Manda turun ke meja makan, setelah solat subuh bersama Erlan. Ia memutuskan untuk memasakkan sesuatu untuk Erlan sambil menunggu Erlan yang sedang mandi.
Manda melihat suasana sepi rumah Erlan. Yang nantinya akan menjadi kebiasaan untuk dirinya. Rumah luas, banyak perabotan mewah dan sangat terang. Tapi nyatanya, terasa sepi, sunyi bahkan menakutkan untuk Manda.
Manda jadi teringat rumahnya. Rumahnya memang tidak sebesar rumah Erlan, bahkan tidak ada setengahnya. Ia hanya tinggal bersama sang Ayah. Tapi walau diisi dua orang kadang tiga orang jika ada sepupunya yang menginap, tidak pernah ada hari dimana ia merasakan sepi rumahnya, terasa nyaman.
Ah, Ayahnya, apa kabar Ayah sekarang?
"Sudahlah, harus berubah dan jalani hidup. Terima dan syukuri. Pikirkan perlahan Manda, ingat Kamu berdua sekarang ini, dedek bayi," ujar Manda.
Manda selesai memotong dan mencincang semua bumbu, ia lalu menuju kulkas untuk mengambil sosis. Setelah itu Manda memotong sosis, ia lalu melihat sekitar dapur mencari teflon atau wajan yang bisa ia gunakan untuk memasak nasi goreng. Manda membuka satu per satu lemari dapur, butuh waktu lama untuk Manda menemukannya.
"Ternyata rumah Erlan lengkap banget, sampai banyak banget alat-alatnya."
Manda melanjutkan memasaknya. Ia membuat lebih masakannya. Ia juga akan membuatkan untuk kedua mertuanya dan dua pekerja rumah Erlan. Manda memasukkan semua bumbunya lalu nasi dan kecap.
"Wah Mbak Manda ternyata pintar masak ya? baunya harum banget," ucap Bibi Inem yang tiba-tiba saja masuk ke dalam dapur. Membuat Manda sedikit terkejut.
"Bibi ngagetin aja."
"Maaf Mbak Manda, Saya bantuin apa Mbak?" tanya Bibik Inem kepada Manda.
"Keluarga ini kira-kira punya alergi udang gak ya Bik? Saya mau tambahin udang," tanya Manda. Bik Inem menggelengkan kepalanya. "Kalau gitu Bibi lanjutin goreng ini aja, Saya mau kupas udangnya sebentar," ucap Manda.
"Mbak Manda bisa kupas udang? enggak jijik Mbak?" tanya Bik Inem dengan raut tidak percaya. Selama ini, semua orang yang pernah datang ke rumah ini entah itu keluarga, teman atau tamu tidak pernah Bik Inem melihat seseorang seperti Manda.
"Saya sudah biasa kok Bik, tenang saja."
Manda lalu memberikan spatulanya kepada Bik Inem, setelah itu ia langsung menuju ke kulkas untuk mengambil udang di sana. Manda memisahkan kepala dan ekor udang lalu mencuci bersih. Tidak lupa ia juga memotong udang menjadi kecil agar lebih mudah masuk ke dalam mulut.
"Saya gak nyangka Mbak Manda pintar di dapur," puji Bik Inem kepada Manda.
Manda sedikit tersipu malu, untuk pertama kalinya ia di puji di rumah ini. Walau bukan dari anggota keluarga tapi ia tetap merasa senang. Dari sini, ia bisa menilai bahwa Bik Inem adalah orang yang baik. Benar kata Erlan bahwa mereka adalah orang yang dapat diandalkan, dapat dipercaya. Setidaknya ia bisa meminta bantuan ke siapa jika tidak ada Erlan di sini.
"Terimakasih Bik, kebetulan Saya sudah sering di ajarkan untuk masak oleh Ayah Saya," ucap Manda spontan yang membuat senyumannya surut. Ia jadi teringat Ayahnya. Apa beliau masih marah dengan Manda?
Bik Inem yang melihat itu langsung berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mas Erlan paling suka sama sayur kangkung Mbak Manda, dulu Saya sering masak seharian menunya kangkung terus," kata Bik Inem membuat Manda sedikit tertawa. Manda membayangkan bagaimana bosannya Bik Inem yang memasak menu yang sama. Manda juga tidak menyangka, laki-laki seperti Erlan menyukai sayuran.
Kulitnya memang bagus tapi wajah dan sifatnya terlihat seperti orang yang penyuka daging, kanibal.
"Kenapa pada ketawa?" tanya Erlan yang ternyata sudah menompang kepalanya di kedua tangannya yang berada di atas pagar besi tangga. Manda menghentikan tawanya, digantikan dengan kekagumannya melihat tampilan Erlan.
Laki-laki itu memang selalu terlihat tampan, jelaslah, banyak orang yang mengidolakan seorang Erlan. Hati Manda terenyuh ketika tahu Erlan memakai pakaian yang ia pilih. Merasa sangat disanjung oleh Erlan.
