Chereads / Tiba-tiba ke Dunia Lain (Indonesia) / Chapter 13 - Chapter 11 - Kota Anastasia.

Chapter 13 - Chapter 11 - Kota Anastasia.

Jilid 1 ¦ Chapter 11 - Kota Anastasia.

Setelah perjalanan yang jauh dan begitu lama, akhirnya kami berlima tiba dengan selamat. Posisi kami sekarang ada di depan pintu gerbang setinggi setengah temboknya sebagai tanda—«Kota Awal Anastasia».

Sekitar sepuluh ribu orang berdiri di dalamnya, bertatap muka saling berkomunikasi satu sama lain. 

Kota ini—adalah tempat yang luas yang terdapat banyak bangun di pinggir sepanjang jalan. Ketika aku melihat ke bawah pada jalur jalan, aku bisa melihat berwarna putih biru yang merupakan bagian bawah dari lantai jalan. Sambil mengikuti permukaan jalan yang rata, aku melihat menara besar—«Kastil Baja» merupakan bangunan yang kokoh berdiri di tengah ibukota kota Anastasia.

Lalu seperti membaca pikiran ku, dan mungkin pikiran Elizabeth juga, kami memikirkan hal yang sama.

Beberapa orang lewat di depan wajahku, bukanlah wajah yang kukenal.

Rambut kecoklatan hampir sama. Wajah rata-ratanya mirip seperti Zain-san, dari hidungnya yang mancung sedikit pesek, dan muncul janggut di pipi dan dagunya. 

Aku sampai lupa akan situasinya selama beberapa saat dan aku mengeluarkan tawa kecil dan berkata.

"Haha...ini pasti bohongan? Gila, ini pasti gila. Keramaian apa-apaan ini. Dunia fantasi...ini hanya sebuah dunia lain, sama sekali tidak mirip dengan sebuah game fantasi. Benar kan, Elizabeth?"

Suaraku terbata-bata di bagian akhir. Aku menatapnya dengan intens, tapi Elizabeth tidak terlihat mengangguk setuju.

Pikiranku mencoba menolak mempercayai apa yang baru saja kulihat. Tapi tubuhku mengkhianatinya dan lututku mulai menggigil kuat padahal sama sekali tidak dingin.

Aku tersandung kebelakang beberapa langkah dengan lututku yang lemah dan berhasil mencegah diriku jatuh. Tapi Elizabeth terjatuh kebelakang dengan wajah tanpa ekspresi.

"... dak percaya... aku tidak percaya."

Elizabeth, yang masih duduk di lantai, mulai berbicara dengan suara yang kaku.

Didalam kepalaku, aku meneriakkan hal yang sama. Itulah saat dimana aku menyadari bahwa ini adalah kebenaran. 

Keramaian diantara sepuluh ribu orang ini menggema di telingaku. Tidak salah lagi ini adalah sebuah dunia game-game fantasi, sebuah dunia dimana hidup dengan nyawamu sebagai taruhannya. Dengan kata lain, sebuah dunia kematian.

Itulah RPG, sebuah game dimana kau berkali-kali mati dan belajar dan menaikkan point level. Tapi ini bukan sejenisnya sebuah game, sekarang sekali kau mati, kau akan kehilangan nyawamu dan sebagai tambahannya kau bahkan tidak akan bisa respawn atau hidup kembali dari awal seperti dalam game.

"Kalian sepertinya benar-benar bukan berasal dari kota ini."

Suara itu muncul dari belakangku, suara yang tak asing lagi ditelinga adalah suara Klein-san.

"Bagaimana mungkin kami dapat merasakan suasana seperti ini? Seumur hidupku tidak pernah sekalipun merasakan bahkan bermimpi seperti ini."

Itu benar. Selama satu tahun sebelumnya, seribu orang ini hanya merupakan pasukan unit militer dalam medan perang. Bahkan jika ada sepuluh ribu orang dalam satu kota, mungkin yang ada adalah pembantaian massal.

Keramaian menegangkan ini perlahan-lahan menunjukkan gumaman pelan. Tapi tidak ada tanda-tanda dari ketakutan dan rasa putus asa. Melainkan aku sangat bahagia sampai tidak tahu harus berbuat apa.

Sebagian yang muncul di benakku disini masih bingung apakah ini benar-benar (kehidupan nyata) atau sebuah (acara pembukaan yang sangat dibuat-buat). Semua yang kukatakan terlalu menakutkan hingga tak terasa nyata.

