"Jangan malu-malu begitu, Milly." Ibunya meremas tangan Milly dengan sayang. "Coba pikirkan lagi. Martin itu anaknya baik sekali. Semenjak ayahnya meninggal, ia sudah bekerja mencari uang untuk membiayai kuliahnya sendiri."
Ibunya Martin terdengar seperti yang sedang mempromosikan anaknya sendiri. Baiklah. Milly akan mendengarkan dengan saksama.
"Dia mengajar piano ke sana ke sini," sambung Tante Amey. "Dan lagi, dia juga sering manggung di cafe. Lumayan lah untuk membantu keuangan di rumah. Sudah lama Tante tidak menerima pesanan katering lagi. Selama ini Tante hanya bisa mengandalkan Martin sebagai tulang punggung keluarga."
Tante Amey menghela napas dengan sedih, tapi juga ada nada bangga dalam suaranya.
"Oh, begitu ya, Tante." Milly mengangguk canggung.
"Martin itu pekerja keras. Dia pasti akan menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab."
Tiba-tiba kuping Milly merasa geli mendengar kata 'suami' disebut oleh ibunya Martin.
"Waktu Tante tidak lama lagi. Aduh Tante selalu berdoa. Ya Tuhan, semoga Tante akan bisa melihat anak Tante satu-satunya ini menikah dan punya anak yang banyak."
Sekarang ibunya Matin malah memanjatkan doa untuk anaknya. Mengapa Milly jadi merasa seolah-olah Tante Amey seperti yang sedang berharap penuh kepadanya? Ini sangat tidak masuk akal.
Milly menyeringai. Aduh ini benar-benar salah alamat. Bagaimanapun juga ia terharu mendengarkan kisah Martin. Akan tetapi, ia tidak mau jika sampai dijodohkan dengan Martin.
"Duh Tante, jangan bilang begitu. Tante pasti akan bisa melihat Martin menikah. Tante kan masih muda."
Ibunya Martin tertawa sambil mendorong bahu Milly. "Kamu bisa saja."
Kemudian Martin datang sambil tersenyum. "Kalian sedang ngobrol apa? Seru sekali."
Milly terkekeh. Sepertinya sekarang saatnya bagi Milly untuk kabur dari sini, sebelum ibunya Martin sungguh-sungguh akan menjodohkannya dengan Martin.
Milly kemudian bangkit berdiri. "Oh iya, Tante Amey, Martin, aku mau pulang dulu ya. Sudah sore."
"Oh. Kenapa buru-buru?" Martin tampak terkejut.
"Eh, Milly sudah mau pulang?" Ibunya Martin juga tampak terkejut. Tangannya memegang tangan Milly seolah tidak rela jika Milly pulang sekarang.
"Es campurnya dibungkus ya!"
"Tidak usah. Tidak usah." Milly menepuk tangan ibunya Martin. "Jangan repot-repot, Tante. Saya sangat berterima kasih sudah disuguhkan es campur yang sangat enak."
Ibunya Martin mendesah tanda menyerah. "Ya sudah. Lain kali mampir ke sini lagi ya."
Milly tersenyum, tidak berani menjanjikan apa-apa. Milly pamit sekali lagi dan kemudian Martin mengantarnya ke depan.
"Terima kasih ya, Mil. Sampai ketemu lagi." Martin melambai.
"Sama-sama. Aku juga, terima kasih untuk es campurnya. Bye!" Milly balas melambai. Lalu ia memutar mobilnya dan menancapkan gas.
Ugh! Sungguh mengerikan. Ternyata seperti itu rasanya dijodohkan. Milly bergidik. Ia membayangkan saat Ika dijodohkan dengan Wage. Tapi sekarang mereka benar-benar pacaran.
Akhirnya saat ia tiba di depan rumah, sebuah motor Kiwasuki terparkir di depan rumahnya. Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Milly melihat Nick sedang duduk di teras rumahnya, menyandarkan punggungnya ke tembok sambil memejamkan mata.
Milly segera membuka pagar lebar-lebar, memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Nick tidak menyadari kehadirannya. Ia menepuk bahu Nick.
"Nick, bangunlah. Nick?"
Wajahnya pucat sekali. Perlahan matanya terbuka. Dan oh … matanya merah sekali. Nick berdiri terlalu cepat, membuatnya terhuyung sedikit. Milly menangkap lengannya. Ia menggeleng sedikit sambil mengerjap-ngerjap.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Milly. Mengapa tiba-tiba ia merasa sedih melihat Nick seperti ini?
"Aku ... hanya pusing sedikit." Suara Nick parau sekali. Ia menatap Milly lekat-lekat seolah melihat sesuatu yang aneh dari wajahnya.
