Seorang perawat menghantarkan sarapan pagi untuk Manda. Bunda Erlan menerimanya lalu membuka hidangan itu. "Kamu mau makan sekarang?" tanya Bunda Erlan.
Manda menatap kurang minat dengan masakan rumah sakit. Bubur, sayur buncis, tempe dan buah pisang. Manda biasanya tak memilih milih makanan hanya saja melihat itu ia merasa perutnya menolak, "Kalian gak mau makan itu ya Nak?" tanya Manda pada anak-anaknya lewat batin.
Bunda Erlan yang tahu itu langsung menutup makanan rumah sakit, "Kalau gitu mau buah? Bunda bawain buah potong, segar segar buahnya."
Bunda Erlan membuka lepak makanan itu. Buah pir, semangka, mangga sudah terpotong. "Mau Bunda suapin? tawar Bunda.
Manda yang merasa gak enak akhirnya memilih untuk makan sendiri, "Manda makan sendiri aja, Bunda makan dulu aja."
...
Erlan sudah segar ia sekarang sedang makan sekarang. Bunda sedang ada keperluan entah apa Erlan tak tahu, Bik Suti dan Pak Mar sedang diminta Bunda untuk membeli beberapa barang.
Erlan melihat Manda yang sedang menghabiskan buah potongnya dengan malu-malu, "Kamu udah makan nasi?" tanya Erlan. "U-Udah kok, dibawain Bunda tadi."
"Mau makan lagi?" tawar Erlan pada Manda. Manda menggeleng, "Udah kenyang banget."
"Kamu kenapa?? gugup gitu," tanya Erlan.
"Malu," jawab Manda sambil berucap pelan dan menunduk. Erlan langsung berpikir di kejadian kamar mandi dan pembalut. Erlan melakukan itu karena ia tak tega dengan keadaan Manda, bahkan buat gerak aja Manda masih ngeringis kesakitan.
"Ya kenapa malu? orang aku aja gak malu."
"Ish! Erlan, tapi tetap aja aku malu ma kamu."
"Ya kenapa gitu loh Yang, orang aku juga gak papa. Lagian kamu kan istri aku, kamu aja udah pernah lihat aku telanjang. Aku juga udah pernah lihat kamu telanjang."
Seketika Manda menabok pelan mulut Erlan. "Ck kamu malah bikin aku semakin malu tahu."
Erlan menutup tempat makan lalu berdiri membuatkan Manda susu hamil. Bundanya ini sangat pengertian banget. Menyiapkan segala hal untuknya dan Manda.
"Lan, aku gak enak sama Bunda." Erlan menatap Manda tanya sambil terus mengaduk susu dalam gelas itu.
"Aku ngerepotin Bunda. Aku jadi gak enak sama Bunda." Erlan memberikan susu itu pada Manda lalu menutup tempat makan berisi buah yang ada di hadapan Bunda.
"Bunda aja gak papa, kenapa harus merasa gak enak," jawab Erlan sambil melihat Manda yang menghabiskan susu. "Ish kamu mah, aku ngerasa gak enak sama Bunda karena udah repotin Bunda terus."
Erlan meletakkan gelas susu itu dinakas. "Lan, kata Bunda Papa sakit. Kamu jenguk Papa gih," kata Manda. "Nanti aja, kamu sendirian di sini."
"Gak papa Lan, sana jenguk dulu." Erlan memutar bola matanya jengah, ia memilih berdiri lalu tiduran di sofa. Manda hanya bisa menghela nafasnya.
Ceklek...
Pintu ruangan kamar rawat Manda terbuka menampilkan Bude Yani, Pakde, Mbak Anis dan Ayah Manda. "Ya ampun Man! Kamu keadaannya gimana sayang? Bude kaget banget waktu Erlan ngabarin Bude kamu masuk rumah sakit."
Manda tersenyum, "Alhamdulillah baik-baik aja kok Bude." Erlan mempersilakan mertuanya dan Pakde Manda untuk duduk di sofa.
"Kok bisa sih Man?" tanya Mbak Anis. "Kecapean Mbak," jawab Manda membuat Erlan menatap bingung Manda, "Manda mau sembunyiin masalah ini?" batinnya.
"Tapi benaran gak papa kan?" tanya Bude. "Iya Bude. Gak papa kok, kembar sama aku baik-baik aja."
