Martin memandangnya ragu-ragu. Kemudian ia mengambil ponselnya, menekan sesuatu di layar, lalu menaruhnya di kuping.
"Ini memang aneh. Kalau ibuku sudah menopause kenapa dia masih membutuhkan pembalut wanita? Aneh. Ini aneh." Lalu Martin beralih ke ponselnya. "Halo? Ma, tadi Mama bilang pembalut wanita atau perban?"
Martin terdiam sambil memegang kepalanya dengan sebelah tangan lalu menggaruknya. "Ngomelnya sudah? Jadi pembalut atau ... Ya, tapi buat apa? Mama kan sudah menopause." Martin menyeringai. "Hmm ... Hmm ... Oke. Oke."
Martin menutup teleponnya, lalu tersenyum singkat pada Milly. "Benar. Memang pembalut." Martin mencari-cari di rak dan kemudian menemukan benda yang dicarinya. "Yang ini dan ini." Pembalut biasa dengan sayap dan pembalut untuk malam.
"Jadi ibumu belum menopause?" tanya Milly.
"Entahlah. Dia mengomel terus di telepon. Aku titip ini ya di trolimu."
"Oke."
Selesai membayar di kasir, Milly mengantarkan Martin pulang ke rumahnya dengan mobilnya. Ibunya menyambutnya di pintu pagar.
"Martin! Kamu pulang sama siapa?" sapa ibunya dengan teriakan yang menggetarkan kaca mobil Milly.
Martin mengajak Milly untuk masuk ke dalam, lalu mengenalkannya pada ibunya. "Ma, ini temanku."
"Halo, Tante. Nama saya Milly." Milly menjabat tangan ibunya Martin.
Ibunya Martin tampak terpesona menatap Milly. "Halo. Panggil saya Tante Amey." Milly mengangguk sopan. "Ayo masuk ke dalam!"
Sebenarnya Milly tidak ingin bertamu, tapi ia merasa tidak enak pada ibunya Martin. Terpaksa ia masuk ke dalam. Martin tersenyum manis padanya sambil membetulkan posisi kacamatanya.
Rumahnya tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Terdapat sebuah piano di sudut ruangan. Dinding dipenuhi dengan foto-foto Martin sewaktu masih kecil sampai besar. Ternyata ia sudah pandai bermain piano sejak kecil.
Ada sebuah foto saat Martin sedang bersalaman dengan seseorang sambil menerima sertifikat dan piala berbentuk tuts piano. Di atas lemari TV berjajar piala-piala yang berhubungan dengan musik. Rata-rata semuanya juara satu. Wow. Martin memang berbakat.
Ibu Martin berbisik sesuatu pada anaknya lalu menyikutnya, membuat Martin kaget lalu menggosok-gosok rusuknya. Martin mendecak, lalu menoleh ke belakang. Milly pura-pura melihat ke arah jendela.
"Sudahlah, Ma."
"Ya sudah. Tante siapkan minuman ya. Kalian mengobrol saja dulu. Santai saja. Anggap rumah sendiri," kata ibunya Martin dengan suara yang menggelegar.
"Terima kasih, Tante."
Milly kemudian duduk di sofa. Martin menatapnya malu-malu lalu duduk di seberangnya.
"Maaf ya jadi merepotkanmu. Padahal aku bisa pulang sendiri."
"Jangan sungkan." Milly tersenyum.
"Oh iya. Kamu mau... menonton film? Aku punya banyak film seru dari flash disc."
"Tidak. Tidak usah." Milly menggeleng. "Aku hanya sebentar saja. Aku masih harus membereskan barang belanjaan yang aku beli tadi."
"Begitu ya. Mmm ... Sambil menunggu ibuku, apa kamu mau mendengarku bermain piano?" Belum sempat Milly menjawab, Martin sudah beranjak dari kursinya menuju ke piano.
Ia membuka penutupnya lalu melemaskan jari-jarinya. Ia sempat melirik sekilas pada Milly, lalu tersenyum. Tiba-tiba serangkaian nada rumit bertempo cepat memenuhi udara. Milly mendekatinya.
Ia menatap kagum jari-jari Martin yang nyaris berbelit satu sama lain. Ia mengentak-entak jarinya dengan semangat, lalu menyapukan tutsnya dari kanan ke kiri. Kemudian nadanya berubah kembali menjadi lebih sendu.
"Jangan pamer!" seru ibunya dari dapur.
