Chereads / Change To Life / Chapter 16 - 16. Manda-Erlan (18+)

Chapter 16 - 16. Manda-Erlan (18+)

Erlan menggendong Manda lalu membaringkannya di atas kasur. Mereka sudah sampai di rumah orang tua Erlan setelah mereka memeriksa si Kembar.

Sudah seminggu mereka tinggal disini. Erlan menyelimuti kaki Manda lalu duduk di samping Manda.

"Om Ivan udah pindahin semua barang kita dari kontrakan. Bi Surti juga udah bantu nata barang kita. Kamu mau ganti baju?" tanya Erlan.

Manda menggeleng, sebelum pergi dari rumah sakit ia sudah mengganti bajunya jadi ia tak perlu lagi berganti pakaian.

"Ya udah aku mandi dulu ya," ucap Erlan. Erlan melepas baju yang ia pakai di hadapan Manda lalu melangkah menuju kamar mandinya. Manda hanya bisa geleng-geleng saja, ia sudah biasa melihat Erlan telanjang dada.

Kamar Erlan sangat rapi, mungkin Bik Surti selalu membersihkan kamar ini walau penghuninya tak ada. Manda menatap mainan susun yang Erlan pajang di lemari sudut kamarnya. Dari tembakan, mobil-mobilan, bola, menara balok, sampai ada yang besar berbentuk salah satu tokoh lego.

Tak hanya permainan susun saja banyak mini karakter superhero, tembak-tembakan, dan robot bahkan ada robot yang sangat besar. Betapa borosnya Erlan.

Kamar Erlan jarang ada foto lebih banyak buku dan koleksi mainan Erlan. Membosankan. Manda menggerakan kakinya keluar dari selimut. Ia ingin melihat balkon di kamar Erlan.

Manda memegang nakas untuk membantunya berdiri. Manda menelan air liurnya ketika merasa kakinya sedikit kesemutan. Manda sedikit membetulkan dressnya.

Setelah itu Manda merambat dengan memegang tembok. Manda melangkah dikit demi sedikit kakinya. Ia memegang handle hendak membuka pintu kaca balkon itu. Tapi langkahnya terhenti ketika kakinya mulai kesemutan, bergerak dikit saja sudah seperti tersengat dan kaku seketika.

Manda menepuk pahanya pelan agar kesemutan itu berlalu tapi jika di tepuk malah membuat kakinya semakin kaku dan tegang. Manda menepuk sekali lagi kedua kakinya.

"Manda?!"

Manda menoleh ke belakang tubuhnya, Erlan dengan handuk yang masih berada di bahunya menatap tajam dirinya. Manda mengeluarkan cengirannya. "Kaki Aku kesemutan."

Erlan melangkah ke Manda lalu menggendong Manda ala bridal style matanya enggan menatap Manda. Manda tersenyum kecut, Erlan selalu begini padahal pendarahannya sudah berhenti. Dokter Rina bahkan sudah memperbolehkan dirinya berjalan atau olahraga walau yang ringan ringan.

Kakinya sudah lama tak menginjak lantai selalu Erlan menggendong atau kursi roda. Manda seperi orang yang penyakit dan lumpuh. Manda tak suka itu.

"Aku udah gak kenapa napa Lan. Cuma pingin ke balkon. Seminggu disini aku cuma di kasur. Aku juga udah gak keluar kok darahnya," ucap Manda.

Erlan bukannya melarang, tapi ia hanya tak bisa membayangkan bagaimana jika Manda kesakitan.

"Ya udah kamu yang jadi pegangan aku jalan deh. Gimana?" kata Manda. Tapi Erlan masih menatapnya tanpa menjawab, "Ayolah Lan. Kaki aku masih normalkan?? Engga ada cacatkan? ayo dong."

Erlan menghela nafasnya, ia harus menghilangkan bayangan Manda yang kesakitan dan darah Manda. Erlan mengangguk membuat Manda mengembangkan senyum senangnya.

Manda memegang lengan Erlan untuk membantunya berdiri. Setelah itu ia mengalungkan tangannya di leher Erlan. Erlan memperhatikan langkah Manda yang maju sedangkan dirinya mundur. "Balkon Lan, pingin kesana." Erlan mengangguk sambil terus melihat kaki Manda yang bergerak pelan.

