Chereads / Change To Life / Chapter 11 - 11. Menjauh

Chapter 11 - 11. Menjauh

Erlan menuju parkiran motornya, ia melihat Sono yang sedang berbicara dengan ketua keuangan kantor ini dengan serius. Erlan mengabaikan mereka tak baik mencampuri masalah orang lain. Erlan menaiki motornya lalu pergi meninggalkan kantor yang sudah seharian ini membuatnya lelah.

Erlan sengaja mampir ke toko buah, ia sudah janji untuk membelikan Manda jeruk setiap ia pulang kerja. Ia tak pernah ingkar janji, apalagi pada Manda dan kembar. Sesudahnya Erlan buru-buru sampai rumah ia tak sabar bertemu dengan Manda dan kembar.

Erlan memarkirkan motornya, lalu menutup gerbang. Erlan membuka pintu rumahnya, aneh sekali rumahnya sangat sepi, biasanya Manda akan datang menyambutnya.

Erlan melangkah menuju kamarnya terlihat Manda yang sedang tertidur miring menghadap posisinya saat ini. Erlan meletakkan jeruknya di meja lalu membangunkan Manda.

"Sayang. Bangun Yang."

Erlan menepuk pipi Manda. Tapi Manda tak kunjung membuka matanya, malah semakin tertidur pulas. Erlan mendekatkan wajahnya di depan perut Manda, "Hai triplets Ayah. Kalian hari ini abis jalan-jalan jauh ya, sampai Bunda kecapean gini. Triplets Ayah seneng ya Nak? kalau gitu kalian istirahat ya, Ayah mandi dulu." Erlan mencium bertubi-tubi perut Manda yang sedang menyamping ini. Tak lupa ia mencium kening Manda lama.

Erlan melepas seluruh pakaiannya lalu menyambar handuk tak lupa ia mengambil baju karena ia tak tega jika membangunkan Manda hanya untuk mengambilkan dia pakaian, lalu menuju kamar mandi. Manda yang mendengar suara lemari ditutup di kamarnya akhirnya membuka matanya terlihat Erlan yang baru saja melangkah menuju kamar mandi.

Manda bangun dari tidurnya, ia sebenarnya tahu bahwa Erlan sudah pulang, bahkan ia mendengar perkataan Erlan dan tahu Erlan mencium dahinya. Tapi hati ini masih terasa sangat sakit. Air mata Manda kembali menetes.

Manda mencium bau yang asing, bau ini khas perempuan dan bukan parfum miliknya. Manda mengendus bau ini, ternyata bau ini berasal dari baju kerja Erlan. Manda mencium memastikan sekali lagi, aroma tubuh Erlan yang tercampur dengan parfum khas wanita.

"Kenapa bau parfum ini bisa menempel di baju Erlan?" pikir Manda. "Apa foto itu benar adanya? Padahal aku berharap semua itu editan."

Bolehkah ia menyerah saat ini? Dirinya sudah tak kuasa lagi.

Erlan selesai mandi ia sudah terlihat lebih segar. Ia membuka masakan yang ada di atas kompor, "Apa Manda benar-benar lelah? ia sampai lupa masak."

Erlan menuju kamarnya terlihat Manda yang sudah bangun dan sedang menata kasur. "Sini biar aku aja. Kamu pasti capek banget ya? wajah kamu agak pucat kamu sakit?" tanya Erlan pada Manda.

Manda mengabaikan kata Erlan ia melanjutkan menarik seprai itu lalu melangkah mengambil handuk. Erlan menatap bingung Manda "Kenapa Manda malah diam gak jawab aku?" pikir Erlan.

Di dalam kamar mandi Manda membekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara tangisan. Manda terus menangis ia susah untuk berhenti.

Dadanya masih terasa ngilu bahkan ia sudah banyak mengeluarkan air mata. Manda menatap atas ia mengatur nafasnya agar tangisannya mereda. Ia mengguyur tubuhnya membiarkan air dingin itu menyetrum tubuhnya ini.

Erlan masih menatap bingung kepergian Manda. Tiba-tiba ponselnya berdering terus membuat Erlan mau tak mengangkatnya.

