Apa apaan yang aku alami hari ini!
Lily sungguh tak percaya dengan bullying yang dia terima hari ini, sangat tidak masuk akal, gadis itu melangkah gontai dengan wajah murung, dia membuka pintu rumah dan merebahkan tubuhnya dengan malas di sofa.
"Aku!" Herman merasa ada yang memberatkan kakinya.
"Ups.. maaf!" Lily segera bangun dan minta maaf, dia tidak sadar kalau dia sudah menduduki kaki Herman, kontan saja membuat Herman bangun dengan muka bantal dan bau alkohol, membuat Lily menjepit hidungnya.
"Kau dari mana, kenapa wajah mu dilipat seperti itu?" Tanya Herman melirik malas.
"Dari kampus, dan orang orang mengejek pakaianku.."
Herman meneliti pakaian Lily. Dia merasa mual, pria itu bangkit dari sofa dan melangkah cepat ke kamar mandi.
Lily merasa terhina dengan wajah mual Herman tadi, apa penampilannya seburuk itu? Sampai sampai Herman saja mual dengan penampilan nya?
Lily melepaskan coat dari punggungnya, dia mencium wangi yang familiar, dimana ia pernah mencium wangi parfum ini? Lily menautkan alisnya, tapi sepertinya dia tak bisa mengingat, hanya saja wangi ini terasa familiar baginya.
Herman menatap Lily dengan sorot mata sinis. Dia memperhatikan penampilan Lily dengan seksama.
"Loh, darimana kau dapat Coat itu? Sepertinya itu.. coba aku lihat!" Pinta Herman menunjuk Coat yang baru dilepaskan oleh Lily.
Pria itu meneliti outer tak asing itu, dia merasa mengenal pakaian ini.
"Tadi sepertinya aku lihat, dimana ya?" Herman mengingat ingat. Lupakan dulu deh. Pria itu kembali menatap penampilan Lily. Dia memperhatikan fashion item yang wanita ini kenakan, sangat tidak elegan dan manusiawi. Bagaimana mungkin dia begini ke kampus?
"Ada apa?" Tanya Lily merasa jengah dengan sorot mata Herman padanya, dia merasa seperti ditelanjangi saat ini, tatapan Herman seperti mengandung makna lain.
"Kau.." ujar Herman sambil menunjuk pada pakaiannya, "kau mengenakan pakaian seperti ini ke kampus?"
Lily tak perlu menunggu waktu dan berpikir lagi, dia mengangguk kecil, iya! Inilah penampilannya.
"Yang benar saja dong Lily! Harga diri wali mu ini di taruh dimana, bisa bisanya kau ke kampus dengan pakaian seperti ini, kaos tipis dengan celana katun, ya ampun! Bahkan asisten rumah tangga memiliki pakaian lebih baik dari dirimu.." Lily bengong, apa yang salah? Ini adalah pakaian terbaik yang dia punya loh, jangan bandingkan dengan asisten rumah tangga, karena dia juga sama, ya.. statusnya kurang lebih sama saja kan di rumah keluarga Lu.
Herman melirik jam tangan, "ya.. aku masih ada sedikit waktu, kalau begitu coba tunjukkan koleksi pakaianmu? Biar aku bantu sebentar!" Ujar Herman dengan wajah tak sabar.
"Ko, koleksi pakaian?" Tanya Lily bingung. Koleksi pakaian itu seperti apa ga, dia tahunya koleksi part time. Pengalamannya banyak, dari kerja kasar sampai halus. Tapi kalau koleksi pakaian, sebentar dulu deh.
"Buruan, tunjukkan padaku! Kau ini, biar aku yang cari tahu sendiri kalau kau masih bingung!" Gerutu Herman meninggalkan Lily yang akhirnya menyusul dan mengikuti langkahnya, mereka berdua masuk ke kamar Lily.
Herman menarik pintu sliding lemari. Dan. Zonk!
