Erlan baru saja selesai mandi dan melihat Manda yang mengelus perutnya. "Apa sakit lagi?" pikir Erlan.
Erlan melempar handuknya di sofa lalu menuju Manda. "Apa baik-baik saja?" tanya Erlan dengan lantang yang membuat Manda sudah hampir terlelap langsung terbangun.
Mereka saling bertatap mata. Manda yang kebingungan dan Erlan yang khawatir. Manda terkesima dengan wajah segar Erlan selepas mandi. Auranya sangat berbeda dan jauh lebih menenangkan. Apa Manda sedang melantur?
"Man?"
"Hm."
"Hm apa? Hm sakit atau gimana? Man, Kamu dengerin Aku ngomong gak sih?" tanya heran Erlan yang sedikit membuatnya kesal. Bagaimana tidak, ia sedang khawatir dengan Manda dan bayinya, justru sang ibu hamil ini terlihat acuh dan biasa saja.
"Perut Kamu sakit lagi?" ulang Erlan bertanya pada Manda.
"Apa Aku harus telepon Dokter tadi? jam sepuluh malam, belum terlalu malam."
Manda menggelengkan kepalanya cepat lalu. "Engga Lan, jangan. Aku gak papa, Kamu ngagetin Aku karena tiba-tiba tanya, baru aja Aku mau tidur. Aku cuma ngelus perut Aku aja kok."
Erlan menghela nafasnya lega. "Maaf, Aku kira Kamu kenapa. Kalau gitu lanjutin aja tidurnya." Manda langsung nurut apa perkataan Erlan, ia memejamkan matanya kembali lalu berusaha untuk tidur kembali.
Erlan berdiri lalu ia berjalan menuju tempat tidurnya yang ada di belakang Manda. Erlan mematikan lampu kamarnya sehingga kamarnya menjadi remang-remang. Hanya ada cahaya lampu luar yang memantul ke jendela dan tirai kamar mereka berdua.
Erlan tidur dengan posisi terlentang dengan tangan kanannya yang ia jadikan bantalan tambahan kepalanya. Ia lalu menatap langit-langit kamarnya. Sekarang rasa canggung yang ia rasakan. Tapi tiba-tiba saja ia menaikkan kedua sudut bibirnya, melihat kejadian tadi membuatnya sedikit geli.
Erlan si cuek, si dingin, si anti wanita tiba-tiba saja gerak cepat kepada Manda. Sudah seperti ayah siaga saja. Erlan lalu menolehkan kepalanya ke samping, menatap punggung Manda. Ia kadang berpikir, kenapa ia sangat mudah merubah sikapnya kepada Manda?
Manda seperti punya sihir, ia selalu berputar, menari, tersenyum, ceria di otak Erlan. Seakan tidak ada lelahnya wanita satu ini hinggap lama-lama di otak Erlan. Tidak siang, tidak malam. Manda terus berdansa seakan membuat lingkaran kebahagiaan di mood Erlan.
Apakah terlalu cepat jika Erlan mengatakan jika ia nyaman dengan Manda?
Si mandiri, si tegar, si kuat. Erlan kembali menatap langit-langit kamarnya, ia menghela nafasnya, jantungnya selalu berdetak lebih cepat jika terus-terusan memikirkan Manda.
Erlan tiba-tiba teringat sesuatu. Sebenarnya, ketika Manda mandi ia pergi keluar kamar karena sang Papa memintanya bertemu di ruangan kerjanya. Seperti sudah feeling saja, Erlan tahu bahwa sang Papa akan meminta sesuatu yang aneh pada dirinya. Bukan karena berpikir buruk kepada Papa kandungnya, tapi itulah sifat sang Papa yang kadang membuatnya tidak betah jika berdekatan dengan sang Papa. Selalu mengatur, selalu meminta yang tidak masuk akal, dan selalu menekannya.
Erlan menghela nafasnya dengan sangat berat dan panjang.
"Aku tahu Kamu belum tidur, mau Aku nyalain lampu?" tanya Erlan tiba-tiba bersuara.
Sebenarnya sedari tadi ia merasakan Manda yang tegang, nafasnya juga tidak teratur, persis seperti orang yang sulit tidur. Ia merasa jika ini karena dirinya yang membangunkan Manda tadi. Itulah sebabnya Erlan mengeluarkan statement seperti itu.
"Mm, enggak perlu Lan."
"Kamu mau sesuatu?" tanya Erlan yang dirinya saja tidak menyangka akan menawarkan sesuatu pada Manda. Merasa bukan dirinya banget.