("Halo Mas, aku udah di cafenya")

"Oh iya, sebentar ya, aku perjalanan ke sana."

Erlan mematikan sambungan telepon itu, lalu ia menyiapkan baju untuk Manda lalu meletakkan baju Manda di atas kasur.

Manda sudah selesai mandi dan bodohnya ia lupa membawa baju mau tak mau ia harus melilitkan handuk di tubuhnya dan berganti di kamar.

Saat membuka pintu ia dapat mendengar suara motor Erlan dan suara pagar di tutup. Manda melangkah menuju kamarnya cepat-cepat. Hatinya kembali sakit, yang ia dengar benar suara motor Erlan dan Erlan tidak sama sekali mengatakan dia akan kemana.

"Sesakit ini ya Lan mencintai."

.

.

.

Erlan melajukan kendaraannya menuju cafe sesuai alamat yang di kirim. Erlan mengabari orang tersebut jika ia sudah sampai. Orang tersebut bilang ia sudah memesan meja atas namanya. Erlan buru-buru menanyakan meja atas nama orang tersebut pada karyawan cafe.

"Ini, terimakasih ya Mbak, " kata Erlan sambil memberikan totebag pada wanita itu.

"Gak mau makan dulu Mas?" tawar wanita itu.

"Makasih, Aku duluan." Erlan melangkah meninggalkan wanita itu. Ia harus buru-buru datang ke tempat satu lagi.

Erlan sampai ke tujuan berikutnya ia menemui Reno dan Gani yang sudah duduk di sana. "Lama amat Lan, Manda gak di ajak?" Erlan langsung menggeleng.

"Engga, Gue tadi abis nganter pesanan." Gani dan Reno menatap tanya Erlan. "Pesanan apa?"

"Kaos sama sepatu. Beberapa hari ini Gue jual barang Gue yang Ori sama yang masih baru. Dan tadi Gue baru nganter ke orangnya di cafe deket sana."

Gani dan Reno saling menatap. Erlan yang dulu mereka kenal sangat tidak suka barang yang ia beli di pinjamkan orang apalagi di jual ke orang. Sekarang, Erlan bahkan bersusah payah menjual barang-barang itu.

"Lo beneran butuh duit Lan?" Erlan mengangguk lalu memesan minum dan makanan ia haus dan lapar sekali.

"Gue butuh uang buat nyambung hidup Gue sama Manda. Gue udah bilang ke kalian kan. Gue ngerasa semakin gak nyaman di rumah kontrakan itu, karena Gue ngerasa di awasi mulu. Dan yang paling Gue khawatirin adalah Manda."

"Manda tahu masalah ini?" tanya Gani. Erlan menggeleng, "Engga, Gue sengaja gak kasih tahu Manda."

"Manda punya darah rendah dari yang Gue baca darah rendah bisa micu banyak hal berbahaya di usia hamil segitu. Gue gak mau Manda terlalu berpikir berat tentang masalah ini, bisa bahaya."

"Jadi Manda juga gak tahu beberapa hari ini Lo ketemu kita? " tanya Reno. "Enggak." Reno dan Gani menghela nafasnya. Mungkin ini memang yang terbaik, tidak memberitahu Manda.

"Oke deh, jadi gini Lan yang mau tukar motor itu punya motor ini. Lo kira-kira untung 110 juta. Gimana?" tanya Gani sambil menunjukkan motor orang yang akan membeli motor Erlan.

"Dia tuh pembisnis kecil-kecilan dan anak senang banget sama kawasaki semacam motor Lo. Tapi dari taksiran Gue seharusnya Lo bisa untung lebih dikit lagi, jadi Lo mau tuker sama nih orang atau pilih yang lain?" jelas Gani. Erlan menimbang-nimbang lalu ia memutuskan untuk iya saja.

"Gak papa, Gue ambil ini. Ketemu kapan??" tanya Erlan, Gani mengangguk-angguk. "Gue tanyain dulu."

Setelah pertemuan bersama Gani dan Reno, Erlan kembali menuju tempat dimana ia akan bertemu dengan pembelinya. Erlan seharian ini mengantar barang pesanan mumpung dia sudah pulang kerja. Rata-rata pembeli Erlan adalah wanita, yang Erlan tahu merek baju dan sepatunya ini memang sedang di gandrungi banyak kaum hawa, lagi pula sepatu dan bajunya juga bisa buat cewek dan cowk mereknya juga terkenal pula.