Manda terus di ajak ngobrol oleh Bude dan Mbak Anis. Tanya ini dan itu bahkan Manda sampai kelimpungan kadang menjawabnya. Erlan juga begitu, mertuanya ini ternyata juga banyak bicara, menanyai perihal Manda kepada Erlan ataupun sebaliknya.
.....
Keluarga Manda akhirnya pamit pulang, mengingat mereka harus kembali bekerja. Manda sempat sedih karena harus berpisah dengan keluarganya, jadi sepi lagi deh kamar rawat Manda.
Erlan mendekati Manda, "Kamu gak mau tidur?" tanya Erlan. Manda mengangguk pasalnya mereka tidur beberapa jam setelah malam tadi mereka berdebat ini dan itu.
Erlan menurunkan kasur Manda agar bisa membuat Manda tidur nyenyak. "Erlan sini, mau di peluk," pinta manja Manda. Erlan terkekeh Manda sangat jarang bertingkah seperti ini.
Erlan dengan senang hati memeluk istrinya ini. Erlan merebahkan tubuhnya di samping Manda lalu memeluk istri tercintanya.
Manda mendengarkan detak jantung Erlan yang justru terasa menjadi musik penghantar tidur. Mereka sama sama terdiam. Tangan Erlan bergerak mengelus rambut dan perut Manda memberikan kenyamanan agar Manda cepat tertidur.
Tidur sudah menjadi hobi Manda semenjak hamil membuat dirinya dengan cepat pulas tertidur. Erlan yang merasakan nafas Manda teratur melihat ke bawah. "Bumil cepet banget boboknya."
Ceklek...
Pintu rawat Manda kembali terbuka, kali ini menampilkan wajah temannya Erlan. Erlan dengan cepat menaruh telunjuknya di depan bibirnya, memberikan isyarat agar mereka tak berisik.
Mereka mengangguk paham. Erlan melepas pelukannya dengan hati-hati, "Ngapain Lo pada siang siang ke sini, kagak pada kuliah?" tanya tak suka Erlan. Padahal dia tadi juga ingin ikutan Manda tidur.
Erlan menghampiri Gani dan Reno. "Nih berkas yang Lo minta, kira mah kuliah sore males Gue kuliah pagi pagi, mending sore sampe rumah langsung tidur."
Erlan membaca kertas itu dengan teliti. Erlan semakin mengerutkan dahinya ketika ia menemukan hal hal yang sedikit mengganjal. "Tunggu jadi Gerlan belum balik ke Indonesia?" tanya heran Erlan.
"Dari data yang Gue dapat iya dia belum pernah balik ke Indonesia semenjak pesta ulang tahun Reno. Dan ada yang lebih aneh sih, buat karyawan yang Lo bilang itu, Gerlan gak ada sangkut pautnya sama sekali, aneh kan?" kata Gani.
Erlan melihat foto foto yang di dapatkan Gani dan Reno. "Oh iya, kata Manda kemarin lusa ada yang kirim paket ke rumah Gue, orang yang ngirim udah berhasil di ringkus sama Om Gue, tapi yang ngirim itu dia gak tahu jelas siapa yang nyuruh cuma dia yang pasti orang itu mau celakain Manda."
Gani dan Reno saling berpandangan, "Gila ya yang lakuin ini," ucap Reno dengan kesal ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
"Lo udah kasih tahu Papa Lo? Ini gak main main loh Lan." Erlan menggeleng menjawab ucapan Gani. "Kesampingin masalah Lo sama Papa Lo, sekarang anak Lo butuh perlindungan. Kita bakal tetep bantu, tapi dengan adanya koneksi Papa Lo bakal lebih cepat."
Erlan menghela nafasnya, "Iya."
...
Gani dan Reno sudah pergi mereka akan segera kuliah. Erlan menatap nanar dirinya di cermin depannya, dulu ia sangat memimpikan kuliah di Amerika. Selain termasuk universitas terbaik sedunia, ia juga bisa jauh dari Papanya.
Sekarang, ia harus memupuk dalam-dalam mimpinya itu. "Gak gak Lan, Lo harus bersyukur mungkin ini yang terbaik. Lo harus senang, karena Lo punya Manda Lo punya Kembar."
