Jilid 2 | Chapter 13 - Kemunculan Karakter Heroine.
Matahari telah bangkit dari tidurnya, artinya fajar telah tiba. Sinarnya begitu terang menusuk kedua bola mataku yang masih tertutup, sehingga itu membuatku terbangun dan memandang langit-langit di atasnya. Ketika aku mulai berduduk, aku melihat ke segala arah dari sudut-sudut ruangan.
Sekilas pertanyaan muncul di benakku: dimana aku?, namun setelah mengingat hari kemarin aku sadar bahwa kini aku sedang berada di sebuah tempat sewa penginapan untuk satu malam. Tidak tahu harga sewa tempatnya, mereka hanya meminta 20 koin keping emas. Itu aku tidak sendirian, di dalam satu ruangan disana terlihat seorang gadis familiar sedang melakukan sesuatu.
Seekor burung tengah menyanyikan lagu yang mengisi suara alam di pagi hari hinggap didepan jendela.
Tangan kanannya dengan perlahan menjulur kedepan, dan jemarinya yang merentang dengan cepat menyentuh bulu seperti berlian dari burung itu, dengan sekejap membuat si burung terbang tanpa suara. Burung itu membuka lebar sayapnya, terbang membentuk busur dan mengepak jauh ke arah cahaya matahari.
Dia mengambil beberapa langkah maju seolah ingin mengikuti si burung. Namun dalam sekejap, jeruji emas yang berkilau memblokir jalannya. Burung itu terus terbang dan akhirnya bebas. Makin tinggi, dan makin tinggi, lebih jauh dan lebih jauh tanpa tujuan.
Elizabeth hanya berdiri terpaku menyaksikan si burung semakin kecil dan makin kecil sampai akhirnya samar dengan warna langit, dan dia perlahan kembali ke kasurnya dan duduk.
Dia tak merasakan takut. Ada keyakinannya kalau dia sudah melakukan apa yang harus dilakukan dan menjalani hidup tanpa apapun untuk disesalkan. Lenyap bersama dengan «dia» adalah akhir yang ia syukuri. Pikir Elizabeth saat itu.
Karena ini masalahnya, ia tak bisa membiarkan dirinya dikalahkan. Pikirannya menolak untuk kalah oleh orang itu (penerus Black Steel). Dengan mengingat ini, Elizabeth semua rasa kesepian dan kecemasan setiap berlalunya hari. Namun.
Elizabeth duduk di tepi kasur dengan tangan dilipat di dadanya. Dan dia merasakan kegelisahan di hatinya seiring dia terus berkomat-kamit.
"Lekaslah...lekaslah keluar, aku ingin cepat keluar dari dunia ini."
"Meski kau mengatakannya seratus kali, itu sama sekali tidak berguna."
Kemudian dia meletakkan jari jempolnya di bibir dan mulai menggerutu. Bersamaan aku mulai membangkitkan diri dari atas lantai—dengan kain selimut? Ah, itu mungkin aku meminjamnya dari Elizabeth.
Akhir-akhir ini, aku merasakan kalau dunia ini sangat berbeda dengan dunia asalku, kedua pedangku terasa lebih berat daripada sebelumnya dan kemampuan fisik yang biasa kulatih kurasa agak berkurang. Tubuh dan tangan terasa begitu berat dan kaku ketika berada di dunia ini.
Ini memang bisa dipahami, mempertimbangkan kalau mustahil untuk mereplikasi kemampuan karakter virtual dengan jiwa seperti tubuh hidup. Bahkan aku sempat berpikir, apakah aku juga bisa menggunakan kekuatan sihir astral.
Sampai pada kesimpulan kalau pemikiran ini sangat tolol, dia tidak mengenakan kaos tangan maupun kaos kaki, celana pendek dan berseragam formal serba putih. Meski aku sudah berusaha untuk tidak sesekali berani meliriknya dalam situasi, degup jantungku seharusnya sudah agak mereda. Namun saat ini masih sekitar sembilan puluh detak per menit.
Itu bukan diakibatkan oleh olahraga, namun diriku mengkonfirmasinya sendiri. Mencoba untuk menarik napas demi menenangkan diriku, namun pikiranku terus melaju kencang. 'Apa yang kupikirkan, ah sial!'
Kemudian sentak aku langsung berdiri.
"Aku ingin pergi keluar."
Tidak tahu dia sedang menatapku atau tidak, tapi dia baru saja merespon perkataanku.
"Sebentar, aku ikut."
"Aku akan menunggumu di luar ruangan."
