Benar, hari ini tepat delapan tahun kecelakaan itu berlangsung. Kecelakaan mengerikan yang mengubah hidup Adeeva seratus delapan puluh derajat lebih baik. Adeeva mengakuinya, hidupnya setelah bebas dari kedua orang tua lebih baik berkali kali lipat. Meski kadang dia menyesalkan ingatan Yudistira yang menghilang, namun gadis itu mencoba untuk mengambil hikmahnya.
"Apa kau melewatkan kecelakaan itu saat menggali informasi tentangku?" Suara Yudistira membuat gadis itu tersadar. Iris matanya menangkap Yudistira yang tengah menatap kosong ke jalanan.
Gadis itu menyembunyikan tangannya yang mengepal sempurna, berusaha menahan rasa sakit pada hatinya. Dia berkeringat dingin jika harus mengingat hari itu. Hari dimana kedua orang tuanya menyiksa Aseeva dengan cukup kejam. Dan juga hari dimana dia kehilangan Yudistira.
Kecelakaan itu ada pada benak Adeeva, sayup-sayup dirinya mendengar suara truk dan hantaman keras pada tubuhnya. Ada luka tersendiri pada dirinya jika mengingat hal tersebut.
'Enggak, aku yang paling tau perihal kecelakaan itu lebih dari siapapun.' Batin Adeeva.
Gadis itu kini tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. "Iya, sepertinya aku melewatkan hal yang cukup penting. Memang kecelakaan apa itu? Mengapa kau sampai harus memperingatinya? Apa sepenting itu, Sir?"
Manik mata Yudistira menatap ke langit mendung, menerawang segala kekosongan hatinya yang terasa terpenuhi kala mengingat berada disini.
"Hanya kecelakaan biasa, tidak ada yang penting." Jawab Yudistira penuh keyakinan.
Hati Adeeva berdenyut nyeri saat kata 'tidak penting' meluncur dengan lancar dari bibir yang semalam menciumnya. Apa Yudistira benar-benar tak memiliki keinginan untuk mendapatkan ingatannya kembali?
***
Hari ini Yudistira pulang ke manshion keluarganya. Ayahnya mengundang Yudistira untuk makan malam bersama, meskipun sangat Yudistira yakini bahwa ini hanya kedok untuk mengenalkan Yudistira kepada anak rekan kerja ayahnya.
Yudistira mengenakan setelan formal serba hitam, berjalan menyusuri koridor dengan diikuti beberapa karyawan. Kemudian senyumnya mengembang saat melihat seseorang yang dia rindukan tengah berdiri diujung koridor. Yudistira sampai mempercepat langkahnya untuk menemui orang tersebut.
"Mengapa tidak mengabariku, Evan!" Sambut Yudistira sambil menepuk pundak pria di depannya.
"Maaf Tuan," pria yang Yudistira panggil dengan sebutan Evan tersebut menunduk hormat.
Evan Briantama, pria dewasa berusia 25 tahun itu adalah tangan kanan Yudistira. Dia selalu mengatur semua urusan Yudistira dari masalah perusahaan hingga ke masalah pribadi. Selama dua bulan ini, Evan diperintahkan Yudistira untuk mengawasi pembangunan hotel baru di Negeri Sakura, Jepang.
Yudistira sedikit mendekat, berbisik pada Evan untuk menemuinya setelah acara makan malam. "Temui aku di penthouse setelah acara makan malam, dan laporkan semua yang kau temukan tentangnya."
Setelah mengatakannya, Yudistira kembali berjalan menuju ruang makan terletak dekat dengan kolam renang indoor keluarganya. Iris matanya dapat melihat Ayah, Bunda, Mbak Adenia, beserta suaminya sudah bersiap di sana. Tentu saja Yudistira terlambat karena harus mengantarkan Adeeva ke apartemennya.
"Selamat malam, Bunda!" Yudistira mengecup pipi bundanya sengan mesra kemudian memilih untuk duduk di depan Adenia.
"Kau tidak menyapa Ayah?" Bambang Adyatama merasa tersinggung lantaran Yudistira hanya menyapa Clarina, ibu kandung dari Yudistira.
"Tidak perlu, kecuali kalau Ayah mau membelikan mobil baru untuk Yudistira." Balas Yudistira. Pria tersebut melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Keluarga mereka bukanlah keluarga yang memiliki banyak aturan. Mereka bisa bebas berekspresi sesuka hati, tidak seperti keluarga kaya raya pada umumnya.