Erlan meraih gagang pintu kaca geser yang ada di belakang tubuhnya. Erlan menggeser pintu dengan masih membelakangi pintu itu. Erlan memegang tangan Manda, "Ayo."

Manda mengangguk ia berjalan pelan lalu menuju kursi panjang yang ada di balkon itu. "Wahh anginnya kencang juga ya Lan. Rumah di sini jaraknya jauh jauh ya."

Erlan mengangguk, "Namanya juga perumahan Man. Angin ini dari angin laut deket sini, di sini juga dulu ada monyet berkeliaran malam malam loh Man. Sekarang udah gak ada kayaknya."

"Seriusan?! Ih kok nakutin sih."

Erlan tertawa ia duduk di bawah, di atas lantai di hadapan Manda membuat dirinya lebih dekat dengan perut Manda. "Lan duduk atas sini loh," suruh Manda tapi Erlan menggeleng.

Erlan menaruh tangannya diatas paha Manda menahan dress itu yang sesekali terangkat. Angin membuat dress selutut Manda berkibar ia tak mau jika ada orang yang lewat dan memperhatikan rok Manda.

"Lan, kamu kenal sama tetangga sebelah kamu?" tanya Manda. "Yang rumah depan kamu itu mereka keluarga dokter spesialis di rumah sakit besar kota ini. Anaknya dua duanya sekolah luar negeri. Kalau kanan rumah itu keluarga teman SD aku tapi sekarang udah pindah jadi kosong rumahnya."

Manda mengangguk-anggukan kepalanya. "Lan masuk yuk udah sore, anginnya makin kenceng deh." Erlan mengangguk lalu ia berdiri dan membantu Manda berjalan kembali.

Erlan menutup balkon kamarnya lalu membantu Manda berjalan lagi. Manda duduk di atas pinggiran ranjang begitu pula dengan Erlan.

Erlan menatap Manda yang tangannya masih ada di bahunya. Ia menatap Manda, pipi Manda mengembang sekarang tubuhnya juga lebih gembul. Padahal Manda baru naik lima kilo tapi pipinya sudah setembam bakpao. "Ngapain natap aku gitu?" ujar Manda.

"Pipi kamu pegang deh Yang." Manda langsung memegang kedua pipinya yang sudah tak tirus lagi. Lalu memandang Erlan sambil mengerucutkan bibirnya, "Kamu mau ngeledekin aku ya?" sinis Manda.

"Engga Sayang, aku cuma nyuruh kamu pegang pipi doang loh. Ledekin dari mana coba," jawab Erlan padahal ia baru saja akan melempar ledekan pada Manda.

"Halah mau bilang aku kayak ikan kan, kayak ikan buntal. Iya kan?!" tuduh Manda membuat Erlan menahan tawanya. "Tuh tuh tuh mau ketawa tuh. Ish Erlan ah!!" Manda menatap Erlan tajam, padahal ia banyak makan juga karena anak anak mau makan ini itu.

"Gak gak gak Sayang." Erlan memeluk Manda merebahkan tubuh mereka di atas kasur membiarkan kaki mereka menjuntai ke bawah.

"Aku senang kok sama kamu yang kayak gini, tetap cantik kok. Tambah imut malah." Manda mencibir Erlan di depan wajah Erlan. Erlan yang gemas mengecup bibir Manda yang di monyong monyongkan.

"Gak usah cium cium segala, aku lagi kesel sama kamu." Erlan terkekeh ia kembali mengecup bibir Manda. "Erlan! Gak boleh cium cium!"

Erlan tak berhenti, sekarang ia malah mengecup seluruh wajah Manda. "Erlan...!" Manda menahan wajah Erlan agar tak menciumnya terus.

Erlan salah, ia bukan bermain main dengan Manda, ia malah bermain main dengan nafsunya. Erlan tak bisa menahan lagi, ia langsung mencium dalam bibir Manda itu dengan halus.

Manda yang awalnya kaget dengan ciuman dalam Erlan akhirnya ikut menutup matanya. Tangannya mencengkram kuat baju Erlan.

Erlan menggigit bibir Manda membuat Manda membuka mulutnya mengaduh kesakitan, Erlan justru menjadikan hal tersebut untuk memperdalam ciuman meraka. Erlan mengabsen deretan gigi rapi Manda dan mencari lidah Manda.

