"Nah, yang ini tidak mungkin salah lagi. Ayo masuk.." ujar Herman pede. Jelas saja tidak salah lagi karena kali ini pemandu dari pegawai gedung langsung yang memberikan akses ruangan untuk Lily.
Kenapa tidak dari awal saja mereka meminta bantuan.
Herman segera merebahkan punggungnya di sofa, dia melipat kaki dengan santai seakan sedang menikmati rumah sendiri.
"Saya akan meninggalkan kalian kalau begitu." Ujar si pegawai gedung.
"Never mind!" Ujar Herman dengan gayanya yang sombong, dia membuka lipatan kakinya.
Sementara Lily baru saja berhasil menarik koper berat yang kesulitan melintasi karpet tebal yang menyambut di pintu depan tadi. Perjuangan banget Gusti mau jadi istri orang aja.
Herman bangkit dari posisi duduknya. Dia menyapu ruangan dan merasa takjub. Ini sih bukan ruangan sederhana yang pernah ia tinggali saat melarikan diri dengan teman kencannya dulu.
Ada dapur dengan meja bar di tengah ruangan, di depannya lengkap dengan sofa empuk panjang yang tampak mewah dengan karpet berbulu tebal sebagai dasar pijakan.
Herman melongokkan lehernya dan melihat ada satu kamar tidur di sisi kanan, dan satu lagi di sisi kiri dimana pintu itu bertemu dengan lampu berdiri yang berdesain futuristik.
"Tunggu tunggu.. rasanya Vira tidak bicara perihal flat yang mewah seperti ini, kalau seperti ini sih mending aku nginap di sini saja daripada ke hotel lagi." Gerutu Herman heran sendiri.
"Em.. om, jadi dimana kamarku.. aku lihat ada dua kamar di ujung sana." Ujar Lily kelihatan lelah, dia menyeka keringat di dahinya, rambutnya lembap dan pastinya bau keringat. Kenapa dia harus membawa semua hartanya ke sini sementara Herman hanya lenggang kaki santai.
"Eh.. ya.. kau coba saja periksa yang mana yang cocok untukmu, aku harus hubungi seseorang dulu ya.." ujar Herman mulai sibuk dengan ponsel di tangannya, dia tak menoleh dan tak membalas tatapan Lily.
Lily menghela nafas panjang, dia menarik kopernya menelusuri lorong, dia mulai memilih kamar tidur, yang kanan atau yang kiri.
Sementara Herman segera keluar dari ruangan itu dan menghubungi Vira.
"Hallo.. ini Herman, iya.. kami sudah sampaikan, flatnya sih oke ya bo.." ujar Herman dengan gayanya yang berlebihan. Dia merasa tenggorokannya terasa asam, pria itu menelusuri lorong dan mencari area merokok, sejak tadi dia tak menghisap tembakau membuat moodnya memburuk.
"Ah ya.. aku akan menginap di hotel, Hem.. tapi itu flat emang yang itu ya.. bagus, aku rasa untuk dia sih itu tergolong bagus lah, mevvah.." belum.juga dia mendapatkan jawaban dari Vira, sudah ada panggilan masuk lagi di ponselnya dari nomor lain.
Ya ampun sibuk banget ya hidupku.
"Bentar ya vir, om lagi ada proyek nih. Nanti om hubungi lagi ya.." ujar Herman dengan gaya khasnya.
Sibuk lah Herman dengan saluran ponsel di depan wajahnya.
****
Lily menarik handel pintu pertama yang memiliki gambar super Hero pada gantungan depannya. Dia pikir lucu sekali pintu ini ada gantungan superhero marvel. Siapa gerangan yang menaruhnya.
Tapi saat ia memutar hadle pintu ternyata pintu itu terkunci, Lily mencoba menarik sekali lagi dan hasilnya pun sama, sepertinya pintu itu dikunci entah dari dalam atau..
"Apa om itu akan tinggal di sini dan menghuni kamar ini?" tanya lily bingung pada dirinya sendiri. Dia tampak manyun.