Aku mengadahkan kepalaku lagi untuk melihat keramaian dan mencoba untuk memaksakan pikiranku untuk menerima situasi ini.

Tapi…

Betapapun aku mencoba menerima kenyataan, ini mustahil. Hanya sekitar lima hari atau seminggu yang lalu aku masih mengingat makanan buatan Risya (salah satu teman dekatku di Kekaisaran), berbicara sedikit dengannya, dan kami mempersiapkan diri untuk berperang.

Sekarang aku tidak bisa kembali ke tempat itu lagi? Saat ini, ini adalah dunia nyata sebenarnya? 

Lalu, ketika seseorang pria berpakaian formal hitam yang sejak tadi di depan kami mengibaskan sarung tangan kanannya dan mulai berbicara dengan suara yang tidak memiliki emosi sama sekali.

"Kalau begitu biar kutunjukkan bukti kalau ini adalah kenyataan. Ini adalah benda dari hadiahku, mungkin suatu saat akan berguna. Ambillah."

Aku meraihnya. Itu adalah sebuah botol berisikan air di dalamnya, bentuknya seperti botol cola terbuat dari bahan kaca. 

Tertulis di botolnya adalah—«Poción de Muerte»? Apa-apaan tulisan ini, sama sekali bukan tulisan tangan dan bahasa dari asalku. Tapi kalau dilihat lagi, itu bacaannya adalah (Ramuan Kematian).

"Ramuan Kematian?! Lho?... bisa dibaca."

Aku menyadari meski itu bukan tulisan dan bahasa yang kupahami, tapi sekali diucapkan menjadi sebuah kata satupadu dalam sebatas pengertianku. Tapi, kupikir kenapa dia memberikan benda ini padaku? Sambil berpikir aku menyentuh nama bendanya.

Aku memegangnya dengan ragu-ragu tapi tidak ada apapun yang mencurigakan. Apa yang muncul di dalam cerminan wajah dariku yang sedikit berbeda.

Aku memiringkan kepalaku dan melihat ke arah pria itu. Dia juga melihat ke cermin botol dengan wajah tanpa ekspresi. 

—Lalu.

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu ketika melihatnya cara berpakaian formal dan serba hitam itu, kalau tidak salah seorang pria misterius bertopeng muncul di hutan Nelka. Sekitar 2, 3 detik kemudian ini sudah jelas aku dan pria itu baru saja…

Tidak.

Wajah yang ada di depanku bukanlah wajah yang kulihat waktu itu, pria ini tidak mengenakan topeng logamnya. Wajahnya lumayan tampan dengan senyuman riang. Bentuk wajahnya agak lonjong dengan janggut tipis di dagunya. Pakaian yang terbuat dari logam yang dijahit, bendana, dan rambut hitam mirip sepertiku. Jika dilihat dari caranya berpakaian orang itu pasti adalah seorang yang masih muda dan ceria, maka yang ini adalah seorang petualang yang telah kalah—atau mungkin seorang perampok.

"Yah, memang tidak enak didengar sih, tapi itu adalah ramuan pembangkit kehidupan."

Aku lupa akan situasnya selama beberapa saat dan berkata.

"Siapa...kau?" 

"Hey...aku hanya seorang pengembara."

Kata itu terdengar dari mulut orang yang berada di depanku.

Rambut hitam yang rapi di samping kepala, sepasang mata yang kelihatan sipit dapat terlihat dibalik rambutnya yang agak panjang, dan wajah orang tanpa ekspresi namun intonasi bicaranya seolah memprovokasi bicara lawannya.

Wajah tenang dari pria itu yang baru beberapa detik yang lalu masih ada.

Ketika aku melihat sekeliling lagi, kerumunannya sudah tidak lagi dipenuhi oleh orang yang terlihat seperti karakter dari game-game fantasi. Sekumpulan anak muda normal sudah menggantikan tempat mereka. Ini seperti melihat sekumpulan orang di dunia nyata di sebuah perkumpulan game yang menggunakan kostum seperti armor. Bahkan perbedaan jumlah laki-laki dan perempuannya berubah drastis.

Tentu saja, pakaian orisinil kami memiliki teksturnya sendiri masih terlihat seperti model legiun dan masih terlihat agak aneh, tapi yang paling menakutkan adalah tatapan mereka. Seakan-akan hanya dengan pakaian dan kedua pedang ini, membuat menarik perhatian banyak orang.

"...ah, benar! Terima kasih." Aku melihat ke arah pria itu dan memaksakan suaraku untuk keluar dan mengatakan terima kasih.