Tak ada pakaian yang menggantung di lemari ini, hanya lipatan tipis beberapa pakaian warna warni tak jelas yang menyakitkan mata Herman.
Semangat menggebu gebu pria itu perlahan sirna, seperti balon yang terkena jarum. Apa yang salah dengan lemari, mata atau? Dia jadi heran sendiri. Herman memutar haluan dan menatap wajah polos Lily. Pria itu mengangkat kedua tangannya.
"Ma.. mana pakaianmu?" Tanya nya tergagap, dia mengedarkan pandangan dan berharap ada banyak pakaian yang mungkin berada di tempat lain selain lemari kosong ini.
"Itu.. itu pakaianku.." ujar Lily menunjuk isi lemari yang tebal lipatannya tak sampai tiga puluh Senti.
Herman melihat isi lemari ini yang sembilan puluh persen berisi ruang hampa, alias kosong saja tuh. Jadi mana pakaian yang dibicarakan Lily.
"Itu adalah pakaian yang aku punya.."
Herman tertawa geli, dia menatap wajah polos Lily tak percaya. "Hahaha...Kau bercanda kan?"
"Aku.. serius.."
"What!"
Bahkan koleksi baju ganti kucing peliharaan Herman jauh lebih banyak dan bervariasi daripada pakaian Lily.
"Ya Tuhan, apa yang salah dengan hidupmu, kau tinggal di rumah mewah, keluargamu adalah satu dari sekian orang kaya baru, meski usaha kalian sedang pailit tapi setidaknya kau memiliki satu dua lembar fashion item yang membanggakan, kenapa kau malah membawa kain lap, aku pikir koper besarmu kemarin berisi pakaian mahal dan branded yang akan kau selamatkan dari pelelangan dan penyitaan, ya ampun!" Oceh Herma panjang lebar.
"Segera pakai pakaian terbaikmu, ayo ikut aku! Aku juga butuh pakaian ganti!" Ajak Herman mengacungkan tangannya dengan ponsel genggam di telapak tangan.
"Ma, mau kemana om? Dan ini adalah pakaian terbaikku, aku tak ada baju lain yang lebih bagus daripada blus tiga puluhan ribu ini.." lirih Lily dengan kesombongannya, meski blus ini murah, dia membeli dengan uang hasil keringatnya sendiri.
"Ya ya.. terserah saja deh! Ya sudah, ayo kita pergi.." ujar Herman malas berdebat. Dia juga malas melihat penampilan Lily yang gak banget itu.
"Ayo cepat!" Pinta Herman tak sabar menunggu Lily menyusul langkah cepatnya.
"Setidaknya ada hal baik yang akan aku tinggalkan di sini!" Gumam Herman dengan senyuman getir di bibirnya.
Mereka berdua menuju ke sebuah gedung pusat perbelanjaan, di sana.. Herman meminta Lily mencoba banyak pakaian, dia dengan sabar memilah pakaian yang mana yang pas untuk Lily, Herman seorang pecinta dan pencermat fashion, dia tampak begitu profesional dan serius saat Lily keluar dari ruang ganti dengan aneka pakaian yang memberi kesan berbeda pada gadis polos itu.
Pakaian pertama terlihat casual dan biasa saja, Herman menerima pilihan itu, dia pikir akan nyaman untuk di rumah. Dia meminta Lily memilih tiga kaos casual lainnya.
Selanjutnya, Herman yang memilihkan, pakaian dengan rajut bermotif yang ngepas di badan, bahkan kalau Lily mengangkat tangannya mungkin perutnya akan tampak, tapi Herman menyukai pakaian pas body itu, dia meminta Lily memadukan dengan pantalon bahan katun berwarna hitam dengan model pipa dan high heel.