Erlan menatap Manda yang sedang tertidur nyenyak, ia teringat saat mengganti pembalut Manda.
Bukan apa apa, ia jadi merasa bersalah. Dulu ia pernah mencemooh teman perempuannya yang sedang haid karena selalu ijin ketika mereka haid. Melihat darah keluar dari kewanitaan Manda membuat ia ngeri sendiri.
Berdarah karena luka kecil aja kadang orang sudah menangis meraung-raung apalagi ini, darahnya gak berhenti keluar dan sakitnya di dalam perut.
"Lan?" panggil Manda yang baru saja membuka matanya. Erlan berjalan ke arah ranjang Manda, "Kenapa?" tanya Erlan.
"Ini jam berapa?" Erlan membuka ponselnya melihat jam disana. "Jam 15.32 Ada apa?" tanya Erlan.
"Kamu sholat gih," perintah Manda. Erlan mengangguk ia lalu pergi ke kamar mandi. Manda meringis tubuhnya sangat terasa pegal.
Erlan menggelar sajadah di samping ranjang Manda. Manda melihat Erlan yang sedang melaksanakan ibadah. Dari pagi Erlan selalu sholat disini, Manda jadi pingin lihat Erlan sholat ke masjid pakai sarung dan kopyah.
Entahlah, kepingin aja. Manda meraih ponsel Erlan yang berbunyi di nakas sampingnya. Panggilan dari Om Ivan.
("Halo Lan")
"Om, ini Manda, Erlan lagi sholat. Gimana Om?"
("Oh Manda, cuma mau ngabarin kalau kaca rumah kalian udah Om ganti. Kalau gitu ya udah Man. Nanti Erlan suruh hubungi Om lagi ya.")
"Iya Om"
Manda menutup sambungan teleponnya. Ia melihat Erlan yang sudah akan selesai sholat. Erlan mengadahkan tangannya berdoa pada sang Pencipta.
Manda meminta tangan Erlan yang sudah selesai, menyalami tangan suaminya itu. Erlan mencium dahi Manda dengan sayang. "Tadi siapa yang telepon?" tanya Erlan.
"Om Ivan, mau ngasih tahu kalau kaca rumah udah diganti. Om Ivan juga minta kamu telepon Om Ivan." Erlan hanya mengangguk saja ia lalu duduk di kursi menghadap Manda.
"Masih sakit gak Man?" Manda menggeleng, hanya saja bagian tubuhnya bawah gak bisa lama lama buat jalan atau berdiri.
"Tadi Dokter Rina ke sini waktu kamu tidur, cuma tanya aja keluhan kamu sama yang lainnya. Besok siang Dokter Rina mau meriksa kamu lagi."
"Kamu masih suka muntah Lan?" tanya khawatir Manda sambil mengelus pipi Erlan yang sudah ada di sebelah wajahnya.
"Waktu pagi aja."
"Tapi ya Man, anehnya nih ya hidung aku setiap kali nyium parfume orang walau sama kayak parfume kamu atau aku rasanya pingin muntah tahu."
Dahi Manda mengerut, "Masa sih?"
"Iya serius. Aku nih ya sampai pernah gak dengerin apa yang di suruh, bau nya tuh gak enak banget di hidung aku, tapi aku sadar itu bau wangi, aneh kan."
Manda mengangguk, "Mungkin bawaan bayi Lan."
"Yang hamilkan kamu, lagian ya aku kan cowok mana bisa hamil Yang, ngelucu deh kamu," ucap Erlan yang langsung tertawa.
Manda menatap Erlan aneh emang Manda kelihatan ngelucu ya. "Eh kamu punya kembaran ya? Kok gak pernah cerita," kata tiba-tiba Erlan.
Manda mengalihkan pandangannya ke arah lain selain wajahnya Erlan. Ia kurang nyaman jika membahas tentang Ibu ataupun kembarannya. Terlalu rumit kisahnya.
Erlan menatap Manda yang seperti enggan menceritakan tentang kembarannya itu. Padahal ada hal yang penting yang ingin Erlan tahu, tapi melihat sikap Manda membuat Erlan mengurungkan niatnya.
Erlan mengubah topik pembicaraan ia menceritakan jaman dulu ketika ia sekolah SD SMP walau tak banyak kenangan manis tapi Erlan masih bisa menceritakan tentang itu semua pada Manda.