"Kalau begitu, aku pergi dulu…" langkahnya memundur, lalu berbalik badan sembilan puluh derajat dan pergi berjalan membelakangi kami.

"Dia adalah seorang pengembara yang datang ke kota ini satu bulan yang lalu. Seingatku dia orangnya suka diam pada saat berada di dalam guild. Meski begitu, jika diajak bicara dia akan langsung menjawab sepenuhnya."

Klein-san berkata sambil mendekat ke arahku dan diam-diam mendengarkan pembicaraan kami.

Rata-rata tinggi dari orang-orang di sekitar ini, yang sedang melihat kami dan mereka sendiri dengan berbagai ekspresi, sangat terlihat berkurang setelah tadi. Aku dan mungkin Elizabeth juga-telah mensetting tinggi kami agar sesuai dengan tinggi asliku di dunia nyata untuk menghindari tinggi yang berlebihan yang bisa menghambat gerakanku, tapi hampir semua orang disini sepertinya membuat diri mereka lebih tinggi sekitar sepuluh hingga dua puluh cm. 

Itu mungkin untuk membuat orang percaya menjadi replika yang sama persis dengan diri mereka. Tujuan dari pria itu dan semua ini juga menjadi jelas sekarang.

"...kenyataan," aku bergumam, sesuai apa yang sudah sedari kupikirkan. 

Dia bilang ini adalah kenyataan. Dari pakaian khusus legiun ini...dan rasa sakit adalah tubuh dari kehidupan asli kita. Untuk membuat kita percaya kalau seolah dia menciptakan dunia ini dan tiruan sempurna dari kita...

"Tapi...tapi kenapa dia juga memberikan benda seperti ini…?"

Aku menggaruk kepala dengan kasar dan mata yang memantulkan sinar saat aku berteriak.

"Kenapa? Kenapa aku hidup di dunia fantasi seperti ini...!?"

"Kamu sedang memikirkan apa, Kitarou-kun? Dunia fantasi? Apa itu fantasi, tolong beritahu aku." 

Sejenak aku tergemap ketika Klein-san penasaran dengan hal itu, aku pun mengatakan seadanya sekedar memenuhi wawasannya.

"Fantasi adalah keimajinatifan atau khayalan diri sendiri bisa datang dimanapun, jadi bisa dikatakan dunia fantasi itu sebagai dunia khayalan berasal dari kita sendiri."

"...hm... begitu," Klein-san mengelus-elus dagunya yang kasar, berusaha untuk memahami dari perkataanku.

"Hari ini dan juga kemarin aku banyak belajar darimu, Kitarou-kun. Bahkan, aku yang hidup selama berpuluh-puluhan tahun lebih tua tidak mengetahui tentang itu. Terlebih, kalian sudah menyelamatkan kami dan nyawaku, jika tidak mungkin kami sudah tidak berdaya dan mati seketika. Aku tidak tahu lagi harus membayar balas jasa kalian dengan apa."

"Kau tidak perlu repot-repot untuk membalas jasa kami, Klein-san."

Sedikit terdengar kasar, namun seperti itulah kami yang sebenarnya. Pertarungan merupakan hal tak asing lagi bagi kami, dan bertarung mempertaruhkan nyawa juga merupakan hal yang biasa. 

Itulah suaraku yang hingga sekarang tanpa emosi, mulai menunjukkan sedikit sedikit emosi di dalamnya. Tiba-tiba kata empati terpikir olehku meski tidak mungkin terjadi.

"itu semua bukanlah alasan kami melakukan ini. Bukan hanya itu, sekarang bagiku tidak ada alasan untuk melakukan ini. Waktu itu, kami hanya kebetulan ingin melawan makhluk itu. Alasannya karena... membela diri kami sendiri. Sehingga aku tidak bisa menyebutnya itu sebagai untuk menyelamatkan kalian."

Lalu setelah istirahat singkat, suaraku sekarang menjadi lebih lembut tanpa emosi lagi dan berkata.

"... sekarang aku bisa menemukan diriku sendiri untuk melindungi kalian. Para petualang yang beruntung."

Suara angin bertiup di atas langit senja, dan melintas terdengar secara perlahan di telinga kami. 

Lalu—akhirnya.

Kerumunan sepuluh ribu orang tadi mulai memberikan reaksi wajar.

berlanjut...

Note: selalu berikan dukungan pada Authornya, dengan cara memberikan «vote» kalian. Agar si Author lebih bersemangat dalam melanjutkan ceritanya!