Ciuman Erlan berpindah ke lehernya. Membuat Manda mendongak memberikan akses Erlan untuk menciumi lehernya. Erlan di buat semakin kepayang, aroma bunga mawar Manda memenuhi penciumannya.

Tiba-tiba Erlan menghisap leher putihnya meninggalkan bekas kemerahan disana, Manda hanya bisa mengeluarkan desahannya.

Ciuman Erlan kembali ke mulutnya. Tangan kanan Erlan menjadi penahan berat Erlan agar tak menindihnya. Sedangkan tangan kiri Erlan sudah berkeliaran kemana saja di tubuh Manda.

Erlan menatap Manda ia ingin meminta hak nya tapi ia cukup sadar Manda baru saja masa pemulihan. "Boleh?" tanya lembut Erlan di telinga Manda.

Manda mengangguk ini sudah menjadi hak Erlan dan tugasnya, mendapat ijin itu Erlan langsung mencium bibir Manda bahkan mengajak lidah mereka beradu. Tangan kiri Erlan menurunkan resleting di depan dada Manda lalu menurunkan dress itu, menampilkan bahu putih Manda.

Erlan menurunkan ciumannya, kedua tangannya bergerak menurunkan dress Manda lalu meloloskannya. Manda hanya bisa pasrah dan meremas sprei putih ini. Aroma tubuh Erlan memabukkan penciuman Manda.

Erlan menatap Manda yang hanya menggunakan dalaman saja. Pandangan mereka beradu, Manda langsung malu, ia malu jika Erlan menatap nya begitu. Padahal ini bukan pertama kalinya buat mereka.

Didalam rungan ber-AC ini justru menjadi panas bagi mereka. Aroma tubuh mereka telah tercampur, deru nafas mereka saling berlomba lomba.

Erlan melepas bajunya mempertontonkan tubuhnya pada Manda. Erlan mencium kembali Manda, kedua tangan Erlan berusaha membuka kaitan bra milik Manda. Ketika sudah bisa Erlan menangkup payudara Manda yang membesar dan padat.

Manda mendesah ketika Erlan mencium lehernya dan memainkan payudaranya. "Lanhh, ja.. ngan keras.. keras, nyeri."

Erlan mengangguk, lalu meneruskan apa yang ia lakukan. Manda menggigit bibirnya ketika Erlan menurunkan ciumannya ke atas payudaranya.

Erlan menurunkan celana dalam Manda lalu celana dan dalaman miliknya. Mereka sudah sama sama tanpa sehelai benang pun. Erlan membawa tangan Manda yang sedang mencengkram seprai di sampingnya untuk melingkar di lehernya.

Manda menurunkan tangan kanannya mengelus dada Erlan mengkode agar Erlan lebih perlahan. Payudaranya terasa sedikit nyeri mungkin karena pertumbuhan menjadikan sedikit nyeri. Erlan melembutkan permainannya membuat Manda meloloskan desahannya.

Erlan melepas pagutan mulutnya lalu menatap Manda yang baru saja meloloskan sesuatu di bawah sana dan tubuh Manda sudah berkeringat padahal AC kamarnya menyala. Nafas Manda sangat tak beraturan seperti baru saja lari maraton. Mata Manda terpejam erat dahinya ikut berkerut, bibir Manda di gigit sendiri menahan desahan yang akan keluar.

Erlan melepas gigitan Manda pada bibir Manda, ia lalu mendekatkan wajahnya di bibir Manda, "Jangan di gigit, lepasin aja." Manda mengangguk. Erlan kembali mencium Manda, "Panggil nama ku. Jangan di tahan."

Manda kembali mengangguk patuh. Erlan melakukan hal yang sama ciumannya semakin turun sesekali berhenti mengerjakan apa yang memang ingin ia lakukan. Manda hanya bisa menikmati semua sentuhan Erlan di seluruh tubuhnya.

"Eh Lanhh"

Erlan berada di kewanitaannya. Ia sedikit merasa risih ketika Erlan memandangnya. Ia hanya takut Erlan merasa jijik padanya. Erlan mengecup perut Manda dimana darah dagingnya ada, "Mari berjumpa baby." Erlan memulai apa yang menjadi inti permainan ini.

....

