasa benar," bujuk Anna lagi dengan bisikan yang hanya dapat di dengar oleh Brayn.

"Dia mencuri cemilan," ketus Laila menatap Anna tidak suka.

"Mencuri?" tanya Anna balik menatap datar Laila.

"Ya, dan kamu jangan membela tikus kecil ini. Ia hanya anak haram yang tidak memiliki nilai dirumah ini," ucap Laila semakin menjadi-jadi.

"Aku rasa kamu belum terlalu tua untuk menjadi pikun bi, dia bukanlah anak haram," ucap Anna datar dan penuh penekanan. Tanpa perduli pada wajah Laila yang sudah merah padam menahan kesal.

"Beraninya kamu! Apa pedulimu terhadap anak ini hah?!" teriak Laila yang kesal pada Anna. Sampai-sampai ia memelototi Anna karena amarahnya. Sebab selama ini belum pernah ada yang menentang ucapannya dengan begitu berani.

"Tentu. Aku. Perduli," jawab Anna dengan penekanan yang jelas tanpa emosi. Anna sama sekali tidak takut akan amarah Laila yang sudah memuncak.

"Hahahaha ..., kamu ingin berakting menjadi ibu tiri yang baik serta menjadi dewi pelindung untuk anak haram ini?" Tawa sumbang disertai kalimat penuh cibiran di layangkan Laila untuk Anna.

"Aku bukan dirimu yang ahli bersandiwara," jawab Anna santai sambil menatap datar Laila tanpa minat. Jangan salahkan Anna jika, Laila menerima sikap kurang ajar Anna yang entah datang dari mana.

"Kamu keterlaluan Anna! Kamu fikir siapa dirimu hah?!" Teriak Laila yang semakin murka.

"Brayn jelaskan pada bibi, apa yang terjadi," ucap Anna lagi dengan lembut, ia mengabaikan teriakan Laila yang memekakkan telinga.

"Aku hanya mengambil cemilan yang ada diatas meja itu, tapi ...," ucap Brayn sambil menunjuk tempat kue yang terletak diatas meja. Namun ucapannya terhenti seakan ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa?" tanya Anna saat sudah mensejajarkan tubuhnya dengan Brayn.

"Mmm,,, aku harus memanggilnya apa? Dia tidak suka aku panggil nenek," ucap Brayn menatap Anna dengan ragu.