Milly melepaskan seluruh pakaiannya, melemparnya ke keranjang. Lalu ia membuka keran, berdiri di bawahnya, memejamkan mata, membiarkan air hangat itu melemaskan otot-ototnya yang tegang.
Tiba-tiba ia teringat akan bayangan Nick yang mendorongnya ke tembok kamar mandi hotel, lalu menciumnya, begitu dalam dan mesra. Milly menjerit.
Ia menggosok-gosok wajahnya dengan kasar, lalu mematikan kerannya. Rasanya dadanya sesak sekali mengingat akan hal itu. Untuk pertama kalinya sang naga tidak menunjukkan reaksi apapun.
Milly mengelap tubuhnya dengan handuk, lalu memakai pakaian bersih dari lemari. Sudah menjadi kebiasaan, ia tidak pernah membawa pakaian bersih ke kamar mandi. Ia lebih suka memakai pakaiannya di dalam kamar, sambil mengaca.
Wajahnya begitu lusuh, tidak ada tanda-tanda kesegaran, matanya merah sekali, kelopak matanya bengkak, hidungnya kemerahan. Ia sungguh terlihat sama sekali tidak cantik dan menarik.
Tidak ada yang menyukainya, apalagi benar-benar mencintainya. Itu semua hanyalah sebuah harapan. Bukankah berharap itu baik? Mungkin itu baik, tapi tidak pada pria yang lebih memilih untuk mencintai kakak tirinya sendiri.
Milly melirik jam, sudah pukul setengah empat pagi. Sebentar lagi matahari akan terbit. Untuk apa ia tidur? Meskipun sebenarnya tubuhnya lelah, tapi pikirannya tidak benar-benar bisa beristirahat.
Kabar baiknya, air matanya sudah berhenti mengalir. Mungkin ia tidak perlu ke dokter mata.
Milly merebahkan tubuhnya, menutupinya dengan selimut. Rasanya nyaman. Perlahan matanya terpejam dan iapun tertidur pulas.
Keesokan harinya ia terbangun pada pukul sepuluh. Milly terkejut. Cepat-cepat ia mandi. Tidak ada makanan di kulkas. Sudah lama ia tidak berbelanja ke supermarket. Perutnya lapar sekali.
Seandainya saja ada seseorang yang menyiapkan makanan untuknya. Milly kembali merasa sedih karena ia teringat bahwa Nick adalah seorang koki yang pernah menyiapkan makan malam untuknya.
Masih ada susu kedelai. Milly menenggaknya langsung dari karton. Lalu bersiap untuk pergi ke supermarket. Sebenarnya susu kedelai itu tidak mengganjal sama sekali. Lagi pula sekarang sudah masuk jam makan siang.
Milly membelokkan setirnya menuju ke The Jounx. Cafe itu menyediakan pasta yang sangat enak. Sebelum ke supermarket, tidak ada salahnya makan di cafe.
Milly kembali dirundung kesedihan. Makan siang sendirian di saat sedang bersedih hati itu sangaaattt menyedihkan. Duduk sendirian. Minuman hanya satu saja. Makanan hanya satu saja.
Tiba-tiba piringnya jadi dua. Milly mendongak.
"Martin? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Milly sambil terperangah menatap Martin.
"Hai Milly. Kamu lupa ya. Aku kan bekerja di sini."
Milly menyeringai. Otot-otot wajahnya tertarik. Matanya masih perih saat berkedip.
"Kenapa dengan matamu?" tanya Martin sambil duduk di kursi seberang Milly.
"Bukan urusanmu." Milly menyendok pastanya.
Martin tertawa sekilas. "Kamu galak sekali kalau sedang marah. Omong-omong ada apa mencariku ke sini? Kamu ingin meminta maaf karena telah mengabaikanku?"
Milly mengangkat sebelah alisnya. "Apa maksudmu?"
"Sejak kemarin-kemarin ini kamu tidak pernah mengangkat telepon dariku, apalagi membalas pesanku. Apa kamu marah padaku?"
"Aku tidak marah padamu."
"Syukurlah kalau begitu." Martin tersenyum. "Kamu tahu, aku senang sekali karena kamu mau mencariku ke sini."
"Aku tidak mencarimu. Apa aku tidak boleh makan siang di sini?" Milly meletakkan garpunya dengan suara nyaring.
"Eh, jangan marah lagi. Aku hanya bercanda." Martin mengangkat tangannya tanda menyerah. "Kamu sangat boleh sekali makan di sini. Makan siangnya biar aku yang traktir."
"Tidak perlu. Aku bisa bayar sendiri," tolak Milly tegas.
"Ayolah. Jangan judes begitu," rayu Martin.
