Rintik hujan terdengar. Kaca-kaca apartemen mengembun, membentuk bulir air hujan yang terlihat menyakitkan. Seorang gadis berdiam diri, memeluk tubuhnya sendiri di antara dinginnya udara yang menyedihkan.
Helaan nafas berat terdengar, gadis yang semula meringkuk kini mulai terlentang di atas ranjang berukuran sedang miliknya. Matanya memperhatikan langit-langit ruangan yang terlihat monoton. Tak apa, lagipula pikirannya bukan mengenai mengapa langit-langit kamarnya berwarna putih. Otak gadis itu terus berjalan, memutar segala ingatan masa lalu yang menyakitkan.
Sayangnya, lebih dari rasa sakit itu ada rindu yang tak menentu. Datang tanpa ketukan pintu kemudian masuk dan menjelajah pikiran Adeeva. Air mata tiba-tiba menetes tanpa diperintah. Tangan cantik dengan kuku berwarna cream kini mengusap tetesan air di pipinya.
Dia tidak akan lemah lagi. Dia harus sekuat baja, setidaknya setelah di hantam ribuan realita.
"Aku harus kuat..." lirihnya sebelum terlelap. Gadis itu masuk ke dalam mimpi menyakitkan, seakan semesta memburunya dengan anak panah hingga ke alam mimpi hanya demi menyakitinya.
Tak lama setelah dirinya terlelap, Adeeva kembali membuka matanya dengan cepat. Ia menyadari posisinya kini sudah terduduk di atas sofa. Adeeva menghela nafas berat dan memeriksa lengan kirinya. Gadis itu sudah tidak heran saat menemukan darah yang menetes dari luka sayatan di sana.
Adeeva juga menemukan cutter yang di tangan kanannya. Dia segera turun dari sofa menatap tetesan darah yang masih basah di sekitar lantai berwarna putih. Adeeva kemudian mengambil sebuah kain putih untuk membersihkannya lalu membuangnya di tempat sampah. Gadis dengan balutan piyama satin itu kembali ke tempat tidurnya setelah dirasa darah yang mengotori lantai sudah bersih. Dia tidak mempedulikan tangannya.
"Lagi-lagi aku kambuh saat mimpi itu kembali," gumam Adeeva sambil tersenyum kecut.
***
Kepala Yudistira bersandar di pintu salah unit apartemen. Dia melirik ponselnya yang menunjukkan pukul dua dini hari. Yudistira hanya mengenakan kaos berwarna abu-abu yang terlihat membungkus erat tubuhnya dan celana pendek berwarna hitam yang dapat mencetak jelas bukti gairahnya.
Sudah hampir lima belas menit Yudistira merutuki dirinya sendiri karena tanpa sadar menghampiri Adeeva di waktu yang tidak tepat. Seharian tanpa Adeeva membuat Yudistira merasa uring-uringan. Dia merasa dirinya berbeda. Seakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya.
Yudistira menarik nafasnya panjang-panjang, kemudian membalik tubuhnya berniat meninggalkan apartemen Adeeva. Tetapi ponsel di tangannya bergetar, memperlihatkan nomor Bastian di sana. Pasti pemuda itu meracau tidak jelas saat mabuk.
"Hei, Yudis!" Seperti dugaan Yudistira, suara Bastian terdengar seperti orang mabuk.
"Lo di club?" Tanya Yudistira saat mendengar suara bising dibalik telepon.
"Lo mau gue kasih tau sesuatu GAK?!" Sudah dipastikan Bastian mabuk berat. Dia meracau tidak jelas, bahkan tidak mendengarkan Yudistira.
"Apaan? Kode brankas isi duit di lemari kantor lo?" Tanya Yudistira dengan iris mata yang terlihat malas. Meladeni Bastian saat mabuk adalah hal yang sangat memuakkan. Tak nanggung-nanggung, sahabatnya itu selalu memberitahu hal-hal tidak masuk akal kepadanya. Seperti ukuran bra Ceyza, celana dalam yang tidak sempat diganti dua hari, atau resep rahasia nasi goreng buatan ibu tirinya.
"Lo mau tahu orang paling bodoh di dunia ini?" Lagi-lagi Bastian menghiraukan ucapannya. Baiklah, jika sudah seperti ini maka Yudistira memilih untuk diam dan tak menggubris ucapan sahabatnya yang mulai gila.
"Orang paling bodoh di dunia ya lo," gumam Yudistira dengan suara yang sangat pelan.
Kali ini dia dapat mendengar tawa Bastian yang melengking. "Orang paling bodoh di dunia adalah lo! Bisa-bisanya masih gak sadar sama cinta masa lalu lo sendiri."
Bersamaan dengan itu, pintu apartemen dibelakangnya terbuka. Adeeva terlihat cukup berantakan dengan baju tidur satin yang dia kenakan. Gadis itu menatap Yudistira penuh tanda tanya, perihal apa yang sedang dilakukannya dini hari di luar apartemennya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini, Sir?" Tanya Adeeva.
Yudistira tanpa sadar melangkah maju, menghampiri Adeeva dan menarik gadis untuk masuk ke dalam apartemennya. Dia khawatir saat melihat Adeeva tampak pucat, seperti memang benar-benar sakit.
"Sir!" Sentak Adeeva yang sedikit terkejut dengan tingkah Yudistira yang terlalu mendadak.
Gadis itu menahan dada Yudistira yang mulai mendekatinya. "Apa yang kau lakukan?" Tanya Adeeva dengan raut wajah ketakutan.
"Apa kau sakit?" Yudistira menempelkan punggung tangannya di kening gadis itu. Dia tidak merasakan suhu tubuh yang terlalu tinggi.
"Kau tidak demam. Lalu kenapa kau pucat?" Tanya Yudistira lagi.
Adeeva yang merasa semakin terdorong oleh tubuh kekar milik Yudistira, akhirnya terus menahan dada pria itu dengan kedua tangannya. Sayangnya, tangan Adeeva tak luput dari pandangan Yudistira.
Pria itu tertegun melihat bekas luka di pergelangan Adeeva sebelah kiri. Luka yang cukup dalam dan terlihat baru. Ada apa dengan Adeeva sebenarnya?
"Apa yang terjadi padamu, Adeav?"