Pukul sudah menunjukkan waktu malam, ia harus begegas pulang, terlebih dahulu Erlan mampir ke ATM untuk memasukkan uangnya.

Erlan memarkirkan motornya di sebuah toko bunga. Ia ingin sedikit merayakan keberhasilan dia, karena Erlan mendapatkan untung yang banyak dari penjualan baju dan sepatunya. Dan ia juga ingin Manda tersenyum kembali.

"Selamat datang Mas, mau cari bunga apa?" tanya ibu penjual toko. "Eh ini bu saya mau bunga untuk istri saya. Kira-kira apa ya Bu yang cocok?" tanya Erlan.

"Banyak Mas, ada bunga lily yang melambangkan kecantikan, bunga lilac yang melambangkan menarik hati, bunga matahari yang melambangkan kesetiaan dan bunga mawar yang melambangkan cinta. Masnya mau yang mana?" tanya Ibu penjual toko bunga. Erlan berpikir tapi ia tak tahu harus memilih bunga apa.

"Saya bingung Bu," kata jujur Erlan. "Kalau gitu saya buatkan buket dengan bunga mawar dan bunga matahari ya Mas." Erlan mengangguk mengucapkan terimakasih pada Ibu itu.

Setelah beberapa lama buket bunga Erlan jadi, ia tersenyum senang ia membayangkan wajah Manda yang tersenyum senang karena bunga yang baru saja ia beli ini dan ingat hasil dari jerih payahnya.

"Semoga kamu suka ya sayang."

.

.

.

.

Erlan melihat pagar rumahnya yang digembok. Erlan tak membawa kunci pagar ia hanya punya kunci pintu rumah. Bu Hera keluar hendak membuang sampah, "Loh Mas Erlan engga ikut Mbak Manda Mas?" tanya heran Bu Hera pada Erlan.

Erlan menatap bingung Bu Hera, "Eh Manda pergi Bu?" tanya Erlan. "Loh Mas Erlan gak tahu? Tadi Mbak Manda naik taksi katanya sih ke rumah sakit, Ayahnya pulang dari rumah sakit katanya."

Erlan mengerutkan dahinya, kenapa Manda tak menunggunya pulang atau mengabari nya untuk mengantarnya. Erlan mendesah kecewa, hari ini Manda juga aneh sekali ia lebih banyak diam. Bahkan Erlan menggoda Manda pun ia tak merespon.

"Makasih ya Bu. Saya duluan Bu." Erlan pamit pada Bu Hera yang langsung di angguki Bu Hera, "Hati hati Mas."

Erlan memilih untuk melajukan motornya ke rumah sakit, di mana Ayahnya Manda di rawat.

....

"Erlan kemana Man?" tanya Ayah Manda pada Manda. Manda yang sedang membantu Budenya mengemasi barang pun menoleh ke ayahnya.

"Lagi ada urusan Yah." Ayah Manda mengangguk saja. Manda bernafas lega ayahnya tak bertanya urusan apa, karena Manda sendiri juga tak tahu.

"Ini langsung pulang kan Bude? gak ada pemeriksaan atau apapun kan?" tanya Manda pada Budenya.

"Tadi udah, administrasi juga udah selesai kok. Jadi kita langsung pulang, yang lain udah pada nunggu di rumah. Kamu udah kabari Erlan buat ke rumah atau kita tunggu Erlan disini dulu?" tanya balik Bude Manda.

"Gak usah Bude, Aku udah kasih tahu Erlan buat ke rumah langsung," bohong Manda pada Ayah dan Budenya, nyatanya ia ke sini saja Erlan tak tahu.

Manda dan Budenya sudah selesai mengemasi barang, lalu ia menuju ke lobby rumah sakit. Mereka akan menunggu taksi di depan lobby.

Disana mereka bertemu dengan Erlan yang akan menuju ke mereka. Erlan menyalami tangan Ayah Manda dan Bude Manda.

