Chereads / Sweet Lights / Chapter 8 - Delapan

Chapter 8 - Delapan

Aku dan Khai baru saja sampai disebuah apartemen yang berada lumayan jauh dari rumahku.

Menempuh berkilo-kilo meter perjalanan yang memakan waktu panjang didalam mobil.

Aku ternganga melihat apartemen khai yang jauh diluar ekspetasi ku. Apartemen ini sangatlah mewah dan luas, sepertinya harganya juga sangat mahal.

Aku pun mengira jika menjual rumah disana tak akan mampu membeli apartemen ini. Aku harus lebih berusaha.

"Ini adalah hasil kerja kerasku setelah kau mengusirku dulu" katanya memecah keheningan, aku terkesiap mendengar nya. Apakah aku sejahat itu?

Aku hanya diam dan menatap sekitar, lalu khai mendatangiku lagi sembari memberiku handuk "Ini pakailah, kau bisa membersihkan dirimu dikamar mandi yang ada dikamar ku" aku mengangguk dan mendatangi kamar yang dimaksud tadi.

Setelah itu aku masuk dan mandi, selesai dari itu aku berniat keluar dan—"Loh? bajuku gimana? aku kan gak punya baju? astaga varel, kamu ini bodoh banget sih!" gerutuku sendiri sambil mengusak-usak kasar rambut yang masih basah akibat keramas.

Tak lama terdengar ketukan pintu dari arah luar "Hey varel, kau sudah selesai mandi? Aku sudah menyiapkan baju untuk kau kenakan" katanya sambil teriak dari luar.

Cklek..

Aku membuka pintu dan memperlihatkan tubuhku yang hanya terbalut handuk sepinggang dan tubuh atas terpampang jelas.

Khai yang sedang duduk diranjang nya pun tak berkedip melihat tubuh atasku yang ter-ekspos.

"Ka-kau kenapa kau tak menutup tubuh atasmu?" katanya gagap.

Aku pun bingung, kenapa memangnya? kan sama-sama cowok.

"Loh emangnya kenapa? kan kita sejenis, gak perlu gitu lah" kataku menimpali, dia yang mendengarnya hanya menghela nafas kasar.

"A-ah kau kan tau aku, aku ini—Ah tolong segeralah pakai baju mu. Jangan memancing ku berbuat sesuatu yang tak kau inginkan!" geramnya, aku yang tak mengerti arti ucapannya pun langsung memakai baju saja.

Darimana dia mendapatkan baju yang pas denganku?

Setelah selesai memakai baju aku pun duduk disofa yang ada dikamar.

"Kau mau makan? aku sudah memesankan makanan dari luar" katanya

Memang perutku sangat lapar tapi apakah aku harus menerimanya?

"Jangan berpikiran macam-macam, aku hanya berniat menawari mu makan" timpalnya lagi

"Oke"jawabku dan mengikuti khai yang sudah berjalan lebih dahulu ke arah meja makan.

••

"Makan yang banyak, agar kau tampak berisi" ucapnya sambil melihatku yang sedang menyendokkan satu persatu nasi ke mulut.

"Lawu Jikwa akwu bewisi kaw mawu apwa" jawabku sambil mengunyah makanan, khai hanya terkekeh melihatku yang bicara sambil mengunyah.

"Memakanmu" pekiknya yang membuat ku kaget, dia mencubit pipiku yang menggembung karena mengunyah.

Aku menepuk keras tangannya "Sakit! Bodoh!"

"Awh, galaknya"

"Berisik! cepat makan saja!"

"Iya my baby"

"Alay"

"Gemesh ih"

"Sejak kapan kau jadi alay seperti ini?"

"Sejak mengenalmu"

"Diam dan makanlah!"

"Siap tuanku!" seru nya, itu adalah akhir kata yang diucapkan khai setelah itu ia mulai melakukan acara makan, suapan demi suapan ia makan dengan lahap. Tak lupa sambil memandang wajah varel yang ada didepannya.

'Bagaikan disurga'—monolognya.

••

"Aku mau pulang" kataku

Saat ini kami berdua sedang berada di ruang tamu dan duduk berhadapan, sebenarnya agak canggung duduk seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi.

"Besok aku akan mengantarmu" balasnya, aku yang sudah kesal pun langsung angkat bicara lagi "Sekarang! atau aku akan membencimu seumur hidup!"

Khai nampak santai mendengar ucapan mengancamku ini "Kau tak akan bisa membenci ku seumur hidup, dulu juga kau berkata seperti itu. Tapi sekarang apa?"

"Diamlah, aku mau pulang!" ketus ku

Khai menghampiri ku dan membelai wajahku "Aku tak akan membiarkan pria secantik kau pergi begitu saja, ayo bermain di ranjang denganku" ucapnya sambil mengeluarkan suara-suara aneh seperti 'desahan mungkin.

Aku mendorong tubuhnya sampai ia terjungkal ke belakang dan tak menanggapi ucapannya lalu aku sedikit berlari mengambil tas basah yang ada didekat pintu "KAU MENJIJIKAN" teriakku lalu membuka pintu apartemen.

"Jangan nekat! atau aku akan melakukan sesuatu!" teriaknya lalu khai berdiri dan menghampiri ku namun pintu itu segera terbuka dan akupun keluar. Aku berlari menghindari kejaran khai sampai aku bertemu dengan jalan raya.

Aku berlari ditrotoar jalan, nampaknya aku berlari tanpa arah. Aku juga tidak tau daerah apa ini, sebelumnya pun aku tak mengenal daerah ini.