Manda kembali tertarik dengan topik Erlan bahkan ia jadi ikut ikutan menceritakan jaman dulu. Dari sini Erlan dapat mengetahui bahwa istrinya tak terlalu sering mengingat sang ibu dan kembarannya.
Manda lebih senang menceritakan dirinya dan teman-temannya ataupun dengan Bude dan Mbak Anis.
....
Manda sedang makan dengan di suapi oleh Erlan. Mereka memakan masakan rumah sakit di tambah masakan dari kantin rumah sakit. "Kamu buburnya aja, aku gak mau bubur. Kamu juga makan sayurnya aja aku gak suka rasanya gak asin soalnya."
Manda terus berkata ini dan itu pada Erlan. "Yang kamu sadar gak sih, ini sama aja aku yang makan masakan rumah sakit, kamu yang makan nasi bungkusnya."
"Lah memang kan. Dah sana makan." Erlan menatap Manda cengong, kalau gitu kenapa Manda menjelaskan satu satu, kenapa tidak langsung kalau dia pingin makan nasi bungkus nya.
"Terserah bumil aja dah," batin Erlan pasrah.
Erlan menyuapi Manda dengan nasi bungkus lalu dia menyuapi dirinya sendiri dengan makanan rumah sakit, begitu terus sampai makanan mereka habis.
Manda dan Erlan menengok secara bersamaan ke arah pintu ruangan. "Assalamu'alaikum teman teman," kata Hanin sambil menyembulkan kepalanya di pintu.
Salsa dan Dera langsung membuka lebar pintu kamar inap Manda menghiraukan tingkah Hanin yang aneh. Manda terkikik geli sedangkan Erlan hanya geleng-geleng saja.
"Wihh romantisnya pasutri muda satu ini." Perkataan Hanin mengakhiri suapan terakhir dari Erlan. Erlan menaruh tempat makan di nakas dan membuang bungkus nasi.
Teman-teman Manda langsung duduk di atas kasur Manda. Sedangkan Erlan duduk di sofa sambil menyilangkan tangannya di depan dada melihat tingkah para ciwi ciwi yang sudah aneh jika bergabung bersama.
Manda menatap Erlan yang terus menatap ia dan teman-temannya. Manda mengisyaratkan Erlan untuk mendekat, "Kamu jenguk Papa dulu Lan. Aku udah yang nemenin. Mereka sampai malam kok, nunggu Gani sama Reno ke sini juga."
"Tenang Lan, aman kok kalau sama kita," ucap Dera yang duduk di kursi dekat ranjang. Salsa dan Hanin juga membetulkan kata Dera.
"Ya udah, aku ke Papa dulu ya. Kamu di sini hati-hati, kalau ada apa apa langsung kabari aku." Erlan mencium kening Manda membuat Manda merona dan mencubit perut Erlan, "Malu tahu Lan."
"Aduh mata aku udah gak polos," ucap Hanin sambil menutup matanya rapat-rapat.
"Aduh kayak mau di tinggal kemana aja," heran Dera.
"Aduh ada jomblo nih jangan gitu dong," kata Salsa.
Erlan terkekeh, ia lalu mengambil kunci motornya dan pergi meninggalkan Manda bersama teman-temannya.
"Cieee!!!!" teriak goda Salsa, Hanin dan Dera secara bersamaan membuat Manda menutup wajahnya malu.
"Apa sih kalian!" Mereka langsung tertawa bersama melihat Manda yang sudah merah menahan malu.
"Halah sok sokan malu loh Man!" ucap Dera sambil memukul pelan lengan Manda. "Malu beneran tahu aku."
"Cie... cie.. cie..," ucap Salsa sambil melipat jarinya membentuk pistol menembak ke arah Manda. "Ih! Kalian yaaa."
"Udah udah kasian Manda udah sampai merah gitu." Ucapan Salsa membuat Dera dan Hanin meredakan ledekan mereka.
"Eh ngomong ngomong, perut Manda udah kelihatan ya. Badan Lo juga lebih menonjol sana sini deh Man," kata Hanin sambil menunjuk seluruh tubuh Manda dengan jarinya.
"Iya baru dua bulan kok, jalan ke tiga bulan. Kelihatan gendut ya aku? padahal kata Dokter berat badan aku kurang loh buat ibu hamil."
