Chereads / Milly's First Love / Chapter 48 - 48. Pulang Ke Batam

Chapter 48 - 48. Pulang Ke Batam

"Membuat Milly tergila-gila padanya. Apa lagi?" Helen mengedikkan bahu.

"Kamu benar, Helen." Milly bangkit berdiri, lalu menyelesaikan cuciannya. Ika mendesah kecewa.

Kedua sahabatnya turut membereskan semua barang-barangnya dengan wajah yang patah semangat. Ika berjalan gontai mengambil pakaian-pakaiannya dari lemari.

Tadinya mereka semua berencana untuk berlibur selama empat hari. Tapi semuanya kacau. Helen mengatur ulang jadwal penerbangan dari ponselnya. Milly merasa sangat bersalah.

"Helen, kalian tidak perlu mengikutiku. Kalian seharusnya masih berlibur di sini. Aku bisa pulang sendiri."

Helen meletakkan ponselnya di meja. "Mil, aku ingin memberitahumu. Sebenarnya aku iri padamu. Kamu tiba-tiba mengenalkanku pada Nicholas. Kalian tampak sangat cocok. Tidak sepertiku dan Efran."

Ada nada getir dalam kalimat Helen.

"Tapi kemudian kamu mengalami patah hati seperti ini," lanjut Helen. "Aku tidak mungkin menjadi sahabat yang tidak tahu diri, membiarkanmu pulang sendiri, sementara aku bersenang-senang di sini. Aku masih punya hati. Kita semua sudah seperti saudara. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian."

Milly terisak, susah payah ia menahan tangisnya pecah kembali.

"Stop! Jangan menangis lagi!" bentak Helen. "Tarik napas dalam-dalam. Keluarkan pelan-pelan. Nah benar begitu."

"Terima kasih, Helen." Milly memeluk pundaknya yang tebal. Helen menepuk punggungnya.

Akhirnya liburan telah usai. Mereka melakukan perjalanan dengan bus menuju ke Jakarta, lalu naik pesawat pada tengah malam.

Marshal dan ayahnya menjemputnya di bandara. Marshal sempat tersenyum manis pada Ika, melambai dengan sikap genit. Menyebalkan.

"Kalian tidak akan ikut bersama kami?" tanya Marshal yang sebenarnya hanya pada Ika.

"Tidak, terima kasih," jawab Ika sambil menguap lebar-lebar. "Wage akan menjemput. Sebentar lagi dia pasti datang." Ika mengecek ponselnya, tidak memperhatikan Marshal yang menunggu jawaban lebih.

"Kami akan menunggu sampai tunanganmu itu datang ya, Ika," kata ayahnya.

"Eh, tidak usah, Uncle Jones. Wage sedang parkir. Sebentar lagi dia tiba di sini," papar Ika.

"Oh, baiklah. Kalau begitu kami pulang dulu ya. Tidak apa-apa kalian menunggu di sini?"

"Tidak usah khawatir, Uncle Jones. Kami akan baik-baik saja."

Setelah berpamitan dengan Helen dan Ika, kemudian Milly, ayahnya, dan Marshal menuju ke parkiran. Marshal membantu memasukkan koper ke dalam bagasi. Milly memilih untuk duduk di baris kedua. Marshal yang menyetir, ayahnya duduk di sebelahnya.

Ayahnya menoleh ke belakang, menatap Milly curiga.

"What's going on?" tanyanya dengan tatapan tajam yang menusuk.

Ayahnya memang pria yang terlalu peka. Ia tidak suka harus mengaku pada ayahnya bahwa ia sedang patah hati karena seorang pria.

"Tidak ada apa-apa," jawab Milly bohong.

"Matamu bengkak," tuduh ayahnya.

"Ah, Dad, paling juga Milly habis bertengkar dengan pacarnya itu." Marshal terkekeh.

"Just shut up!" Milly menatap galak kakaknya di spion atas.

"Pacar? Who is that?"

Milly membuang muka ke jendela. Jalanan begitu kosong. Hanya ada lampu-lampu jalanan yang menerangi gelapnya malam. Ia menahan diri untuk tidak menangis.

Seharusnya ayahnya tidak perlu ikut menjemputnya. Jika hanya berdua dengan Marshal, ia mungkin akan dengan sukarela menangis, merengek-rengek seperti anak kecil. Tapi ia tidak mungkin seperti itu di hadapan ayahnya.

"Apa pria itu telah menidurimu?"

"Dad!" Milly menatap ayahnya tak percaya, mulutnya sedikit terbuka.

Sungguh ide yang buruk berada semobil dengan ayahnya. Milly memang tidur bersama Nick, tapi tidak dengan konotasi negatif seperti yang ayahnya ucapkan.