"Seharusnya kalau dia mau pakai kamar ini kan dia bilang, pakai saja kamar yang di sisi kiri!" Gusar Lily kesal. Dia memutar arah kopernya dengan langkah lamban, dia mengambil arah berlawanan, berjarak sekitar empat meter antar pintu kamar itu, dia harus menyebrang untuk pintu yang satu lagi.
Saat dia memutar handle pintu tidak se sulit yang pertama tadi, kali ini dia langsung membuka pintu dan mendapati satu ranjang single.yang cantik dengan warna cream yang tampak alami.
"Uwaaahh.. ini adalah kamar terbaik dalam hidupku!" Kagumnya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Sepuluh kali lebih baik daripada lorengnya, dan dua puluh lebih baik dari kamar sewanya yang kosong melompong.
Lily dengan tenaga ekstra menarik koper, dia segera memasuki ruangan yang akan menjadi kamar tidurnya. Ini luar biasa.
Berada di ruangan ini membuat dua bola mata Lily berbinar binar, benarkan dia akan tinggal di sini, ini sih terlalu luar biasa untuknya.
Dia tahu kalau ruangan flat ini berbeda daripada yang tadi di lantai bawah, dia bisa melihat bagaimana lantai kayu yang adem di bawah kakinya, ini parket asli, di depan tadi ada dapur dengan peralatan modern lengkap dengan meja bartender dan showcase besar di sebelah kulkas empat pintu.
Tapi dia tak menyangka kalau kamarnya juga akan sehebat penampakan di depan sana.
Lily menyentuh permukaan kasur yang terasa begitu lembut, dia mengelus ngelus permukaan selimut, ya ampun ini lembut sekali.
Gadis itu mengulurkan tangan dan menekan tombol pendingin ruangan, ya ampun, dia tak perlu pasang AC dan ruangan ini sudah terasa begitu nyaman dan sejuk, tapi di tambah AC membuatnya ingin segera merebahkan diri di kasur.
Lily berlari pada pojok lain, ada lemari besar dengan pintu geser berukuran memenuhi dinding, Lily mendorong pintu lemari itu, dan dia bisa masuk bahkan berbaring di dalam sana. Benar benar besar, kalau punya pakaian sepenuh lemari ini mungkin dia sudah bisa buka toko, Lily menoleh pada kopernya, ya ampun, bahkan dua puluh koper masih muat untuk mengisi lemari ini.
Berhenti mengagumi lemari Lily, dia berlari pada tirai berwarna cream senada dengan furnitur ruangan, gadis itu menarik tirai dan cahaya terang dari luar sana menyilaukan matanya, ya ampun, dia bisa melihat pemandangan modern kota new York dari sini. Benar benar impian. Benar benar mimpi bagi Lily. Sayang mimpinya ini akan berakhir pada pernikahan pada suatu hari nanti. Gadis itu menghela nafas berat mengingat hal itu.
Dia kembali menarik hordeng dan mencari lihat yang lainnya. Rasanya tak ada yang cukup perihal ruangan ini untuk tidak membuat lidahnya berdecak kagum.
Gadis itu melangkahkan kaki menuju sebuah pintu, dia membuka perlahan dan hati hati.
Saat tangannya mendorong pintu itu lampu terang menyambut dirinya. Ya ampun.. benar benar kamar mandi mewah. Dia bahkan tak melihat kamar mandi orang tua nya seperti ini.
Ukurannya tidak besar, tapi tampilannya mewah.
Semua benda stainless yang berkilau, wastafel, bingkai cermin, bathup, semua berwarna cream dan mengkilap. Lily menarik tombol kran air di wastafel, ada tombol panas dan dingin di sana, ya ampun, ya ampun! Dia tak berhenti mengagumi semua ini.
Semuanya masih tampak kosong, sepertinya kamar ini memang belum ada penghuninya, atau memang sudah dipersiapkan untuk dirinya? Lily kembali berlari ke ruang tidurnya. Dua mengangkat koper pada kasur dan mulai membongkar apa yang telah ia bawa dan ia perjuangkan selama tadi di perjalanan.