"Baiklah."
Dengan langkah setengah berlari aku menuju pintu, aku berdiri sambil menghela napas panjang dan mengembalikan pintu itu tertutup rapat seperti semula. Pada saat itu, aku menghembuskan napas lagi yang kutahan selama beberapa detik sebelum menempatkan kedua tanganku di pinggang dan berbalik.
"Beruntung… aku masih selamat," gumamku sambil menyapu dahi dengan lengan kanan.
Kemudian aku memandang seorang gadis yang sedikit lebih pendek dariku.
"...Hei, Kitarou."
Pesaingku dan seorang Penyihir Kehancuran, si pengguna rapier Elizabeth, berjalan melintasi pintu ruangan ke arahku lalu berdiri di hadapanku. Lalu dia menekan rambut violetnya yang agak panjang melewati bahunya dengan tangannya. Semua pergerakannya seperti bersinar, seakan dia sedang berada di fashion show, atau seorang bintang film, dan membuatku terpana meskipun sudah lama mengenalnya.
Aku pun mulai menyandarkan bahuku ke dinding.
"...Jadi, hari ini kamu ingin pergi kemana? Jalan-jalan mengelilingi kota?"
Aku menatap Elizabeth dengan teliti, lalu menatap diriku sendiri. Pakaian khusus seorang putri penyihir yang putih bercorak merah dan rok panjangnya yang mengembang tetap sama seperti biasa, dan pakaian ksatria pendekar yang hitam di hias bergaris tipis biru, dan sebuah jubah penutup properti dengan arsitektur kain lembut mega mendung. Namun, ini pakaian terlalu mencolok. Tentu model legiun seperti terlihat agak aneh, dan menimbulkan daya tarik, atau hal yang mencurigakan membuat tatapan mereka begitu menakutkan.
"Ah, sebelum kau mengatakannya, dari awal aku sudah memikirkannya... tapi sebelum itu, kita harus membeli pakaian sederhana terlebih dahulu yang terlihat tidak terlalu mencolok."
Aku menaruh kantong kulit kecil di saku celanaku. Kalau dipikir-pikir, aku tidak tahu jenis atau nilai uang ini, dan apakah itu mata uang yang sama yang digunakan di dunia nyata. Bentuk kedua mata uang ini terlihat sama dengan Coll, tapi mereka menyebutnya ini Koin. Memangnya Coll dan Koin terlihat begitu berbeda? Meski begitu, Collnya ditolak dan Koinnya di terima.
"Kalau begitu, kita cari tokonya."
Aku mengangguk dan langsung mengganti posisi tegak, lalu keluar dari tempat penginapan ini.
※※※
Saat ini kami sedang kebingungan untuk mencari sebuah toko baju. Di sekitar ini terlalu sepi, hanya ada orang-orang bertubuh besar, berotot dan membawa sebuah pedang di punggung mereka masing-masing. Untungnya setelah kami berjalan melewati mereka, kami terlihat di abaikan karena mereka sedang bercanda gurau.
Ketika aku memeriksa koin di dalamnya, ada lebih dari sepuluh koin keping perak dan lima koin keping emas. Bisa digambarkan 10 koin keping perak= 1 koin keping emas, begitu sebaliknya, 1 koin keping emas= 10 koin keping perak.
Sebelumnya kami memiliki 25 koin keping emas, tapi karena harus membayar penginapan kamar ini, koin emas kami tersisa menjadi 5 koin keping emas.
Sejujurnya, harga sewa itu terlalu mahal bagi kami, apalagi bagi orang yang pengangguran atau tidak bekerja sama sekali. Lagipula, aku sarapan di penginapan (yang tidak terlalu lezat) kemarin malam dan langsung menuju kamar ini untuk beristirahat.
Aku pikir kami sudah berjalan sekitar tiga puluh menit. Dengan asumsi kecepatan empat kilometer per jam, itu dua kilometer. Aku sangat lelah. Bahkan belum begitu lama, tetapi berpikir seperti inilah masa depanku.
Aku merindukan jalan beraspal di Kekaisaran, dan mulai merasa menyesal dan bersyukur bahwa aku bisa tinggal di sana.
Aku pikir ini sudah satu jam sejak kami mulai berjalan.
"Tunggu sebentar... kita istirahat singkat terlebih dahulu." Aku menunjuk ke suatu tempat dimana itu adalah pemandangan air mancur tersedia batu bata sebagai kursi untuk di jadikan tempat duduk wisatawan. Jadi kupikir itu bisa dimanfaatkan untuk beristirahat.