Dera memegang perut Manda, "Dua bulan kok nonjol sih?" tanya heran Dera. "Perasaan Tante Gue gak segini deh waktu hamil dua bulan."
Manda mengulum senyumnya, "Sini deh tangan kalian." Manda menarik tangan kanan teman-temannya. "Disini ada tiga bayi loh."
"HAH?! Serius Sumpah?!"
Manda mengangguk dengan malu-malu. "Iyaa kalian gak inget waktu kalian lihat hasil USG nya??" tanya Manda mengingatkan ketiga temannya.
"Ih mana mudeng kita sama hasil begituan cuma hitam putih gitu," celetuk Hanin. "Oh ingat Gue, ada tiga kayak lubang gitu di USG nya Manda. Ah ternyata bayinya kembar tiga," ucap Salsa.
"Tokcer banget ya Erlan, sekali buat jadi tiga," kata polos Dera sambil mengelus perut Manda.
Salsa langsung menjewer mulut Dera, "Ini mulutnya mulai ya, Lo mentang mentang mau tunangan omongannya mulai ke ambigu ambigu ya. Reno ngajarin apa aja?" tanya kesal Salsa.
"Ish jangan gitu tahu Sal, Reno gak pernah ngajarin kayak gitu orang dia paling pol juga cium di pipi. Kadang tuh kita harus sedikit mesum tahu," jawab Dera membuat semua terpekik kaget.
"Jangan bilang Lo sama Reno udah pernah ngelakuin Plak," ucap Hanin sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
"Ck dibilang juga Reno cuma sampai cium pipi. Gak lebih! tenang aja." Dera yang berucap santai malah mereka bertiga yang deg degan.
"Eh by the way, Lo sama Erlan udah pernah Plak," kata mesum Dera sambil menepuk telapak tangannya seperti Hanin lakukan tadi.
"Yaudah dong Der, orang juga udah jadi bayi, gimana sih," ucap polos Hanin. Dera berdecak, "Maksudnya setelah itu."
"Kepo!" jawab singkat Manda membuat mereka langsung tertawa. "Kayaknya udah deh Der. Ih kok kita jadi gini sih, Dera nih virus mesumnya udah nyebarkan," gerutu Salsa.
Dera terkikik geli, "Gak papa kan education."
Dilain sisi Erlan baru saja sampai di depan ruangan tempat Papanya di rawat. Erlan menghela nafasnya kasar, ini pertama kalinya ia bertemu Papanya setelah diusir dari rumah.
Erlan membuka pintu itu terlihat sang Papa yang terduduk di kasur sedang berbicara dengan Bundanya. Selang oksigen terpasang di hidung Papanya.
"Assalamu'alaikum."
Pasangan paruh baya itu menoleh ke arah sumber suara. "Erlan?!" pekik kaget Bundanya dengan senang.
Erlan mendekat ke arah dua orang tua kandungnya ini. Papa Erlan belum juga bersuara ia hanya melihat istri dan anak semata wayangnya saling melepas rindu dengan pelukan.
Bunda Erlan melepas pelukannya padahal ia sudha bertemu dengan Erlan hanya saja melihatnya datang untuk menjenguk suaminya membuat ia sangat terharu.
"Bunda keluar dulu, biar kalian bisa bicara berdua."
Papa Erlan mengucapkan terimakasih pada istrinya yang mengerti. Bunda Erlan menuju keluar ruangan ia akan menunggu suami dan anaknya di luar.
"Apa kabar?" kata itu keluar dari mulut Papa Erlan. Erlan masih berdiri di depan Papanya ia hanya berdeham sambil mengangguk menatap Papanya.
Papa Erlan mengangkat satu bibirnya melihat reaksi Erlan yang berikan. "Kamu jenguk Papa? Atau ada hal lain?" tanya Papa Erlan.
"Manda suruh Erlan jenguk Papa."
Papa Erlan menunduk sambil menguluas senyumnya tipis dan singkat. Erlan kembali mengingat perkataan Gani. Ia harus mengesampingkan masalahnya nanti.
"Jangan menatap Papa seperti itu. Papa bukan orang penyakitan. Erlan mendengus, "Yang namanya rumah sakit buat orang sakit. Papa juga udah lama kan dirumah sakit, apalagi kalau bukan penyakitan."