Saat Lily mengenakan pilihan Herman, pria itu tampak kagum dan bertepuk tangan sendiri, dia menyukai penampilan Lily yang tampil elegan dan sedikit berani, kaos rajut sepinggang dengan lengan pendek, celana hitam besar membuat kesan tinggi dan langsing pada tubuh Lily tampak Wow menyegarkan mata.
Herman menunjuk pakaian lainnya yang sudah ia pilihkan, Lily menurut saja, gadis itu kembali masuk ke ruang ganti.
"Ya.. ternyata gadis itu tidak buruk juga. Mata Aoran tidak salah.." gumamnya menyembunyikan senyuman.
Setelah selesai berbelanja, Herman mengajak Lily makan bersama, anggaplah ini traktiran terakhir sebelum Herman meninggalkan Lily di sini, pria itu tidak mengatakan apa apa pada Lily, dia pikir Lily sudah mengerti akan tugas nya.
Tapi sepertinya tidak..
Setiba di rumah, Lily dengan seabreg tas belanjaan tampak sibuk membenahi semuanya di kamar, sementara Herman terlibat obrolan serius di ponsel.
Ada berapa banyak tas belanja yang Lily bawa tadi, sampai sampai dia merasa otot ototnya pegal dan kram.. dia memukul mukul ototnya yang kram dan pegal, meregangkan diri sesaat sebelum kembali menyusun hasil belanjaan nya bersama Herman.
"Berapa banyak uang yang dia keluarkan untuk semua pakaian mahal ini? Dia bahkan membelikan tas berikut sepatu, pasti dia memiliki uang yang tak akan habis tujuh turunan.." ujar Lily antara kagum atau iri, semua tak tampak jelas di air wajahnya, yang jelas dia merasa lelah sudah berkeliling berapa banyak toko dan membawa barang belanjaan sendirian, Herman mana mau membuang tenaganya untuk membantu Lily.
"Duh kebayang kalau aku harus nikah dengannya, pasti dia tidak akan mau membantu pekerjaan rumah, belum lagi kalau punya anak, aku harus gendong, beresin rumah, melayani dia.. hiks.." membayangkan semua itu membuat wajah Lily murung. Tunggu!
"Apa apaan sih! Memikirkan menikah saja membuatku mau bunuh diri apalagi sampai punya anak!" Lirihnya menyesal dengan imajinasi tak masuk akal di kepalanya itu.
"Tapi dia baik juga sih, sudah membelanjakan aku dengan cuma cuma, dia juga sungguh sungguh memberikan beasiswa.. setidaknya dia baik.. aku seharunya berterima kasih dengannya kan?" Lily bicara pada diri sendiri. Dia merasa ragu dan bimbang.
Haruskah dia keluar dan mengucapkan terima kasih? Atau membereskan semua pakaian ini dulu?
"Sepertinya aku mandi dulu deh! Aku lelah dan berkeringat, mandi dengan air hangat sepertinya akan menyegarkan.." Lily mengambil handuk baru yang dibelikan Herman, dia melangkah ringan menuju kamar mandi sambil bersenandung merdu.
"Lily!!" Teriak Herman dari arah depan, tapi gadis itu sepertinya tak mendengar teriakan Herman.
"Lily…" serunya sekali lagi, tak ada sahutan, dia mematikan panggilan di ponselnya. "Kemana anak itu? Dia tak jawab panggilanku.." Herman melangkah menuju kamar Lily, dia mengetok pintu dengan perlahan.
Tok.. tok.. tok..
Tak ada sahutan dari dalam kamar.
Herman melirik jam tangannya, sepertinya dia tak punya banyak waktu lagi. Pria itu meninggalkan kamar Lily begitu saja.
"Baiklah, aku akan meninggalkan kalian berdua di bawah atap yang sama, aku harap kau dan Aoran bisa hidup tenang berdampingan, jangan sampai ada masalah!" Ujarnya mencoba meyakinkan diri sendiri sebelum menarik handle pintu, dan meninggalkan Lily dalam kesendirian yang asik bernyanyi di kamar mandi.