"Kita naik taksi aja," kata Bude dan Ayah Manda, Erlan membatu dengan memanggil taksi. Erlan mendekati Manda, mengajak Manda untuk ikut naik motor bersamanya.

"Aku sama Ayah aja," tolak Manda membuat Erlan menghela nafasnya. Erlan lalu membukakan pintu taksi untuk Manda.

Bude Manda yang duduk di belakang bersama Manda merasa sedikit curiga dengan Manda dan Erlan, sepertinya mereka sedang ada masalah pikir Tante Manda. Pasalnya Manda bilang bahwa Erlan akan menunggu di rumah dan sekarang lihat, Erlan justru ada di sini untung mereka belum pergi.

Sesampainya di rumah Ayah Manda, Manda mengurus ayahnya sedangkan Erlan hanya duduk di ruang tamu, dia bingung harus melakukan apa, Manda juga tak meminta bantuanya.

"Ayah jangan sakit lagi. Ini obatnya, Ayah makan dulu."

Ayah Manda menatap putrinya yang sedang menyuapinya ini. "Kamu punya masalah sama Erlan Nak?" tanya Ayah Manda. Manda tersenyum, "Enggak kok Yah," jawab Manda.

"Kalau ada di selesain segera ya Nak." Manda mengangguk lalu menyuapi ayahnya sampai selesai. "Iya Ayah."

Manda keluar dari kamar Ayahnya menutup pintu kamar Ayah Manda. Manda melihat Erlan yang sudah duduk bersama Pakde dan saudara laki-laki Manda yang kebetulan ada disini.

Manda kembali menuju dapur untuk mengembalikan piring bekas ayahnya makan. "Mbak Manda!" panggil girang saudara Manda paling kecil.

Gadis manis ini sudah seperti adik kandung bagi Manda. Selain sifat manjanya pada siapapun dia juga gadis yang sangat mudah bergaul membuat Manda yang terkadang sulit bergaul jadi mudah bergaul.

"Yuri jangan gituin Mbak Manda nanti adiknya kegencet loh." Yuri langsung melepas pelukannya pada Manda saat mendengar teriakan ibunya.

"Maaf ya Mbak Manda Yuri lupa." Manda mengangguk, "Gak papa kok."

Manda terus saja diajak mengobrol oleh Yuri maupun Bude dan Tantenya. Keluarganya dengan baik tak menyinggung perihal masalah yang membuat Manda seperti ini dan membuat ia harus diusir dari rumah. Membuat Manda kembali di sayang, "Aku gak sendiri aku punya keluarga yang selalu mau menerima ku apa adanya," batin Manda.

Dilain sisi Erlan sedang duduk bersama sepupu dan saudara Manda. Mereka tak ada habis habisnya bertukar canda tawa.

Jika boleh jujur ini adalah hal pertama bagi Erlan, selama ini ia hanya anak tunggal. Ayah dan Ibunya juga anak tunggal, eyangnya tinggal di luar negeri. Ia tak pernah merasakan berkumpul dengan keluarga karena Papa dan Bundanya yang sibuk.

Walau begitu Bunda selalu menjadi penghibur bagi Erlan karena selalu menyempatkan waktu walau sebentar. Sedangkan dengan Papanya hanya berisi ia dan Papanya berbisnis, melatih bela dirinya, dan melatih otaknya, tiada hari tanpa paksaan jika bersama Papanya.

"Mas Erlan kok malah ngelamun Mas," kata salah satu sepupu Manda membuat Erlan langsung tersadar.

"Lagi ngelamunin Mbak Manda nih, hayoo," godanya membuat Erlan tertawa kecil. "Hush kamu itu dah sana masuk di panggil Ibu itu," kata Om Manda, Ayah bocah kecil itu.

Bocah itu mengerucutkan bibirnya menatap sebal Ayahnya. Setelah kepergian anak itu, sisalah Erlan, Ayah dan Pakde Manda. Mereka sama-sama terdiam.

"Lagi punya masalah ya Lan sama Manda?" tanya Pakde Manda yang dibalas senyuman masam Erlan, ia bingung harus menjawab apa pasalnya Manda tiba-tiba mendiamkan dia.

