"Varel, minggu kamu ada acara gak?"
Kak Vano, dia benar-benar menjemputnya seusai pulang sekolah. Aku yang sedang menatap ke jendela mobil oun menoleh, "Gak ada kak, emang kenapa?" tanyaku
"Mau ngajak kamu jalan-jalan, kamu mau gak?"
"Seriusan?" kak vano mengangguk "Wah mauu kakkk!"
"Yaudah nanti saya kabarin lagi. Btw kita belum tukar kontak, kamu ketik aja nomor kamu" kak vano nyodorin HP nya ke aku, aku ambil dan ketik nomor nya lalu disimpen.
"Udah kak"
"Sip, thanks! nanti dikabarin lagi, oke" aku ngangguk..
Aku menoleh sebentar ke bangku belakang, melihat geral yang tertidur dengan damai.
✴ ✴ ✴
Minggu, 10.00 wib.
Kini Varel dan Vano sedang duduk dibangku taman. Setelah sedari tadi berjalan-jalan mengitari ibu kota. Vano menyandarkan bahunya pada bangku taman, sementara varel melihat-lihat sekitar dengan perasaan kagum dan agak lesuh.
"Panas banget hari ini" kata varel membuka pembicaraan, dia mengusap peluhnya yang mulai menetes dari dahi.
"Kamu capek? yaudah kita pulang aja yuk"
"Gak kok 'kak, tapi ide bagus sih, yaudah pulang aja yuk"
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang kerumah, namun kerumah vano bukan kerumah varel.
Saat diperjalanan pulang, varel mengeryit "Loh ini bukan jalan arah rumah varel, kita mau kemana?"
"Ke rumah kakak dulu lah, disana ada PS. kamu bisa main PS?" tanya kak vano
PS? dulu sekali pernah varel mempunyai benda seperti itu, dulu tapi sebelum ayahnya meninggal dunia.
"Wah beneran kak? asik tuh, udah lama varel gak main itu kalo bukan sama ayah"
"Ya makanya kita main, masa baru seperempat hari kita udah pulang, gak asik itu mah"
✴ ✴ ✴
Varel POV :
Saat sampai dirumah kak vano, aku nampak heran. Kok ada mobil dia(?) terparkir rapih dibagasi rumah kak vano.
Aku tidak salah lihat kan? semoga saja itu hanya mirip.
Kami berdua keluar dari mobil dan berjalan beriringan kedalam rumah, sambil sesekali melempar candaan.
Aku masih setia tertawa mendapati Vano membuat lelucon basi namun lucu bagi ku.
Tanpa disadari seseorang memerhatikan kami dengan wajah tak suka nya.
"Loh, lo disini? tumben-tumbenan, ada angin apaan?" suara kak vano menyapa seseorang membuat ku mengalihkan atensi ke orang tersebut.
Dunia serasa terhenti, orang yang berusaha ia hindari kini ada didepannya dengan menampilkan raut wajah tegas nan dingin.
Ia menatapku dengan wajah datar dan membuatku mengalihkan pandangan. Orang itu pun sama mengalihkan pandangannya ke kak vano.
"Wah iya bro, gua kangen sama lo, udah lama gua gak main kesini. Makanya gua coba mampir" jelasnya dengan sedikit senyum paksa.
"Wih tambah beda aja dari yang dulu, dulu kaya jamet yah" kak vano tertawa meledek, orang itu hanya mengulas senyum.
"Bisa aje lu, gua gak disuruh masuk gitu kesini? satu jam loh gua nungguin lo sampe lumutan"
Kak vano menepuk dahinya "Astaga gua lupa, yaudah ayok masuk.. Ngobrolnya di dalem aja, gak enak diluar"
✴✴✴
Saat ini kami bertiga sedang ada di ruang tamu milik kak vano, aku duduk di salah satu sofa yang ada disana.
Kak vano datang dengan membawa nampan yang berisi beberapa snack dan minuman.
Kak vano pun duduk disamping ku "Ah, gimana keadaan lu disana? udah lama banget gak balik, sekalinya balik bawa perubahan yang agak WOW" tuturnya
Orang itu terkekeh pelan, "Keadaan gua baik-baik aja, sedikit doang gini perubahannya gak ada yang spesial. Bagi lu, gua begini berubah?" kak vano mengangguk "—tapi bagi seseorang yang udah lama gua tunggu gak bilang gitu" dia nundukin kepalanya dengan muka sendu.