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan kedua pasangan muda itu masih menutup matanya di bawah selimut yang menutupi tubuh polosnya.

Bunda Erlan mengetuk berkali-kali pintu kamar kedua anaknya. Pembantunya bilang Manda dan Erlan tak keluar kamar setelah pulang dari pemeriksaan kembar. Ia sedikit panik. pasalnya menantu tak calon cucu cucunya belum makan.

"Erlan."

"Manda."

Bunda memilih untuk mengambil kunci cadangan kamar Erlan di biasa keluarganya menyimpan kunci. Bunda Erlan memasukkan kunci itu kelubang kunci lalu memutarnya.

Bunda Erlan menganga, kamar putra dan menantunya sudah berantakan pakaian sudah berserakan. Ia melihat pasangan muda yang saling berpelukan di tutupin selimut tebal.

"Aduh kok bisa gak kepikiran sih," kekehan Bunda yang melihat pasangan itu. Bunda lalu menutup pintu dan menguncinya kembali. "Suruh Bi Surti masakin mereka aja deh, biar kalau mereka tengah malam lapar ada makanan."

.

.

.

.

Tengah malam perut Manda keroncongan membuatnya mau tak mau harus membuka matanya. Ketika membuka mata dada telanjang Erlan lah yang menjadi pandangan pertamanya.

Manda melihat di sana ada bekas goresan kuku miliknya. Manda sedikit merasa bersalah pada Erlan, goresan itu terlalu banyak di tubuh Erlan.

Perut Manda berbunyi membuatnya harus segera bangkit mencari makanan. Manda melepas kedua tangan Erlan yang mendekapnya. Bukannya lepas Erlan malah menekannya membuat tubuhnya dan Erlan semakin menempel.

Manda tak punya pilihan selain membangunkan Erlan, "Lann, Erlann, Lann." Manda menepuk pipi Erlan membangunkan suaminya itu. Erlan tak menunjukkan tanda tanda akan bangun. "Laan... aku laper.." rengek Manda.

Tepukan itu sudah menjadi cubitan. Manda mencubit hidung Erlan, anak anaknya sudah meronta-ronta minta makan dan hanya ini cara yang ia miliki.

Erlan mengambil tangan Manda lalu menahannya dengan menjadikan bantalan kepalanya. Manda mendelik, Erlan tidur kembali. "Erlan!" teriak Manda tepat di kuping Erlan.

Erlan langsuang tersentak, kepalanya pening seketika. Ia menoleh ke Manda, "Kenapa sih?" ucap Erlan khas orang bangun tidur.

"Lapar Lan, tangan kamu minggir!" Erlan berdecak lalu melepas kedua tangannya dari Manda. "Aku capek Man, malah kamu kagetin kayak gitu."

Manda langsung mencubit Erlan. Enak saja dikira dirinya tidak capek apa, "Aku juga capek! tapi anak kamu minta makan! Aku belum makan tahu dari tadi sore!" Manda meluap luap, Ia kesal pada Erlan.

Erlan membuka matanya lalu menatap Manda yang sudah bersiap akan menangis, Erlan meringis ia melupakan bahwa Ibu Hamil ini cepat lapar dan baperan.

"Maaf ya. Yok aku temenin ke bawah." Manda mengusap air matanya lalu menggeleng ia masih marah pada Erlan. Manda memegangi selimut itu agar menutupi tubuhnya lalu ia berusaha untuk turun, Erlan jadi merasa bersalah pada Manda.

Erlan bergerak ia membopong tubuh Manda membuat selimut yang mereka gunakan turun di atas lantai. Mereka sama sama masih dalam keadaan polos. Erlan membawa Manda ke dalam walk in closet milik Erlan yang sudah diisi oleh barangnya dan barang Manda.

Erlan menurunkan Manda di kursi berbentuk lingkaran di tengah-tengah. Manda menutup asetnya dengan tangannya ia malu sedangkan Erlan cuek bebek toh Manda juga sudah melihat semua.

Erlan melangkah menuju deretan baju santainya mengambil dalaman dan juga baju polos berwarna hitam dan celana hitam pendeknya. Manda meraih dalamannya dan daster yang akhir akhir ini menjadi baju kesehariannya.

