Sebastian memfokuskan diri begitu tiba di dalam ruang kerja yang telah ia tinggal tujuh bulan lamanya. Smith masuk ke dalam ruangan dengan membawa berkas laporan yang di inginkan oleh Sebastian.
"Bas, aku bawa--." Ucapan Lexa terhenti begitu ia masuk kedalam ruangan Sebastian tanpa mengetuk pintu. Lexa membawa nampan berisi kopi hangat untuk pria yang ia cintai itu, tapi siapa sangka hal pertama yang di tangkap oleh pemilik manik abu-abu itu justru jas hitam Sebastian yang teronggok di tempat sampah di sisi kiri meja Sebastian.
Lexa merasa di abaikan oleh Sebastian yang lebih memilih fokus pada berkas di hadapannya dari pada melihat kearahnya.
"Smith, sterilkan ruangan ini," ucap Sebastian dingin. Tatapannya masih fokus pada setiap lembar berkas dengan kacamata baca yang bertengger di hidung mancungnya.
"Baik Bos," jawab Smith yang mengerti maksud Sebastian, lalu dengan segera berjalan kearah pintu dan membukanya.
"Dokter Lexa, silahkan keluar," ucap Smith.
"Bas, kamu keterlaluan," ucap Lexa menatap kesal Sebastian, ia tidak menghiraukan ucapan Smith yang mengusirnya secara halus.
Sebastian yang mulai jengah karena fokusnya terganggu, menatap tajam Lexa sebagai peringatan bahwa ia tidak suka akan keberadaan wanita ini di ruangannya.
Lexa cukup paham akan tatapan itu tapi ia tidak akan menyerah pada Sebastian. Mendapat tatapan itu sama seperti mendapat luka yang menyakitkan karena mendaki bukit indah yang terjal, tapi ia tidak akan pernah menyerah, karena tekadnya sudah bulat untuk menaklukan bukit itu bagaimanapun caranya.
Lexa meletakkan kopi yang ia bawa di atas meja dengan menyunggingkan sedikit senyumnya, meski ia tau Sebastian tidak akan melihatnya. Sebastian kembali sibuk dengan berkas di hadapannya.
Sebastian mengambil gelas kopi tersebut dan membuangnya ketempat sampah di mana jas hitam itu berada. Hati Lexa semakin sakit melihat perlakuan Sebastian yang tanpa perasan padanya. Dengan penuh amarah dan sakit hati ia pergi meninggalkan ruangan Sebastian sambil menahan tangis.
Sebastian terdiam sejenak meraba perasaannya, saat ia memperlakukan Lexa dengan begitu kejam hatinya tidak perduli sama sekali dengan apa yang dirasakan wanita itu, bahkan ia mampu melakukan lebih dari ini, karena seorang Alexandra Molly tidak ada nilai di matanya.
Harusnya itu juga yang ia rasakan terhadap wanita bernama Annaya Nur Kamila Az-Zachary, tapi kenapa perkataan, tatapan, bahkan seluruh hal yang di lakukan istrinya itu mempengaruhi kerja otak dan hatinya.
Sebastian melepaskan kacamata bacanya, lalu menyandarkan tubuh di kursi, dengan memejamkan mata berharap ia bisa kembali tenang. Tapi bayangan Anna yang ia tinggal dalam kondisi diam membisu karena tindakannya pagi ini membuat hatinya kembali di landa rasa nyeri yang aneh.
****
"Selamat pagi nyonya," ucap seseorang.
Anna duduk di bangku taman dengan menatap danau buatan yang indah di depannya. Perhatiannya teralih saat mendengar suara rendah milik seorang wanita menyapanya.
Ia melihat seorang wanita muda dengan rambut ikal sebahu di gulung rapi. Anna melihat penampilannya dari atas sampai bawah dan dengan mudah ia dapat menyimpulkan bahwa wanita ini adalah seorang bodyguard.
"Perkenalkan, saya Reinata. Mulai sekarang saya yang akan melayani dan mengawal anda," ucapnya sambil membungkuk sopan.
"Berapa usiamu?" tanya Anna pelan tanpa membalas sapaan Reinata.
"25 tahun nyonya," jawabnya sopan.