"Apa dia memakai pengaman?"

"Pengaman apa? Aku sepenuhnya aman!" geram Milly.

"Kamu sudah dewasa. Memang sudah seharusnya kamu menikah." Ayahnya menunjuknya seperti yang sedang berkata: Bingo!

"Apa sih? Marshal juga tidak menikah, tidak masalah!"

"Hei, kenapa aku dibawa-bawa?" protes Marshal.

"Pria dan wanita itu berbeda," ayahnya menjelaskan. "Marshal tidak masalah tidak menikah. Suatu hari nanti juga dia akan merasa kesepian dan baru mengerti apa gunanya memiliki seorang istri. Sedangkan kamu, usia produktifmu untuk memiliki anak hanya tinggal beberapa tahun lagi."

"Cukup, Dad!" bentak Milly.

"Dengar, aku dan Mom sangat berpengalaman soal hal itu."

"Aku sangat percaya kalau Dad sangat berpengalaman, tapi bisakah Dad tidak membahasnya? Aku masih sangat muda dan produktif. Dad tidak perlu mencemaskan apa pun. Oke?"

"Oke. Aku mengerti. Jadi apa kamu baik-baik saja dengan pacarmu itu? Kalau tidak, aku akan melakukan perhitungan dengannya."

Milly memutar bola mata sambil menutup kedua telinganya dengan tangan.

"Baiklah. Sepertinya kamu tidak ingin bercerita." Ayahnya masih memperhatikannya dengan sorot waswas.

"Sudahlah, Dad," kata Marshal. "Biarkan dia istirahat. Dia pasti lelah sekali."

"Ya sudah. Apa kamu mau tidur di Baloi Mas?"

"Tidak," jawab Milly. "Aku tidur di rumahku saja."

Ayahnya mengangguk sekali, lalu membalikkan badannya. Ia tidak ingin membuat ayah dan ibunya sedih mendengarnya merajuk semalaman. Ia lebih memilih meratap sendiri di kamarnya, di rumahnya sendiri.

Setelah tiba di rumah, Milly mengempaskan tubuhnya di kasur. Ia membenamkan wajahnya di bantal sambil menjerit frustasi. Air mata kembali meleleh. Kali ini ia tidak lagi berusaha menahannya.

Ia kembali ke Batam begitu saja tanpa berpamitan dengan Nick. Ia berlari secepatnya begitu tiba di Poseidon, meninggalkan Nick yang hanya bisa memanggil namanya tanpa benar-benar mengejarnya.

Seharusnya ia menuntut penjelasan pada Nick. Ia berhak mengetahui kebenarannya. Akan tetapi, mengapa ia begitu sulit untuk mengungkapkan segala pikiran dan perasaannya?

Lalu apa selanjutnya? Haruskah ia melanjutkan hubungannya dengan Nick? Bagaimanapun juga Nick tidak pernah menyatakan cinta padanya. Pria berengsek itu lebih mudah mengungkapkan cintanya pada kakak tirinya yang sudah menikah.

'Perasaan sayang akan tetap tinggal untuk selamanya'

Milly menendang-nendang tak karuan ke segala arah. Tidakkah Nick tahu bahwa perasaan cinta yang ada di dalam hatinya juga tidak pernah hilang darinya? Bahkan perasaan cinta itu berbarengan dengan perasaan sakit hati.

Ia tidak ingin merasakan penderitaan itu lagi. Ia telah bersumpah bahwa ia tidak akan pernah mencintai siapa pun lagi, tapi dengan bodohnya ia mengingkari sumpahnya sendiri.

Hanya dengan rayuan sebuah nyanyian dan permainan piano, serta ciuman yang selalu ia dambakan sejak dahulu, Milly dengan mudahnya jatuh dalam pelukan pria itu.

Dasar bodoh! Tidak ada gunanya meraih juara kelas, jika menata hatinya saja ia tidak bisa. Ia adalah wanita terbodoh di seluruh planet. Bodoh karena ia jatuh cinta dan tergila-gila pada pria yang salah.

Ia tidak pernah jadi lebih baik dari Celia ataupun Rissa. Ia bukan tandingan mereka. Sejak dulu, Nick lebih memilih wanita-wanita itu daripada dirinya.

Besok ia akan ke dokter untuk menanyakan obat untuk menghentikan aliran air mata. Matanya jelas-jelas bermasalah. Mengapa air mata ini tidak juga mau berhenti mengalir?

Milly berdiri, lalu berjalan menuju ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin. Kausnya jadi basah terkena air. Sebaiknya ia mandi saja. Ia harus membuat dirinya serelaks mungkin agar ia bisa berhenti menangis.