"Manda itu anaknya terlalu mandiri Lan, jadi apa apa mau dia sendiri yang ngerjain. Manda juga dari dulu suka bantu Ayahnya di toko ketimbang main sama temannya. Walaupun kadang di larang sama Ayahnya karena Ayah Manda yang masih takut," kata tiba-tiba Om Manda. Erlan menatap bingung Om Manda.

"Agus takut kejadian dimana ia kehilangan istri dan anak pertamanya kembali terjadi. Istri kamu itu punya saudara kembar mereka hanya beda tiga menit saja, jadi kita gak terlalu kaget waktu tahu Manda hamil anak kembar," kata Pakde Manda. Erlan baru tahu jika Manda memiliki saudara kembar, sejauh ini Manda gak pernah cerita tentang saudara ataupun ibunya, selalu Ayah, saudara dan para sahabatnya.

"Kalau boleh tahu apa penyebab meninggalnya mereka?" tanya Erlan. Pakde dan Om Manda saling berpandangan. "Kamu tanya aja saja mertua atau istri kamu, mereka lebih berhak cerita ketimbang kita," kata Pakde Manda membuat Erlan menghela nafasnya lalu mengangguk, mungkin memang benar lebih baik mertuanya dan Manda yang cerita.

Ponsel Erlan berbunyi, ia ijin kepada Pakde dan Om Manda untuk mengangkat telepon.

"Halo Ren kenapa?"

("Eh Lan Lo malam ini bisa ketemuan di taman deket rumah kontrakan Lo gak? Yang mau beli motor Lo bisanya malam ini, soalnya dia sama keluarganya bakal ada acara besok.")

"Gak kejauhan emang?"

("Gak, Gue tunggu di taman, jangan ngaret loh Gue gibeng ntar muka Lo, dah capek capek nyarik orang yang mau beli nih.")

"Iya ya kek cewek Lo Ren, cerewet."

("Ya ya ya awas ngaret!")

"Hmm."

Erlan mematikan ponselnya lalu berjalan mencari Manda. "Cari Manda Lan? tadi Bude lihat masuk kamarnya, coba buka kamar yang itu," kata Bude waktu papasan dan menunjuk satu kamar.

"Terimaksih ya Bude." Erlan membuka kamar Manda lalu menemukan wanita itu sedang membersihkan riasan wajahnya.

Tapi ada yang aneh di mata Erlan, "Man kamu nangis?!" pekik kaget saat tahu mata Manda sembab. Erlan berlari ke arah Manda mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Manda yang sedang duduk.

"Kamu kenapa? ada yang sakit? kamu ngerasa apa? mau ke rumah sakit?" tanya bertubi-tubi Erlan pada Manda. "Sayang, kasih tahu aku kamu kenapa? yang sakit mana?" tanya Erlan sekali lagi sambil mengusap air mata Manda.

Manda menatap Erlan yang justru membuatnya semakin menangis kencang. Perhatian Erlan justru membuat sesak di dada Manda semakin terasa. Erlan yang melihat Manda semakin deras menangis jadi bingung harus bagaimana.

"Pergi Lan," kata Manda tiba-tiba. Erlan yang tak paham hanya menatap tanya Manda.

"Pergi Erlan! Pergi dari hadapan aku!" teriak Manda di depan wajah Erlan. Erlan terdiam, ia masih berusaha sabar, ia masih berpikir positif. "Kamu ngomong apa sih?" tanya heran Erlan.

"Pergi Erlan! hiks aku gak mau ketemu sama kamu! hiks Pergi Lan," teriak Manda sekali lagi. "Kenapa aku harus pergi? sebenarnya kamu tuh kenapa sih Man, kamu tiba-tiba cuekin aku, aku gak bakal tahu kalau kamu gak ngomong. Coba jelasin ke aku, kamu itu kenapa?" tanya Erlan masih dengan rasa sabarnya.

"Aku bilang pergi ya pergi Erlan!" teriak Manda. Bude Manda yang sedang dekat dengan kamar Manda mendengar teriakan itu, beliau membuka pintu melihat apa yang terjadi. "Kalian kenapa? Manda kenapa nangis?" tanya khawatir Bude.