"Duduklah," ucap Anna lagi. Setelah itu ia kembali menatap danau buatan yang begitu indah dengan teratai yang tumbuh di atasnya.
"Tidak apa nyonya," jawab Reinata menolak sopan keinginan Anna.
"Kalau begitu kembali kepada Bosmu, dan katakan padanya aku menolakmu," ucap Anna tanpa menoleh.
"Saya akan duduk," kata Reinata cepat lalu duduk di ujung bangku. Mana mungkin ia mau di pecat di hari pertamanya kerja. Fikirnya.
"Aku harus memanggilmu apa?" tanya Anna.
"Rei saja nyonya," jawabnya. Setelah itu hening menemani mereka, karena Anna yang kembali diam membisu menatap obejk di depannya.
Reinata menilai bahwa Anna adalah sosok yang anggun, entah dari caranya berpakaian ataupun bicara. Sempurna adalah satu kata yang tepat bagi Reinata untuk mendefenisikan nyonyanya yang begitu cantik, duduk dengan tenang sambil menikmati indahnya danau teratai.
'Pantas Bos menginginkan pengawal wanita, akupun juga akan begitu jika menjadi Bos, siapa yang rela istri yang begitu cantik di kawal oleh seorang pria, sampai matipun tidak akan rela.' Monolog Reinata dalam hati.
****
Setelah lebih dari dua jam Anna menikmati pagi dengan duduk di bangku taman ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya, dan mengeluarkan semua baju yang ada di dalam koper, lalu ia susun dengan rapi ke dalam lemari yang berada di walk in closet.
Kamar ini terlalu besar untuknya, semua perabotannya juga terlihat terlalu mewah untuk seorang Annaya yang lebih suka dengan hal-hal yang sederhana. Anna tidak berniat menata ulang kamarnya, karena baginya ruangan ini bukanlah miliknya.
Dari segala hal buruk yang menimpanya satu hal yang ia syukuri adalah ia tidak sekamar dengan pria itu, Anna lega akan hal itu tanpa ingin tau alasannya pria itu melakukan ini kepadanya.
Anna memandangi semua baju bermerk yang tergantung rapi dalam lemari kaca tiga pintu yang berukuran besar. Segala macam pakaian telah tersedia dengan berbagi model dan motif yang Anna sukai.
Begitupun dengan rak tas dan juga sepatu yang terisi dari berbagai model. Flatshoes, high heels, sepatu sport hingga sandal pun tersedia pas dengan ukuran kaki Anna. Meja rias yang juga tersedia di sana tidak luput dari pandangan Anna dengan berbagai make up dan alat rias yang lengkap.
Anna juga melihat etalase di tengah ruangan dengan segala macam aksesoris yang terlihat cantik sesuai dengan seleranya. Ruangan ini lebih terlihat seperti kamar ajaib yang akan membuat orang tampak sempurna begitu keluar dari kamar ini.
Anna tidak ingin memikirkan apapun yang telah tersedia untuknya. Dengan hati-hati ia menyusun rapi barang pribadi miliknya yang ia bawa dari kota D.
Anna meraih sebuah kotak cincin kecil berwarna merah yang tampak usang, ia membukanya pelan, di sana ada sepasang cincin berwarna perak yang memiliki ukiran inisial namanya dan juga Fateh, ia membelai lembut cincin itu dengan sayang, ini adalah cincin pertama yang di berikan Fateh sebagai simbol keseriusannya menjalin hubungan dengan Anna.
"Anna, pulang kuliah kita ke toko buku Story life ya," ucap seorang pemuda tampan sambil tersenyum hangat duduk di depan seorang gadis cantik yang sedang menikmati nasi goreng di kantin kampus. Gadis cantik itu adalah Annaya.
"Boleh, kamu mau beli buku lagi?" tanya Anna sambil menatap sayang pemuda yang ada di depannya dengan mulut yang masih penuh dengan nasi goreng yang di kunyahnya.
"Telan dulu nasinya Ann," tegur lembut pemuda bernama Fateh yang melihat Anna makan sambil bicara. Ya! Pemuda itu adalah Fateh, cinta pertama dan mungkin cinta terakhir Anna.
Anna yang di tegur hanya tersenyum manis lalu kembali menikmati makanannya, semua orang akan merasa iri jika melihat betapa manisnya hubungan sepasang sejoli ini yang tidak pernah mengumbar kemesraan di depan umum.