Papa Erlan tertawa pelan, "Penyakitan artinya orang yang sering sakit. Papa gak sering sakit."
Erlan memutar matanya jengah mendengar ucapan Papanya, "Papa kenapa bisa masuk rumah sakit?"
Papa Erlan meminta Erlan untuk duduk di kursi samping ranjanganya, ketika sudah duduk Papa Erlan memberikan ponselnya berisi laporan laporan dari orang yang Erlan tahu adalah tangan kanan Papanya.
"Papa selama ini pantau kalian lewat Ivan. Papa juga minta tolong Sam dan Daniel buat cari tahu semuanya. Kenapa kamu milih buat tetap tanggung jawab dan gak ngasih tahu Papa kalau kamu nyewa agen?"
Erlan menghela nafasnya, "Kalau Erlan bawa orang itu apa membuat Manda dan Erlan kembali seperti dulu lagi? Engga kan Pah. Erlan lihat dengan mata kepala Erlan sendiri, gimana Manda bertahan hidup sendiri. Dia harus nahan semua kesedihannya sendirian. Dia harus di cemooh bahkan di usir dari rumah."
"Padahal Manda memilih untuk mempertahankan janin itu. Sedangkan Erlan, hidup enak enak, semua berkecukupan, bahkan Erlan masih sempat bahagia pergi berlibur bareng teman."
"Erlan gak mungkin diam aja Pah. Lihat orang yang berjuang buat darah daging Erlan."
Papa Erlan menatap bangga anaknya. Ia menepuk bahu anaknya yang sedang menunduk. "Papa bangga sama kamu Lan. Papa bangga sama kamu. Maaf udah usir kamu sama Manda."
Erlan mengangguk tanpa menatap Papanya. "Tapi ada hal yang harus kamu tahu. Gerlan bukan pelaku apa yang terjadi saat ini."
Erlan menatap papanya tak percaya. "Maksud Papa?"
"Papa tahu kamu udah minta tolong dua teman kamu buat cari tahu hal ini. Dan Papa melanjutkan pencarian itu dan benar Gerlan bukan pelakunya."
"Papa sekarang sedang meminta tolong anak buah Sam buat ngawasi Gerlan yang sedang ada di Jerman. Dan Gerlan hanya menjadi mahasiswa tak lebih."
"Sepertinya ada orang lain yang sedang meneror kalian."
Erlan mengelakkan kedua tangannya kuat-kuat. Erlan tak pernah merasa memiliki musuh. Ia dan kedua temanya lebih memilih pergi atau membantu dari belakang masalah geng ataupun tawuran bukan pengecut, baginya itu bukan levelnya. Erlan juga lebih sayang tubuhnya dan tak mau mati konyol.
Sekarang, ada orang yang berani melawannya. Bahkan Erlan tak bisa menebak siapa dalang dibalik ini semua. Kepala Erlan sudah ingin meledak. Bayangan teror di kontrakannya kembali berputar.
"Kamu tenang aja, Papa pasti bantu kamu Lan. Sebagai ucapan maaf Papa yang udah bikin kalian menderita."
"Maafin Papa ya Lan, belum bisa jadi Papa yang baik buat kamu. Papa harap kamu jadi ayah dan suami yang lebih baik lagi dari Papa. Peluk Papah peluk Erlan?"
Erlan menatap kaget Papanya yang sudah berkaca-kaca. Menjadi calon Ayah membuat Erlan sedikit demi sedikit memahami Papanya.
Ya selama ia jauh dari Papanya ia selalu merenungkan sifat Papanya yang terkesan posesif di mata orang luar namun cuek di mata orang terdekat.
Papanya melakukan hal itu semata-mata melindungi Erlan dari marabahaya. Erlan sadar kalau menjadi orang yang banyak di kenal dan sukses itu penuh rintangan. Bisnis tetaplah bisnis. Tak ada teman setia yang bermula dari bisnis.
"Boleh"
Erlan memeluk Papanya, "Papa adalah Papa terbaik bagi Erlan. Maaf Erlan gak pernah mau memahami Papa. Terimakasih ya Pah selalu suport Erlan dari belakang."
"Ya Nak."
"Maafin Papa ya."