"Kau memiliki uang sendiri, kenapa meminta Ayah untuk membelikannya?" Tuan Adyatama tidak bisa membiarkan anaknya menghabiskan harta miliknya terus menerus disaat dia sudah memiliki harta kekayaannya sendiri.
"Tidak usah berdebat, nanti biar Bunda belikan ya sayang? Kirim saja foto mobil yang kau inginkan kepada Bunda," Tuan Adyatama segera menimpali ucapan istrinya, dia merasa Clarina terlalu memanjakan Yudistira. "Kau terlalu memanjakannya, sayang."
Clarina Adyatama, wanita dengan rambut coklat terang yang senada dengan bola matanya. Kecantikan Clarina terlihat jelas menurun pada Adenia yang menjadi tipe idaman para laki-laki. Sifat penuh kasih sayang serta perhatian besar yang Clarina miliki selalu mengiringi perjalanan hidup anaknya. Adenia dan Yudistira tidak pernah kekurangan kasih sayang sedikitpun. Wanita itu berhasil mendidik mereka menjadi orang yang penuh tanggung jawab serta memiliki sopan santun.
"Sepertinya Yudistira harus cepat menikah agar tidak manja, Mama." Berbeda dengan Yudistira yang memanggil Clarina dengan sebutan Bunda, Adenia memanggilnya dengan sebutan Mama.
Yudistura mendelik kepada Adenia, seenaknya saja kakaknya itu mengompori bunda untuk segera menikahkannya. "Mbak!"
"Kau benar sayang, itulah mengapa Ayah meminta kedatangan kalian ke acara makan malam ini. Kita akan kedatangan tamu, calon istri Yudistira."Ucap Clarina.
Yudistira mendengus kesal, sorot matahya terlihat tajam, tak menyukai apa yang di dengarnya.
"Apa Mbak Adenia yang mengusulkan acara murahan seperti ini?" Tanya Yudistira.
Adenia merasa tidak terima dituduh oleh adiknya, "aku terlalu sibuk untuk mengurusi perjodohanmu. Hanya menghitung hari aku akan menikah,"
"Lagipula sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan Mbak?"
Yudistira baru menyadarinya. Seingatnya dia selalh memanggil Adenia dengan sebutan kakak, entah mulai kapan panggilan mbak terasa lebih nyaman di bibirnya.
Mereka tak bisa melanjutkan perdebatan saat sepasang suami istri beserta seorang perempuan yang terlihat lebih muda datang dari koridor utama. Yudistira menatapnya malas, dia sudah cukup pusing dihadapkan dengan gadis bernama Adeeva, sekarang dia juga harus berurusan dengan seorang gadis yang bahkan sepertinya baru lulus SMA.
"Selamat datang Antonio, selamat datang Hera." Clarina menyambut hangat keluarga Antonio, bahkan sampai memeluk Hera. Yudistira bisa menebak kalau Hera adalah salah satu teman SMA nya. Pasti alasan perjodohan ini karena sebuah persahabatan, ck! Alasa murahan.
"Mari duduk dan bergabung dengan kami," Tuan Adyatama mempersilahkan, kemudian mereka bersalaman dengan Adenia, Axel, dan terakhir Yudistira.
Perempuan itu duduk tepat disamping Yudistira. Roknya yang pendek sengaja ia sikap mencoba menggodanya. Yudistira merasa jijik, pilihan orang tuanya tak pernah benar. Wanita yang dijodohkan dengan Yudistira hanpir semuanya seperti wanita bayaran. Entah itu memang sifat aslinya atau sifat yang tiba-tiba muncul bersamanya.
"Selamat atas pernikahanmu, Adenia." Kata Hera.
"Terima kasih, perkenalkan dia calon suamiku namanya Axelious." Axel tersenyum hormat sambil menerima uluran tangan mereka.
"Kalian sangat serasi padahal dijodohkan, mungkin Yudistira dan Fania juga akan seperti itu," kalimat yang keluar dari mulut Antonio membuat Yudistira tersedak ludahnya sendiri. Jadi, perempuan muda di sampingnya ini bernama Fania? Apa mereka tidak memiliki otak dengan menjodohkan gadis semuda itu kepadanya.
"Maaf, tetapi itu tidak akan terjadi. Saya menentang keras perjodohan ini, apalagi anak kalian masih sangat muda. Saya permisi terlebih dahulu karena ada urusan penting," Yudistira berdiri, kemudian menunduk hormat. Baru saja hendak meninggalkan meja makan, perintah ayahnya membuat Yudistira kembali terdiam.
"Duduk kembali, kita sudah mensepakati perjodohan ini. Kalian akan bertunangan saat pernikahan Adenia,"