Manda lalu merubah posisi tidurnya, menjadi terlentang, sama seperti Erlan. Kedua tangannya saling bertautan, terlihat ragu dan menahan sesuatu di mulutnya. Erlan melihat ekspresi Manda di tengah remang-remang kamar. Ia menjadi penasaran, apa yang sedang Manda pikirkan sekarang ini. Manda menatap Erlan sekilas lalu ia menatap lurus ke atas, setelah itu Manda menggelengkan kepalanya.
Erlan tahu, itu adalah sebuah kebohongan.
Namun, Erlan tidak mau menanyakan lebih lanjut. Erlan meraih ponselnya yang bergetar terus menerus. Seakan banyak pesan yang ia dapatkan. Dan memang benar ia mendapatkan banyak email dari kantor sang Papa.
"Kayaknya, mau gak mau Aku harus bicara sama Manda, gimana pun ini akan ada dampaknya buat Manda," batin Erlan.
Tapi, pikiran tetaplah pikiran. Mulut Erlan seakan ragu untuk mengeluarkan suara. Otaknya sudah menyusun kata-kata tapi tertampar pikiran jahatnya yang membuatnya semakin ragu.
"Man, udah tidur?"
Manda menggelengkan kepalanya, ia masih setia membuka matanya sambil menunggu rasa kantuk datang.
Erlan mengambil nafas panjangnya. "Mulai besok, Aku bakalan kerja."
"Hm?!" balas Manda yang langsung menatap Erlan dengan kedua alis terangkat dan raut wajah terkejut.
"Sebenarnya, tadi Aku keluar karena bertemu dengan Papa. Papa minta Aku untuk bantu Dia di kantor. Karena Bunda yang masih down, Papa enggak berani buat luar kota jadi semua urusan luar kota bakal di urus di kota ini dan Papa minta Aku handle kantor selama Papa meeting."
Wajah Manda menjadi lesu, bukan ia tidak senang Erlan kerja. Tapi ia sedih karena ia akan sendirian di sini. Ketika ada Erlan saja, ia merasa sangat kesepian di rumah ini apalagi tidak ada Erlan. Erlan cuma orang yang bisa ia minta tolong setiap saat di sini, Dia sangat bergantung pada Erlan semenjak di rumah ini.
Jika Erlan pergi, tonggaknya akan hilang dan tidak ada yang menompangnya.
"Sampai malam?" tanya Manda.
"Mungkin, Aku tidak bisa pastikan."
Manda menghela nafasnya, ia lalu memiringkan tubuhnya, ia kembali memunggungi Erlan. Ia ingin meminta Erlan tidak usah pergi, ingin marah pada Erlan kenapa baru bilang sekarang, ingin menangis karena Papa Erlan melakukan ini pasti sengaja untuk menjauhkan dirinya dari Erlan, karena selama ini yang melindungi Manda adalah Erlan. Tapi Manda bisa apa?
Erlan menghela nafasnya ia lalu memiringkan badannya menatap punggung Manda. "Man?" panggil Erlan terdengar sangat lembut.
Mendengar suara itu, justru Manda ingin menangis. Manda mengelus dadanya, berusaha menahan tangisannya, menguatkan dirinya sendiri. Manda lalu berbalik, saling berhadapan dengan Erlan. Mata meraka menjadi sejajar, saling beradu.
"Boleh Aku minta sesuatu Lan?"
Pertanyaan Manda sedikit mengagetkan Erlan, tapi Erlan tetap menganggukkan kepalanya. "Tolong kabari Aku terus ya. Jawab teleponku selalu," ujar Manda yang mungkin terdengar romantis tapi tidak dengan situasi sekarang ini. Kata-kata itu justru mempresentasikan bagaimana ketakutan Manda.
"Aku cuma bisa minta tolong ke Kamu di sini Lan."
Kata-kata itu justru terdengar menyedihkan di telinga Erlan, sangat menyedihkan. Erlan merasakan sakitnya kata-kata itu ditambah tatapan Manda yang takut dan depresi. Tatapan yang sama ketika Manda dan dirinya berhadapan di tengah keluarga mereka. Sedih, rapuh, letih, dan putus asa.
Erlan sedikit memajukan wajahnya, memangkas jaraknya dirinya dan Manda sejengkal, ia menarik sedikit bibirnya ke atas. "Ketika Aku enggak ada nanti, Kamu bisa percaya sama Pak Ujang dan Bibi. Meraka sudah bekerja lama di sini, bukan lima enam tahun saja. Aku mengenal mereka dan meraka tahu bagaimana keluargaku. Percaya sama Aku Man," ujar Erlan dengan sangat menyakinkan.