Manda memakainya lalu menutup lemari itu. Erlan juga sudah berpakaian ia memegang pundak Manda lalu berjalan keluar menuju dapur.

Sesampainya di sana Manda memanasi sayuran yang ada di meja makan. Tapi semua bukan selera Manda, tapi mau bagaimana lagi jika ia masak makan akan sangat lama sedangkan perutnya sudah keroncongan.

Manda mengambil makanan dengan porsi yang sedikit membuat Erlan keheranan. "Katanya lapar kok dikit makannya?" tanya Erlan. "Pingin sate," jawab Manda dengan nada yang sangat pelan.

"Pingin apa?" Erlan benar-benar tak mendengar jawaban Manda. Manda menggeleng lalu menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Aku gak denger kamu ngomong apa Yang. Kamu mau apa?" Erlan meletakkan sendoknya karena makannya memang sudah selesai.

"Sate."

Erlan menaruh piringnya lalu mencucinya, itu sudah menjadi kebiasaannya bersama Manda. "Malam malam gini apa ada? Jauh juga dari sini."

"Bilang aja kalau engga mau beliin," batin Manda.

"Udah gak jadi Lan, aku mau mandi aja," ujar Manda langsung menaruh piringnya di wastafel lalu mencucinya. Erlan memandang Manda dengan tatapan bingung.

"Mandinya sekalian besok aja, gak baik mandi tengah malam gini," nasehat Erlan tapi Manda tak menggubrisnya, ia memilih untuk pergi dari dapur.

Erlan menghela nafasnya, Manda pasti ngambek pikirnya. "Salah apa lagi aku ini."

.....

Manda benar mandi, tubuhnya lengket karena aktifitasnya dengan Erlan di ranjang. Manda masuk kedalam kamar mandi, ia masih saja takjub pada kamar mandi kamar Erlan. Ah tak hanya kamar mandi tapi semua yang ada di rumah ini.

Pantas saja Erlan mengatakan kamar dan kamar mandinya itu sempit pakai banget plus very. Manda membuka pintu kaca buram yang di dekat bathup.

Manda mengatur suhu shower, ia ingin mandi dengan air hangat. Manda melepas kimononya menaruh di luar kaca. Manda membiarkan air jatuh mengenai tubuhnya.

Kakinya sudah tak seperti awal ia berjalan. Tak ada kesemutan dan tidak terlalu lemas. Manda memegang tembok untuk membantu menyanggah tubuhnya.

Tiba-tiba Manda merasakan sebuah tangan melingkar di tubuhnya dan tangan itu bergerak mengelus parut telanjangnya. Manda melihat kebelakang ternyata Erlan yang memeluknya dengan keadaan yang sama dengannya.

"Aku bantuin."

Manda hanya mengangguk lalu membiarkan tangan Erlan menyabuni tubuhnya. Manda mematikan shower itu lalu membalik tubuhnya. "Aku sendiri aja deh," ucap Manda rasa kesalnya sudah hilang pada Erlan tapi rasa malunya kembali datang.

Erlan mencium singkat bibir Manda, "Kamu mending mandiin aku, aku mandiin kamu." Manda menggeleng tapi Erlan tetap memaksa Manda membuat Manda akhirnya mengalah.

Tapi kata mandi itu tak benar-benar mandi. Ada kejadian yang terselubung disana.

.

.

.

.

Erlan membuka matanya ia melihat istrinya masih tertidur. Ah ia jadi teringat kemarin, ia seperti orang yang haus belaian. Semua pertahanannya runtuh hanya karena melihat Manda.

Erlan mengelus pipi Manda, ia pasti kelelahan. Erlan saja capek apalagi Manda. Ah Erlan jadi ingat Manda menginginkan makan sate. Ia pernah ingat jika didepan perumahannya setiap pagi ada penjual sate ayam dan sate sapi keliling.

Erlan melepas pelukannya lalu bangun dari tidurnya. Erlan terlebih dahulu membetulkan posisi selimut Manda. Ia lalu mengambil jaketnya.

"Kamu mau kemana?" tanya Manda yang baru saja bangun dari tidurnya.

"Mau beli sate."

"Ikut," rengek Manda. Erlan mengangguk, ia mengambilkan jaket Manda sedangkan Manda bangun dari tidurnya.