Tiba-tiba tangan Martin berhenti. Hening sejenak. Rasanya aneh. Kupingnya yang sejak tadi mendengar suara riuh dari piano, lalu seolah mendengar suara dengung kehampaan.
"Tidak apa-apa," kata Milly. "Teruskan saja."
Martin membetulkan posisi kacamatanya, lalu kembali menekuni tuts pianonya. Kali ini suaranya lebih lembut dan menyedihkan. Ia mengenali lagu ini. Hijo de La Luna.
Tak lama kemudian ibu Martin datang sambil membawa duah buah gelas berisi sesuatu yang berwarna-warni. Milly menghampiri ibunya sambil membantunya menyimpan gelas itu di meja.
"Terima kasih, Tante."
"Jangan sungkan. Ayo dicoba es campurnya. Tante baru membuatnya tadi."
Es campurnya berwarna merah muda. Terdapat cingcau hitam, nata de coco, pacar cina, kolang-kaling, alpukat, dan serutan kelapa muda. Milly menyeruput sirupnya. Segar sekali. Lalu ia menyendok isiannya.
"Bagaimana? Enak tidak?" tanya Tante Amey dengan wajah penuh harap.
"Ini enak sekali, Tante," jawab Milly sambil mengunyah.
"Syukurlah kalau kamu suka. Biasanya teman-teman Martin paling suka kalau Tante buatkan es campur. Oh ya, Martin, mana si Rei? Angga? Jerry?"
"Ada," jawab Martin. Ia menghentikan permainan pianonya lalu duduk di sebelah Milly dan menyendok es campur.
"Ada di mana? Terus itu, Nicholas. Si Nicky tidak pernah ke sini lagi. Mama kan kangen."
"Dia sedang bekerja di Malaysia, Ma."
"Bukan. Dia sedang di Bandung," sahut Milly. Oops.
"Oh, jadi kamu mengenal Nicholas juga, Milly?" tanya ibunya.
"Iya, Ma," kata Martin menjawab pertanyaan ibunya. "Milly kan temannya Nicky. Jadi dia pasti tahu."
Milly tersenyum setengah hati. Teman. Baiklah. Memang benar. Martin menganggapnya bahwa Milly dengan Nick hanya sekedar berteman.
"Tunggu sebentar ya, Mil. Aku mau ke toilet dulu."
Milly mengangguk. Ia terus menikmati es campur super lezat buatan ibunya Martin.
"Milly, menurutmu Martin bagaimana?" tanya ibunya dengan suara lirih.
"Eh, bagaimana maksudnya, Tante?" Milly nyaris tersedak alpukat.
"Kamu suka tidak pada Martin?"
Sungguh pertanyaan yang sangat to the point. Milly jadi bingung harus bagaimana menjawabnya.
Milly terkekeh. Aduh gawat. "Semua orang juga suka sama Martin."
"Ye, bukan begitu. Tante serius. Martin itu anaknya pemalu. Tante tahu dia itu pasti suka sekali sama kamu, tapi dia tidak berani bilang. Milly, kamu itu cantik sekali. Aduh Tante akan bahagia sekali kalau bisa punya menantu seperti kamu."
Menantu??? Astaga. Bagaimana bisa ibunya Martin mengatakan hal-hal seperti itu?
Milly jadi menyesal. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Untuk apa ia malah menawarkan diri mengantarkan Martin ke rumahnya dan bertemu dengan ibunya?
"Eh terima kasih, Tante. Tapi ... saya dan Martin itu ... kami hanya berteman saja."
"Ah yang benar?" Ibunya Martin terkekeh pelan seperti yang tidak mempercayai perkataan Milly, seolah itu hanyalah alasan karena Milly merasa malu-malu.
"Sungguh, Tante. Saya dan Martin tidak ada hubungan yang semacam itu." Milly membuat tanda kutip dengan kedua jarinya di udara.
"Hubungan percintaan itu kan bisa dibangun bahkan setelah menikah. Yang penting sekarang Milly mau membuka hati dan melihat Martin sedikit lebih jelas," ungkap Tante Amey.
Milly menyeringai. Hubungan percintaan yang dibangun setelah menikah? Sepertinya Milly salah dengar. Apakah semua ibu-ibu asia selalu menikahkan anaknya setelah melihat anaknya membawa pulang seorang wanita dan mengenalkannya pada orang tuanya?
Ingin sekali Milly menutup wajahnya dan mengerahkan kekuatannya untuk menggunakan jurus kaki seribu. Sayang sekali, meskipun kakinya sanggup untuk berlari, tapi ia tidak tega menyakiti perasaan ibunya Martin.