"Ya sudah kalau kamu memaksa. Aku mau tambah lagi satu porsi!"
Martin tersenyum lebar. "Oke kalau begitu. Kamu boleh pesan lagi apa saja sepuasnya. Sini biar aku pilihkan ya. Chicken Parmegiana di sini memang juara. Belum lagi Smoked Beef Baked Potato-nya. Uh. Kamu pasti ketagihan. Kejunya meleleh. Kentangnya gurih sekali."
"Setuju! Pesan itu semua!"
Martin memanggil pelayan lalu memesan makanan yang tadi ia sebutkan. Setelah makanannya datang, ternyata Martin benar, kentangnya enak sekali. Daging ayamnya juga empuk, sausnya begitu gurih dan khas.
Milly benar-benar kelaparan. Menangis seharian kemarin membuatnya kehabisan banyak kalori. Anehnya, Martin telah berhasil mengembalikan selera makannya yang ia pikir nyaris hilang selamanya.
"Milly, setelah dari sini, kamu mau ke mana?" tanya Martin sambil mengunyah.
"Supermarket. Makanan di rumahku sudah habis."
Martin mengerutkan dahinya. "Kok bisa pas ya? Aku juga mau ke supermarket. Tadi ibuku menelepon. Dia memintaku untuk membelikan ... Uhm ..." Martin seperti yang sedang berpikir.
"Apa?"
Martin mendekat, lalu berbisik. "Pembalut wanita."
Milly menahan tawa. "Ibumu memintamu membelikan pemba—"
Martin mendesis. "Jangan keras-keras. Aku malu. Hei, untung ada kamu. Nanti aku titip ya pembalutnya di keranjang belanjamu."
"Tunggu dulu," potong Milly. "Siapa bilang aku mau ke supermarket denganmu?"
"Ayolah tolong aku sekali ini saja. Kamu kan sudah aku traktir makan."
Milly memutar bola matanya. "Ya sudah."
Martin tersenyum puas. "Yes!"
Selesai makan, Milly dan Martin bersama-sama ke supermarket. Milly membeli segala macam, antara lain: buah, daging, ikan, telur, keju, pasta, minyak goreng. Semuanya ia borong, kecuali sayuran, karena nanti Marshal pasti akan mengirimkan hasil kebun ke rumahnya.
Lalu mereka berhenti di konter susu kedelai. Milly mengambil satu karton susu kedelai dan mengamatinya. Pikirannya berkelana ke suatu tempat. Ia kembali teringat pada Nick. Pria itu tahu bahwa Milly suka minum susu kedelai.
"Kenapa, Mil?"
Milly menoleh. Martin sedang menatapnya bingung. "Aku tidak apa-apa."
"Susu kedelainya jadi dibeli atau tidak? Kamu menatapnya lama sekali. Apa kamu sedang melihat nilai gizinya?"
"Apa? Emm ... iya."
"Dibalik dong." Martin memutar karton susu kedelai ke bagian belakangnya yang tercantum nilai gizinya.
"Sudahlah. Aku memang akan membelinya. Tidak usah dilihat lagi." Milly memasukkan susu kedelai itu ke dalam roda belanjaan. "Omong-omong aku juga harus membeli pembalut."
Mereka berjalan menuju lorong pembalut. Milly mengambil dua bungkus untuk dirinya sendiri.
"Ibumu biasa pakai yang mana?" tanya Milly pada Martin.
"Aku ... tidak tahu." Martin menggaruk kepalanya.
"Coba telepon ibumu. Tanyakan saja merknya apa."
"Ah ambil yang mana saja." Martin asal-asalan mengambil pantyliner.
"Eh," cegah Milly. "Biasanya wanita itu lebih nyaman memakai merk yang sering dipakainya. Tidak bisa asal. Lagi pula kamu salah ambil. Itu bukan pembalut biasa. Pantyliner dipakai kalau haid-nya sudah tinggal sedikit."
"Aku tidak mengerti," aku Martin.
"Makanya. Aku menyuruhmu untuk menelepon. Oh, ya kalau boleh tahu ibumu usianya berapa?"
"Entahlah." Martin mengedikkan bahunya dengan cuek. "Mungkin enam puluh lebih. Aku tidak tahu pasti. Memangnya kenapa?"
"Kamu yakin ibumu memintamu untuk membelikan pembalut? Atau mungkin ibumu terluka dan dia meminta dibelikan perban?"
"Mmm ... Tidak. Dia benar-benar memintaku membelikan pembalut. Ah sudahlah. Daripada salah beli, lebih baik tidak usah saja."
"Kamu bohong ya. Mana ada ibu-ibu usia enam puluh tahun masih haid."