Elizabeth mengangguk sepenuhnya, dan merubah arahnya berbelok menyerong ke samping menuju kursi tersebut.
"..."
Terlepas dari kenyataan bahwa secara harfiah beberapa detik yang lalu, dari balik awan matahari terlihat bersinar, mewarnai langit dengan warna biru muda. Sekarang langit benar-benar sangat cerah.
Keramaian yang panjang adalah suasana yang menjadi alasan mengapa kota ini disebut kota penuh para petualang. Rata-rata di antara mereka, berpakaian armor besi, jubah pendek, dan masing-masing orang membawa berbagai macam senjata unik. Mulai dari pedang, belati, busur, tombak, dan wajan? Ah, mungkin itu sebagai pelindung punggung.
Meskipun dikatakan ramai, namun kesunyian di antara kami yang terasa panjang.
Tidak ada satupun kata-kata bernyanyi dari Emosi, namun kata-kata yang Logistik tidak bisa ditemukan. Daripada sebuah kata yang tidak masuk akal, tak ada yang lebih selain untuk diam. Karena itu, kesenjangan ini hanya bisa disebut dengan keheningan.
Seseorang mengatakan bahwa percakapan bisa berubah lama. Mungkin menurutku juga begitu. Percakapan berakhir, tapi apa yang seharusnya lebih jauh adalah kata-kata yang memperjelas keadaan. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, dan adegan tersebut berakhir dengan senyuman dan anggukan.
Terlepas dari kenyataan bahwa kami telah pergi sejauh ini. Aku menahan tanganku sendiri agar tidak melarikan diri, melarikan diri dari keheningan yang tak tergoyahkan ini. Sepertinya timingnya begitu pas untuk menghilangkan suasana canggung ini, dia sedari terlihat terpukau dengan air mancur, aku pun berkata:
"Apa kau sebegitunya menyukai air mancur?"
Ini sedikit mengkhawatirkan ketika aku memulai berbicara, aku bergeser secara perlahan ke arah Elizabeth, karena yang duduk disebelahku lagi adalah seorang gadis cantik berambut perak. Aku perlahan merapat ke Elizabeth.
"Tentu—" seketika ucapannya lenyap, untuk sesaat kami saling bertukar pandangan, dan jarak kami saling berhimpitan dalam jarak 4 senti.
"Kyaaaaaaaaaa!"
Bersamaan dengan teriakan mungil itu, secara refleks dan spontan Elizabeth melayangkan tangannya PLANK—menampar wajahku. Sekejap tak sempat menghindar bahkan mengedipkan mata sekalipun, aku terlempar ke udara dan terkapar di lantai jalan.
Orang-orang di sekitar menjadi terhenti langkah kakinya, dan melihat ke arah kami sejenak.
"........aah," pipiku memerah, dan membengkak.
Dengan kedua tanganku, mungkin dapat menahan rasa sakit ini akan tetapi, aku tidak tahan jika harus dilihat banyak orang sekitar tentang adegan distorsi barusan dah itu sangat memalukan.
"M—maaf, aku tidak sengaja." Elizabeth melompat dari batu itu dan menghentakan kakinya ke lantai jalan, lalu menurunkan tatapannya ke arahku.
Saat ini posisiku terlempar tidak jauh dari tempat dudukku di depan air mancur. Di seberang jalan dari Area air mancur terdapat sebuah toko pakaian, itulah yang kami cari sejak satu jam yang lalu. Namun, aku tidak bisa bangkit sekarang, jika aku berdiri sekarang, wajahku akan terlihat dan aku tidak ingin harga diriku menurun hanya karena ini. Namun.
"Apa kau tidak apa-apa?"
Ketika aku tertelungkup di tanah, aku bisa mendengar suara lebih halus, lembut dan mungil di depanku. Itu adalah suara yang tak kukenal, sekedar ini tahu siapa orang itu, aku mengangkat wajahku dan—
Aku bisa melihat seorang gadis sangat cantik berambut lurus, panjang dan berwarna perak berkilauan. Dia mengulurkan tangan kanannya dengan lembut, dan tersenyum manis sambil memperhatikan wajahku. Aku tidak tahu perasaan apa ini, aku merasa seakan-akan dia merupakan karakter heroine yang sesungguhnya. Dengan terpana, aku meraih tangannya yang mungil.
Berlanjut...
Note: Selalu berikan dukungan pada Authornya, dengan cara memberikan «vote» kalian. Agar si Author lebih bersemangat dalam melanjutkan ceritanya!