Mereka berdua turun saat melewati dapur mereka melihat Bik Surti yang hendak memasak makanan. "Eh Bik, Bunda udah pulang?" tanya Erlan.

"Belum Den, biasanya Nyonya pulang nanti siang. Sekalian bawain makan siang buat Tuan."

"Kalau gitu gak usah masak aja Bik, Erlan sama Manda mau beli sate, kita sarapan itu aja." Kali ini Manda yang berkata. "Iya Non."

"Ya udah Erlan sama Manda pamit ya Bik." Manda sangat ramah dan hal itu sudah sangat di ketahui oleh Erlan. Erlan mengambil kunci mobil mewah miliknya yang sudah lama tak pernah ia gunakan.

"Ini mobil siapa?" tanya Manda pada Erlan ketika mereka sampai di sebuah mobil yang tertutupi. "Kita mau pakai mobil ini?" tanya sekali lagi Manda.

"Iya"

"Ah gak usah Lan. Mending pakai mobil yang itu, yang gampang keluar." Erlan langsung berhenti melepas kain yang menutupi mobil mewahnya. Ia menatap Manda yang berjalan ke arah mobil Papanya yang ada di depan garasi.

Padahal ia ingin sedikit pamer pada Manda, sekalian mencoba mobilnya. Pupus sudah. Erlan menghela nafasnya ketika Manda meminta Erlan untuk lebih cepat.

Mau tak mau Erlan mengambil kunci mobil itu dan mengembalikan kunci mobil mewahnya. "Dasar Bumil!"

. . . . . .

Manda dan Erlan akhirnya menuju tukang sate depan perumahan. Erlan melihat ke kanan dan ke kiri. Tukang sate itu tak ada di sana. Sepertinya sudah melewati perumahan ini.

Erlan meneruskan mobil ini ke dekat tempat biasa orang berlari. Sungguh ramai disana, Erlan melihat ke kanan dan ke kiri begitu pula dengan Manda. "Lan itu!" ujar Manda dengan senang setengah mati.

Erlan melihat di pinggir jalan ada penjual sate. Ia langsung menyalakan sen mobilnya untuk menyebrang.

Manda benar-benar tak sabar memakan potongan daging yang ditusuk itu. Melihat asap daging di bakar itu saja membuat Manda semakin tak sabar.

Erlan yang melihat itu geleng-geleng, "Lagi ngidam ya Mbak?" tanya penjual Sate itu. "Kok tahu Pak?" tanya Erlan yang ada di dekat bapaknya.

"Soalnya ekspresinya sama kayak waktu istri saya ngidam Mas hehehhe." Erlan ikut tertawa. Manda menatap sate itu dengan tatapan yang benar-benar lekat. Bahkan Manda yang di bicarakan ini tak menggubris penjual itu.

Pesanan mereka akhirnya sudah selesai Erlan dan Manda masuk ke mobil dan pergi pulang. "Yang, besok pertama hari kerja aku di kantor Papa. Kamu gak papa aku tinggal sendiri di rumah kan?" tanya Erlan.

Manda mengambil satu tusuk sate, "Ya gak papa. Kan ada Bik Surti sama suaminya." Erlan melihat ke samping mulut Manda sudah penuh dengan daging itu.

Erlan menepuk puncak kepala Manda, ia pasti benar-benar menginginkan itu. "Maaf ya, udah buat kamu makan malamnya dikit," ujar Erlan membuat Manda menatap Erlan.

"Iya gak papa."

.

.

.

Erlan dan Manda sudah sampai di rumah, mereka masuk dan langsung menuju dapur untuk menaruh sate itu. Manda sudah menghabiskan lima tusuk sate dan ia masih menginginkan sate itu.

Manda mengiris lontong untuk Erlan, dirinya, Bik Surti dan suaminya. Manda memberikan potongan lontong itu pada Erlan lalu mengambil potongan lontong untuknya.

Erlan memanggil Bik Surti dan Suaminya untuk sarapan bersama. Dan akhirnya Manda tersenyum senang, semalam ia sangat sangat ingin makan sate tapi Erlan malah membuatnya malas abis itu membuatnya kelelahan sampai ia lupa ia hanya makan sedikit.

Erlan menatap Manda yang kembali makan sate. Manda tak peduli dengan tatapan itu, ia hanya ingin membalas rasa laparnya tadi malam.