Lalu aku harus apa? ini sudah malam dan seperti yang dilihat tak banyak kendaraan umum yang melintas.

Daya ponselku habis, aku tak bisa menelpon seseorang.

Aku terus berlari mengikuti arah trotoar yang membawaku dari perbalikan arah apartemen.

Sebuah mobil melintas dan berhenti didepanku tapi aku tetap berlari, aku takut itu Khai. Tapi yang kulihat itu bukan mobil Khai.

Saat aku terus berlari, seseorang dari dalam mobil itu keluar dan menampilkan seseorang yang sedang berlari mendekat kearahku.

"Hah—hah.. Kau mau kemana malam-malam begini?" tanyanya dengan nafas terengah, aku pun berhenti saat mengetahui siapa yang memanggil.

"Ah rupanya kamu kak vano, aku kira siapa" ujarku sendu.

"Loh varel? ngapain kamu jauh banget kesini?" tanyanya namun aku tak menanggapi

Melihatku yang tak menjawab dan menampilkan raut wajah ketakutan, kak vano pun mengerti dan tak banyak bertanya "Ya sudah ayok naik ke mobilku saja, aku akan mengantarmu ke rumah. Kau bisa cerita jika kau sudah mulai tenang, mengerti?" aku mengangguk dan menetralkan nafas ku yang terengah-engah.

Setelah masuk kedalam mobil dan menetralkan pernafasan aku mulai merasa tenang karena saat ini aku aman.

"Jadi—bagaimana bisa kau sampai kesini? ini bukan wilayahmu, maksudku ini bukan daerah yang cocok untukmu berkeliaran. Di sekitaran apartemen tadi banyak orang tak beres. Untung aku melihatmu, jika tidak orang-orang yang berkeliaran pasti akan melakukan hal yang tidak-tidak" jelas kak vano, jantungku berdegup kencang. Apakah khai juga orang seperti itu? ah aku tak boleh berburuk sangka, mungkin dia hanya kebetulan tinggal disana.

"Ya terimakasih kak, tadi aku diajak berkunjung dengan temanku. Makanya aku sampai kesana"

Kak vano menoleh sekilas kearahku "Rangga?" tanyanya, mungkin dia hanya tau temanku adalah rangga. Makanya dia berpikiran jauh ke rangga.

"Bukan, bukan rangga. Hanya teman lama, tapi dia sudah berubah" aku mulai menangis, sungguh ini diluar ekspetasi nya harus berada disekitaran wilayah yang tak di kenal.

"Menangislah jika itu membuat ketakutan mu hilang" aku mengangguk dan menangis, walaupun aku laki-laki tapi aku juga manusia kan? manusia juga berhak menangis, marah, sedih, senang dan lainnya.

Diperjalanan hanya terdengar isak tangis pelan yang ku keluarkan, kak vano tak mengusikku sama sekali. Ia membiarkan ku menumpahkan segalanya, aku menumpahkan segalanya agar pikiran ku sedikit ringan.

"Tak apa, kau aman sekarang. Aku akan mengantarmu dengan selamat" katanya dan hening kemudian.

••

Aku ketiduran dan kak vano tak tega membangunkan ku. Karna tak tau alamat rumahku, kak vano membawaku kerumahnya.

Aku tidur seranjang dengan kak vano dikamarnya. Ia mengusap kepalaku sampai mencium keningku lembut, tapi aku tak tau, ini semua author yang memberi tahu.

Sinar terik matahari pagi menembus indra penglihatan milikku. Aku terbangun dan mendapati kak vano yang tertidur tenang dan damai.

Aku mengamati wajahnya dengan seksama. Hidung bangir, bibir indah, bulu mata lentik dan rahang yang tegas—astaga! aku memikirkan apa sih.

Aku bangun dari ranjang dan membuka tirai jendela "Loh—ini bukan kamarku. Aku ada dimana?" aku menengok ke sekitar dan pandanganku jatuh pada sosok kak vano "Jadi—aku ada dirumah kak vano? yang benar saja. Ibu? Geral? Astaga! bagaimana jika mereka kebingungan mencariku, aku biasanya tak pernah menghilang dari mereka walau satu hari"

Saat aku sedang berperang dengan pikiran, suara deep kak vano menyadarkan ku dan lamunan itu buyar "Kau sudah bangun rel?" aku menoleh dan melihat kak vano sedang memandangiku dengan satu tangan menyangga kepala.

"Ah ya sudah kak, kalau boleh tau ini dimana kak?"

"Rumahku. Kau tak memberi tahu alamat rumahmu, jadi aku membawamu kemari" katanya menjelaskan, namun aku masih khawatir.

"Bisa kah kak vano mengantarku pulang? aku harus bertemu ibu, ia pasti khawatir saat ini"

"Bisa, tapi kau sarapan dulu. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang" katanya

"Tapi—ibu?"

"Iya aku tau kau mengkhawatirkan ibumu, tapi kau harus sarapan dulu. Jika kau tidak sarapan, aku tak akan mengantarmu" aku pun tak mau berdebat lama-lama dan akhirnya mengalah. Aku mengangguk kepala tanda setuju akan permintaan kak vano.

"Mandilah dahulu, aku akan mencarikan baju yang pas milikku untuk kau kenakan"

"Apakah tak merepotkan?" tanyaku, dia malah tersenyum lembut "Tidak, sudah sana mandi nanti turun kebawah dan sarapan. Aku akan menunggu di meja makan, mengerti?" aku mengangguk dan berlalu kekamar mandi.