****
"Katanya kamu mau beli buku," ucap Anna yang bingung karena Fateh menuntunnya kearah bangku yang ada di pojok begitu sampai ditoko buku.
"Kapan aku bilang?" tanyanya dengan tatapan menggoda setelah menarik kursi untuk Anna, dan mendudukkan Anna di sana lalu ia pun turut duduk di depan Anna.
"Ooo.. iya, kamu kan gak jawab waktu aku tanya tadi, lalu kita mau baca buku di sini? Kalau gitu aku mau milih buku dulu ya," ucap Anna yang segera bangkit hendak berjalan kearah rak buku, tapi langkahnya terhenti karena tangannya di tahan oleh Fateh.
"Kenapa?" tanya Anna bingung menatap wajah Fateh yang menatapnya serius, dan jujur hati Anna jadi berdebar karena khawatir.
"Ada apa? Kok serius gitu muka kamu, aku jadi takut," ucap Anna yang telah kembali duduk sambil mengerutkan alisnya menatap takut Fateh, dan itu sangat menggemaskan di mata Fateh.
"Annaya Nur Kamila, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, jadi dengar baik-baik karena aku tidak akan mengulanginya untuk kedua kali," ucap Fateh yang kini menatap Anna serius, ia menggenggam erat kedua tangan mungil Anna di atas meja kayu yang tidak berukuran besar.
"Anna kamu tau, aku begitu menyayangimu dengan segenap hidup dan matiku, aku tidak ingin hubungan ini berjalan tanpa tujuan, aku ingin kamu menjadi bagian dari diriku dan begitupun aku yang ingin menjadi bagian dari dirimu, dengan modal hati yang tulus mencintaimu, aku Fateh Al-Ghifary melamarmu Annaya Nur Kamila untuk menjadi istriku dan menemani hari-hariku di masa depan hingga ajal yang memisahkan kita," ucap Fateh jelas dengan suara yang pelan. Matanya dengan mantap menatap manik indah Anna yang sudah berkaca-kaca memandangnya penuh haru.
Fateh melepaskan sebelah tangannya yang menggenggam tangan Anna. Ia mengeluarkan satu buah kotak cincin lalu membukanya dan memperlihatkannya pada Anna.
"Ya tuhan!" Seru Anna sambil menutup mulut dengan kedua tangannya untuk menahan diri agar tidak berteriak riang. Lalu ia menatap Fateh dengan tatapan yang begitu bahagia, hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya.
"Aku bersedia," ucap Anna penuh semangat.
"Bersedia apa? Aku kan belum bertanya mau tidakkah kamu menjadi istriku." Fateh menggoda wanitanya dengan tatapan sayang.
"Ya sudah, kamu tidak usah bertanya lagi jika sudah tau jawabannya," ucap Anna tidak sabar. Ia ingin segera Fateh memakaikan cincin itu di jari manisnya.
"Selamat datang calon nyonya Al-Ghifary," ucap Fateh sambil memakaikan cincin yang ternyata memiliki ukiran indah inisial nama mereka di bagian dalam cincin. Sangat pas di jari manis ramping milik Anna.
"Mohon bimbingannya Tuan Al-Ghifary," jawab Anna senang yang juga memasang cincin di jari manis Fateh. Lalu mereka tersenyum penuh bahagia hari itu, meski keduanya harus menahan diri agar tidak tertawa lepas mengingat mereka berada di toko buku yang menjadi saksi perjalanan indah mereka sejak awal.
Anna tersenyum simpul saat mengingat kembali kejadian terindah hari itu, sebab setelah melamarnya secara pribadi, Fateh dengan percaya diri melamarnya secara langsung kepada kedua orangtua dan juga kedua kakaknya.
Fateh mengatakan kepada keluarganya jika ia berniat mengambil alih penuh tanggung jawab atas Anna. Sejak hari itu hari-hari Anna terasa begitu indah penuh kebahagiaan yang berlimpah.
Dengan perlahan Anna meletakkan kotak cincin itu di sudut terdalam laci yang ada di dalam lemari lalu menutupnya rapat, serapat Anna yang kini menutup pintu hatinya.