Sreeett!!
Dia menarik resleting dengan demangat, hingga kopernya terbuka dan semua isi dari koper itu tampak semua.
Lily berpikir dan menoleh pada lemari yang terbuka itu, buffet kecil di depan sana. Kamar mandi tadi, dan meja belajar tak jauh dari posisi tempat tidurnya.
Dia tak memiliki barang sebanyak itukan? Pasti pakaiannya yang hanya beberapa lembar ini tidak akan bisa memenuhi bahkan 50 persen dari lemari. Lalu..
Lily mengambil sabun cair isi ulang, sikat higi, odol dan beberapa perawatan kulit yang tak seberapa itu.
Dia menatap beberapa lama lalu tertawa sendiri.
"Baru hari ini aku jadi tak bersyukur," lirihnya menertawakan diri sendiri, dia merasa lucu saja dengan semua barang yang ia punya, tapi tak satupun yang pantas berada di kamar mewah flat ini.
"Sepertinya aku harus cari pekerjaan di sini biar bisa punya pakaian yang pantas, dan mengisi rak kosmetik di wastafel.." ujarnya menarik turun koper, mendorong koper itu ke dalam lemari, dia melepaskan sepatunya, dan mengganti alas kaki dengan sandal plastik miliknya.
Suara alarm pintu terbuka membuat Lily tak peduli. Dia pikir pastilah om Herman yang kembali masuk ke flat.
****
Herman baru saja membuang setengah puntung rokok yang sudah sedikit membuatnya lega. Dia mendapati panggilan masuk dari Vira yang sudah ia tolak sebanyak tiga kali karena dia harus bernostalgia dengan teman temannya di kota ini, mereka memiliki rencana untuk ke pesta malam nanti. Kapan lagi kan. Di depan keluarga herman sudah tobat, tapi di belakang siapa yang tahu kan!
"Ehem.. ya Vir, ada apa.. nih om baru aja mau bikin makanan untuk Lily.." ujarnya berbohong.
"Om.. udah cek semua kan? Jangan sampai keliru om. Oh ya om, aku sudah sudah kirimkan tiket pesawat om ya, jadi nanti malam om langsung balik ya, soalnya Vino mau om urus proyek baru katanya."
What! Wajah Herman tiba tiba berubah kaku. Nanti malam? Dia baru aja mau bersenang senang loh, Vino kok keterlaluan sih.
"Vira sayang, tolong bujuk dulu lah suami mu itu, om kan harus kasih tahu Lily bagaimana hidup di sini, orang orang di sini, beradaptasi di sini, om bahkan baru mau kasih tahu cara belanja di swalayan di sini, kasihan dong anak orang sayang.. bagaimana kalau dia tiba tiba tersesat, dia tiba tiba mati kutu, nanti dia koleps bagaimana?" Pintar pintar Herman saja cari alasan agar dia bisa lebih lama di sini.
"Aku coba bicara dengan Vino ya. Oh ya om, kirimkan biaya sewa flatnya ya.." ujar Vira sebelum menutup panggilan online mereka.
"Untuk apa say, Udah di bayar semuanya.." balas om Herman.
"Oh, om usah bayar semuanya?" Herman menautkan alis tidak paham. Loh bukannya sudah di bayar atas nama Vino Wihelmina ya.
"Eh tunggu, tunggu, tunggu dulu.." ujar Herman gagap sendiri.
"Kenapa om, nanti aku ganti uangnya ya.." Herman menepuk jidatnya menyadari ada kekeliruan di sini.
"Sewa flat atas nama Elfira kan ya.." lirih Herman mempercepat langkah, dua segera mencari nomor kamar tadi, sayang sekali dia lupa berapa nomor kamar itu.
"Duh mampus gue, bisa di sambel sama vino Vira!" Gusarnya panik sendiri.