Aish Manda, benar-benar tersipu malu saat ini. Jantungnya bahkan berdetak cepat.
"Mbak Manda? Mbak?"
"Man?"
"Manda Hasilla!"
Manda tersentak, ia secara langsung menolehkan wajahnya ke arah Erlan yang berteriak memanggilnya. "Kalau lagi motong jangan sambil ngalamun, bahaya itu pisaunya!" ingat Erlan sekaligus perintah Erlan.
Manda melihat ke arah kedua tangannya, ia lupa jika sedang memotong udang. Hhh, saking terlalu terpana oleh pikirannya tentang Erlan membuatnya lupa sekeliling.
"Maaf, maaf."
Manda meminta maaf kepada Erlan atas kecerobohannya. Erlan turun menuju Manda, "Biar dilanjutin Bibi, sekarang kita sarapan bareng-bareng."
"Tapi ini dikit lagi kok."
"Itu udah pekerjaan Bibi, sekarang Kamu duduk kita sarapan," ucap Erlan dengan nada perintahnya dan terlihat lebih serius.
Manda menghela nafasnya, ia tidak mau membantah Erlan, ini masih terlalu pagi untuk keributan dan ia juga tidak ingin membuat Erlan marah, ia satu-satunya orang yang sangat Manda percaya di sini.
"Minta tolong ya Bik, maaf jadi repotin," ujar Manda.
"Tenang aja Mbak Manda, ini tugas Saya kok."
Manda menggeser udang lalu mencuci pisau dan tangannya. Manda sedikit membersihkan beberapa alat dan tempat yang ia gunakan, setelah itu ia menyusul Erlan yang sudah terlebih dahulu duduk di kursi meja makan.
Manda melihat jam dinding.
6.15
Ia melihat kamar orang tua Erlan yang berada di lantai atas lalu kamar lantai bawah yang sedang di tempati Bunda Erlan selama perawatan ini. "Bunda sama Papa enggak ikut sarapan?" tanya Manda kepada Erlan ketika ia sudah duduk di kursi.
"Sebentar lagi juga turun, kalau Bunda bakal sarapan nanti jam sembilan. Kita makan dulu aja."
Kata Erlan yang terdengar sedikit ogah menyebutkan nama sang Papa. Manda menghela nafasnya, artinya ia akan bertemu dengan mertuanya itu.
Bik Inem menyajikan makanan di atas meja, tidak lupa susu dan air putih untuk Manda dan juga Erlan.
Ketika meraka berdua tengah asik menikmati makan, Manda sempat terhenti memakan karena suara langkah kaki yang begitu tegas turun dari lantai atas. Tanpa menoleh dan melihat Manda tahu siapa itu. Papa mertuanya.
Tangan kiri Manda yang berada di atas pahanya mulai bergetar. Ini lebih menakutkan dari ulangan mendadak. Ia berasa berpindah ke ruang persidangan dimana ia menjadi terdakwa, tersangka utama di situ.
"Saya mau sarapan di kantor saja. Tidak sudi Saya satu meja dengan Dia."
Manda memejamkan matanya, menahan nafasnya hingga begitu mencekat lehernya, ketika sang mertua berucap. Manda tahu siapa yangdimaksud oleh Papa Erlan. Ia tidak sepolos dan sebodoh itu.
"Siapa juga yang berharap satu meja," kata Erlan sambil menatap Papanya malas.
Papa Erlan menyunggingkan sudut bibirnya, "Lihat? bagaimana Kamu merubah anak Saya menjadi pembangkang?" ujar Papa Erlan membuat genggaman tangan Erlan pada sendok makan semakin mengencang.
Manda meraih salah satu tangan Erlan, bermaksud meminta laki-laki itu tidak lagi melawan Ayahnya sendiri. "Jangan jadi pahlawan kesiangan. Terlalu basi!" sindir Papa Erlan terhadap Manda dan Erlan.
Ia lalu berlalu meninggalkan pasangan muda itu dengan perasaan marah dan kesal.
"Kamu habisin sarapan, udah mau setengah tujuh Lan. Takut terlambat," ujar Manda berusaha membuat Erlan tenang.
Erlan menatap Manda lalu ia membuang nafasnya, tanpa merubah ekspresi seriusnya Erlan memanggil Bik Inem. "Bik, titip Manda ya."
"Apaan sih, kayak anak bayi aja," ujar Manda tidak suka.
Erlan menyunggingkan senyumnya lalu mengacak rambut Manda. "Aku ambil tas dulu, habisin sarapannya jangan lupa susu dan vitaminnya," ucap Erlan dengan ramah, hangat. Bahkan mampu membuat Bik Inem dan Manda terdiam.
Erlan meninggalkan meja makan lalu menuju tangga untuk mengambil barangnya. Manda memegang kepalanya, ia masih tidak percaya dengan apa yang ia alami barusan. Tidak berbeda jauh dengan Bik Inem, yang terkejut dengan sikap sang tuan muda yang berubah drastis, seperti bukan taun mudanya.