Pakde Manda yang mendengar suara gaduh di kamar Manda buru-buru masuk ke dalam kamar. "Aku gak mau lihat kamu Erlan! Pergi!" teriak Manda sekali lagi.

Pakde Manda yang bingung apa permasalahan ini berusaha menengahi, "Lebih baik kamu pulang dulu Lan, biar nanti coba Bude sama Pakde yang tenangin Manda. Besok kamu ke sini lagi."

Erlan memejamkan matanya, mengambil nafasnya dalam dalam. Tubuhnya sudah panas menahan amarah, tangannya mengepal sangat kuat. Erlan menatap Manda yang sedang enggan menatapnya.

"Ini buat kamu, maaf kalau bunganya udah gak bagus. Aku pulang, kamu sama kembar baik baik ya." Erlan menaruh sebuah plastik yang berisi buket bunga yang tadi ia beli di pangkuan Manda.

Erlan melangkah pergi, Pakde memegang bahu Erlan, "Mungkin hormon hamil Lan, harus sabar. Besok pagi datang ke sini lagi ya, Pakde sama Bude bakal tenangin Manda." Erlan melempar senyum kepada Pakde Manda dan mengucapkan terimakasih.

Erlan menatap kebelakang, kearah istrinya, berharap istrinya menarik kembali kata-katanya. Dan sangat sayang sekali, tidak ada tanda tanda Manda akan menarik kata katanya.

Erlan menghela nafasnya kasar lalu melangkah keluar dari rumah Manda. Erlan menyalakan motornya meninggalkan pelataran rumah Manda.

Ia marah sangat marah, Manda tiba-tiba mendiamkannya, tiba-tiba saja marah marah padanya. Erlan tidak tahu dimana letak kesalahannya.

Erlan membelah jalanan dengan kuda besinya, menambah kecepatannya.

.....

Erlan berdiam diri di pinggir jalan, ia tak mau pulang karena dirumahnya tak ada Manda jadi buat apa ia pulang. Dan juga kunci pagar Erlan gak pegang.

Erlan masih berdiam diri di pinggir jalan menunggu Reno mengabarinya. Ia masih memikirkan Manda, "Sebenarnya apa yang terjadi? Apa aku gak sengaja buat kesalahan, tapi apa?" batin Erlan.

Ponselnya bergetar, panggilan dari Reno.

("Gue udah di taman, buruan Lo.")

Erlan tak menjawab ia langsung mematikan panggilan itu dan menuju taman dekat rumah kontrakannya.

Erlan melihat di sana sudah ada Reno dan Gani yang bersama pria tua baya dan anak muda yang mungkin seumuran dengannya.

"Eh ini pak orangnya."

Erlan dan Bapak itu berbincang bincang sebentar membahas pembayaran serta surat surat kendaraan. Erlan memberikan kunci motornya pada pria muda yang ternyata dua tahun di bawahnya.

"Makasih ya Mas sudah mau bertransaksi." Erlan juga mengucapkan terimakasih lalu kedua orang itu pergi. Erlan melihat motornya, ia teringat saat dulu ia mendapatkan motornya.

Ia harus rela lima hari nonstop belajar akademik dan bisnis, otak Erlan bahkan serasa sudah batas maksimal saat itu. Mungkin jika belajar pelajaran sekolah itu mudah bagi Erlan tapi bisnis yang sama sekali belum pernah Erlan rasakan yang langsung membuatnya di opname satu minggu.

Bisnis Papanya tak main main dan Papanya juga tak main-main mengajarinya. Bentak ya bentak, salah ya salah, pukul ya pukul. Belum lagi Erlan yang harus belajar bela diri. Erlan sakit fisik sakit psikis.

Tapi tak apa, setelah mendapat motor ia juga mendapat apartemen dan dua mobil mewah. Yang sayangnya saat ini itu semua sudah Erlan berikan pada Papanya. Bodoh dan menyesal.

"Lo gak lagi nyeselkan Lan?" tanya Gani, Erlan menggeleng. "Kalian setelah ini bakal kemana?" tanya tiba-tiba Erlan.

"Biasa," jawab Gani dan Erlan tahu maksud Gani, apalagi jika bukan klub malam. "Gue mau di apartemen aja, capek Gue, penat sama rumah," jawab Reno.