"Masuklah," perintah Milly.
Saat sudah di dalam rumah, Milly menyuruhnya untuk duduk di sofa. Ia membuatkannya teh manis hangat.
"Terima kasih." Nick langsung meminumnya.
Milly menyerahkan tiga bungkus Fitbar. "Makan ini. Lumayan untuk menambah tenaga."
"Memangnya menurutmu aku tidak bertenaga?"
Mily memutar bola matanya. Di saat-saat seperti ini Nick masih saja sempat-sempatnya berkelakar.
"Sekarang jawab aku. Kamu sudah makan atau belum?"
Nick terdiam sejenak. "Aku langsung berangkat ke Batam tadi pagi."
"Bukan itu pertanyaannya. Tunggu dulu. Berarti kamu belum makan dari pagi? Memangnya kamu tidak sarapan di hotel?"
"Aku nyaris ketinggalan pesawat."
"Kamu kan bisa makan di pesawat!" bentak Milly. Nick diam saja.
Ia jadi merasa tidak enak karena telah membentak Nick. Ia menghela napas lalu menuju ke dapur untuk membereskan barang belanjaannya. Ia menyiapkan panci untuk memasak pasta.
"Aku tidak punya nasi di rumah. Kamu suka pasta tidak?"
Nick menghampirinya ke dapur sambil mengunyah Fitbar. "Sungguh, tidak usah repot-repot."
"Diamlah!" tegur Milly kesal.
"Aku pikir kamu bertanya. Makanya aku menjawab." Nick mengerutkan dahinya seperti yang tampak tersinggung.
"Kamu tidak menjawab pertanyaanku," balas Milly yang juga sama-sama tersinggung.
"Baiklah," kata Nick. "Aku suka apa pun yang kamu sediakan untukku. Aku suka nasi, pasta, kentang, jagung, susu kedelai, sama sepertimu. Aku makan semuanya. Tidak ada pantangan apa-apa."
"Itu baru jawaban." Milly mendelik padanya, lalu memanaskan air di panci. Setelah mendidih, ia memasukkan spaghetti.
Tiba-tiba Nick memeluknya dari belakang. Milly berkutat melepaskan diri.
"Jangan bergerak," pinta Nicholas. "Aku mohon. Biarkan aku memelukmu seperti ini. Sebentar saja."
Akhirnya Milly menurut untuk diam. Pelukannya begitu hangat. Nick mendekapnya erat sekali seolah ia akan menghilang ditelan bumi—ia memang sempat menghilang sejenak dari hadapan Nick.
Rasa sakit hatinya mereda sedikit setelah Nick memeluknya. Oh, tapi tidak semudah itu. Sepertinya ia harus menuntut penjelasan pada Nick.
"Aku mencarimu ke kamar, tapi terlambat." Nick menaruh dagunya di pundak Milly. "Kata mereka kamu sudah check out. Kamu pergi tanpa mengatakan apa pun. Aku tidak bisa menghubungimu. Ponselmu mati." Nick mendesah.
Ia melepaskan pelukannya dan kemudian memutar bahu Milly agar menghadapinya. "Aku tidak mengerti apa yang membuatmu marah padaku. Katakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Supaya aku tidak menjadi gila."
Milly menatap matanya. Hatinya meleleh bahkan sebelum ia sempat memberi pelajaran pada pria itu. "Biarkan aku selesai memasak. Selesai kamu makan, aku akan mengatakannya padamu."
Milly menangkap rasa takut di mata Nick. Tapi kemudian Nick mengerjap. "Baiklah," ucap Nick.
Milly berbalik ke kompor, mengaduk-aduk pastanya.
"Biar aku yang masak," kata Nick hendak merebut garpu di tangannya.
"Eits!" sergah Milly. "Ini dapurku. Kamu duduk saja." Milly mendorongnya ke meja makan.
Nick menatapnya seperti yang tidak percaya dengan apa yang baru saja Milly lakukan padanya. Milly balas menatapnya galak. Jika Nick berani melawannya di dapurnya sendiri, maka Milly akan marah padanya.
Akan tetapi, sungguh Milly tidak bermaksud marah-marah pada pria itu. Ia hanya merasa masih kesal karena mendengar perbincangan Nick dengan Rissa. Demi Tuhan, Rissa adalah kakak tirinya. Setelah dipikir-pikir, segala sesuatu bisa saja terjadi.
Milly tidak bisa mengatur perasaan seseorang hanya karena sebuah status di keluarga. Jadi selama ini Nick menganggapnya apa? Milly sendiri bertanya pada dirinya sendiri sebenarnya statusnya dengan Nick itu apa?