"Si anjir malah mellow begini, sape sih yang bikin kawan gua patah hati?"
"Manusia pilihan, yang dipilih bukan buat gua, maybe(?)" katanya sambil melirik kearahku dan mengalihkan lagi ke kak vano.
"Udahlah gak usah dipikiran, entar juga dia nyesel kalo lu udah gak ngejer dia lagi"
'Dih, aku gak bakal nyesel kali'—varel.
"Eh betewe itu sape no? daritadi kok gak lu kenalin, jahat banget dianggurin" nunjuk kearah aku, aku yah pura-pura gak kenal aja.
"Oh ini namanya varel, dia malaikat gua haha"
"Sok malaikat-malaikat'an, Berarti kalo dia malaikat lu setannya kan? ahahahahha"
"Sialan lu nyet"
Aku hanya ikut tertawa renyah, gak bar-bar kaya dia yang sekarang ketawanya sampe mukul-mukul sofa.
"Oh iya, kenalin gue—
—Khai"
✴ ✴ ✴
Hari sudah mulai gelap, Kak Vano pun berniat mengantarku pulang namun urung karena khai bilang biar sekalian saja pulangnya bareng dia.
Kak vano tadinya gak setuju, tapi karna kata-kata bualan dari Khai dia percaya dan mengizinkan Khai buat nganterin aku pulang.
Dan disinilah aku sekarang, di dalam mobil yang sama dan orang yang sama saat waktu itu.
"Maafin aku" katanya lirih sambil fokus menyetir, aku tak menanggapinya, biarlah dia bicara sendiri.
"Aku bener-bener gak ada maksud buat bilang gitu pas di apartment, aku beneran sayang sama kamu Re, aku cinta sama kamu. Aku bener-bener gak bisa ngelupain kamu sampai kapanpun, Kalau pun kamu usir aku kaya dulu, aku gak akan pernah pergi. Aku tetep mau nunggu kamu sampai kamu mau terima aku, kasih aku kesempatan Re"
Aku tetap tidak menjawab pernyataan Khai, karena jika Aku menanggapi nya maka sama saja Aku mengundang Khai untuk mengobrol denganku. Aku tidak mau itu terjadi.
"Re? kamu beneran gak ada niat buat jawab gitu?" tanyanya sekali lagi, aku tetap tidak menanggapi.
Khai secara mendadak menghentikan mobilnya dibahu jalan, ia mematikan mesin mobilnya namun lampu sen tetap menyala.
Khai membalikkan tubuhku yang terus saja mengarah keluar kaca mobil. "Re? denger semua apa yang aku omongin kan? kamu punya mulutkan, ayok jawab"
Aku menatap Khai dalam, dimataku bisa saja menyiratkan kekesalan, kebencian, kebohongan dan lain sebagainya.
"Re?" panggilnya sekali lagi sambil memegang bahuku.
Aku merasa risih karena tangan Khai yang memegang bahuku, dengan cepat aku ingin menghempaskan tangannya namun cekalan tangannya sangat kuat.
"Lepas, Dong!" ketusku, namun tak diindahkan oleh Khai.
Khai mulai menangkup pipi gempalku, dan membuat wajahku terlihat jelas oleh manik matanya. Sorot mata milik Khai melihat tepat ke manik mataku.
"Aku cinta, cinta, cinta, cinta banget sama kamu! Kasih aku kesempatan, sekali lagi. Aku juga minta maaf soal kejadian itu, aku sebenarnya gak punya fikiran kesana. Aku cuma gak mau kamu pergi, Aku—" ucapannya terpotong karena aku buru-buru menjawab pernyataan itu.
"—Bullshit!" kataku ketus.
Wajah Khai semakin maju kearah wajahku, dengan cepat aku menutupi seluruh permukaan wajah dengan kedua telapak tangan milikku.
"Hahahahaha, kamu lucu banget sih. Hey, aku gak bakal ngapa-ngapain kamu kok. Kamu mesum ya" Khai tergelak tawa, membuat aku mengerutkan dahi. Kesal sekali melihat Khai seperti ini.
"GAK LUCU! UDAH AKU MAU PULANG SENDIRI!"
"HEYY JANGAN!"
Aku hendak meraih gagang pintu namun dicegah oleh cekalan tangan Khai. Aku menoleh, "Apalagi, sih!"
"Aku yang antar, gak ada penolakan"