"Gue ikut Lo Ren, Lo juga ikut Gan," perintah Erlan yang langsung membuat dua orang itu berteriak menolak.

"Ogah ya, Gue mau ke klub. Ngatur ngatur aja Lo bangsat." Erlan menatap datar Gani lalu mengambil kunci motor Gani, menyimpannya dalam jaketnya. "Eh Ogeb! Lo tuh tukang maksa mulu sih! Bocah anjir."

Reno menatap Erlan, "Lo lagi ada masalah?" Gani langsung menatap penampilan Erlan dari atas sampai bawah, berantakan. "Gak di kasih jatah Lo sama Manda?" tanya Gani yang langsung dihadiahi bogeman di pipinya dari Erlan.

"Anjing! Lo kenapa sih, Sakit Bangsat!" sumpah serapah Gani pada Erlan. "Ya, ya, ya Gue ikut kalian!" putus Gani saat melihat dua temannya ini menatapnya tajam.

....

Manda menceritakan semua kepada Budenya sambil terus menangis. "Kamu udah bicarain ini sama Erlan?" tanya Bude pada Manda.

"Manda hiks Manda gak pernah bicarain ini sama Erlan." Bude Manda menghela nafasnya. "Kalau ternyata foto itu salah gimana? Inikan udah modern Man, Fisal sama Yuri aja udah bisa edit edit video foto sendiri di HP. Bisa aja itu gak bener kan."

"Tapi tadi waktu pulang kerja baju Erlan juga baunya beda," jelas Manda, Bude Manda menghela nafasnya, "Erlan kan ketemu banyak orang. Bisa ajakan parfum itu kebawa angin atau memang orangnya cuma deket doang sama Erlan."

"Udah udah jangan nangis terus kasian anak kamu loh Man. Bude buatin susu dulu ya." Manda mengangguk lalu mengusap air matanya lalu menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.

Dilain sisi, suara adu pukulan menggema. Dua pria sudah saling mengeluarkan emosi mereka, bahkan wajah mereka sudah sama sama banyak memar.

"Anjing!!"

Erlan menendang betis Reno dengan kencang, membuat Reno terduduk kesakitan. "Bangsat Lo Lan!!!"

Erlan terkapar, nafasnya saling beradu. Ia melihat kesamping kearah Reno yang sedang kesakitan, "Kata pukul aja sampai sama sama puas."

"Tai! Gak gini juga udah bonyok wajah Gue! Sekarang kaki Gue yang kena!" Erlan tertawa pelan karena memar di wajahnya membuat ia susah untuk melebarkan bibirnya.

Gani yang menonton dua sahabatnya di atas ring dengan keadaan sama sama mengenaskan hanya geleng-geleng sambil menikmati minumannya.

"Mau yang lebih puas gak Lan Ren?" tanya Gani pada dua sahabatnya yang langsung dijawab tatapan tanya.

"Naik ke lantai paling atas, lagi ada Joan disana, Gue yakin sih jam segini dia belum balik ke apartemennya. Ya kalau udah kalian samperin aja di kamarnya."

Reno langsung bergidik negeri, "Ogah Gue sama psikopat. Masih pingin menikmati dunia Gue." Gani tertawa terpingkal-pingkal, Joan itu pembunuh bayaran ia tak suka main main. Beberapa kali pernah jadi bayaran kedua orang tua Gani dan mereka bertiga pernah sekali menyaksikan bagaimana Joan menghabisi targetnya.

Erlan berdiri dengan tertatih, "Gue pinjem kamar ya Ren." Reno mengangguk ia juga langsung melepas sarung tangan tinjunya.

Gani menghela nafasnya ia harus tidur di sofa jika begini, ia malas tidur dengan Reno dan Erlan dengan keadaan begini pasti mereka langsung menolak untuk tidur bersamanya.

"Gue pesan kamar aja deh." Reno menatap tak percaya Gani, "Gila Lo udah berani main?" tanya kaget Reno.

"Goblok kagak lah, Gue mau tidur doang. Kalian serem semua wajahnya." Reno membulatkan mulutnya dan mengangguk.