Beberapa tahun yang lalu...
Bambang Adyatama, pemilik perusahaan properti terbesar di Asia. Dia adalah orang paling berpengaruh di Indonesia, negara kelahirannya. Pria paruh baya dengan parasnya yang masih tampan tersebut menggeram marah sambil meremas ponselnya dengan kuat.
Otot-otot di tangannya mulai menegang, muncul di balik kulit seputih susu yang dia miliki. Matanya menggelap penuh amarah, dengan rahang dan gigi yang bergelatuk menandakan kuatnya emosi dalam diri Bambang Adyatama.
"Singkirkan gadis itu sekarang!" Suara Bambang Adyatama terdengar sangat keras hingga terdengar ke telinga istri dan anak gadisnya.
Clarina dan Adenia segera menghampiri pusat kegaduhan tersebut. Mereka menemukan sosok Bambang Adyatama yang telah dilingkupi aura kemarahan yang sangat besar.
"Itu bukan kecelakaan biasa," suara Bambang Adyatama terdengar penuh dendam, bahkan setiap katanya penuh penekanan.
"Maksudnya?" Clarina mendekat, menuntun sang suami agar duduk dan mencoba menenangkan diri. Suaminya itu memang cenderung sulit untuk menghadai emosinya. Bambang Adyatama adalah orang yang cukup tempramen. Amarahnya sangat tidak terkontrol.
"Kedua orang tua gadis itu yang mencoba mencelakai Yudistira." Ucapnya dengan tangan mengepal sempurna.
Clarina dan Adenia sama-sama terkejut mendengarnya. Keduanya langsung berkecamuk dengan dirinya masing-masing.
"Memang apa salah Yudistira sampai mereka melakukan hal ini?" Tanya Clarina dengan suara yang sangat lembut. Dia selalu bisa mengimbangi amarah suaminya.
"Sedang di selidiki lebih lanjut. Yang jelas, aku tidak mau melihat gadis itu lagi. Kita harus menyingkirkannya karena berani mencelakai Yudistira." Geram Tuan Adyatama. Kepalan tangannya semakin mengerat, dengan otot-otot yang terlukis jelas di sana.
Di sisi lain, Adenia membeku. Adeeva tidak boleh di singkirkan begitu saja. Yudistira pasti akan sangat menderita jika Adeeva mati di tangan ayahnya. Yudistira, sang adik selalu mati-matian menjaga Adeeva selama ini. Dia bahkan sering bercerita bahwa tidak akan membiarkan siapapun untuk mencelakai Adeeva. Hidup Yudistira seolah bergantung pada gadis itu. Rasa cinta Yudistira pada Adeeva lebih besar dari yang Adenia lihat.
"Biar Adenia yang mengurusnya." Adenia tidak ada pilihan lain. Dia harus segera memindahkan Adeeva dan menutupi semua identitas gadis itu dari sang ayah. Adeeva harus tetap hidup setidaknya sampai Yudistira siuman.
***
"Sepertinya kalian kedatangan personil baru, siapa namanya?" Tanya Bambang Adyatama.
Jangan tanyakan lagi secepat apa jangung Adeeva berdetak sekarang. Pasalnya gadis itu terlihat jelas sedang sangat gugup hingga keringan dingin mengalir deras melalui pori-pori kulitnya. Bibir Adeeva sedikit terbuka, namun belum mengeluarkan suaranya. Tidak ada Adenia yang bisa menolongnya.
"Dia ke—" Zion yang peka terhadap keadaan hampir saja berbohong dengan mengatakan bahwa Adeeva adalah kekasihnya, tetapi terlambat. Kalimatnya yang belum usai sudah di potong dengan cepat oleh sahabatnya, Yudistira Adyatama.
"Sekretarisku. Namanya Adeav," potong Yudistira membuat Adeeva segera tersenyum canggung kemudian membungkukkan tubuhnya, tanda hormat pada sang atasan.
"Saya Adeav, sekretaris baru dari Mr. Adyatama." Adeeva akhirnya buka suara. Tetapi, rasa gugupnya belum juga usai saat Tuan Adyatama menatapnya dengan sangat intens, seakan memperhatikan setiap detail dari tubuh dan wajahnya.
"Kau sangat cantik. Kau lebih cocok menjadi model daripada sekretaris. Tidak ingin mencobanya?" Tanya Tuan Adyatama.
Adeeva dapat bernafas lega, setidaknya ayah dari Yudistira tidak mengenali dia. Mungkin karena dulu mereka belum sempat bertemu.
"Saya mencintai pekerjaan saya, Tuan." Balas Adeeva sambil berusaha tersenyum.
***
Satu hari rasanya sangat lama. Adeeva sudah mulai jenuh dan ingin pulang. Gadis itu sekarang bersama Yudistira sedang menikmati beberapa makanan. Tetap saja mood Adeeva yang sudah memburuk membuat nafsu makannya juga ikut menurun.
"Aku di sini menemanimu hanya karena kasihan, jangan berharap lebih." Entah sudah berapa kali Yudistira mengatakan hal tersebut, membuat Adeeva merasa malas dan moodnya semakin menurun drastis.
"Bukan aku yang meminta. Lagipula aku bisa menikmati pesta tanpamu, Sir." Balas Adeeva. Dia sudah tidak mempedulikan etika kerja yang ada. Yang jelas, Adeeva sudah muak karena Yudistira tidak mengijinkannya untuk pulang.
Saat keduanya sedang mencari tempat duduk, seorang gadis cantik dengan bodycon dress berwarna merah menghampiri mereka. Belahan dada yang rendah dan dress yang sangat ketat tersebut mencetak dengan jelas tubuh pemiliknya.
Tanpa aba-aba, gadis tersebut menggandeng lengan Yudistira. Membuat Adeeva sangat terkejut dan marah. Tidak hanya Adeeva, tetapi Yudistira juga demikian.
"Maaf, anda siapa dengan beraninya menggandeng lengan Yudistira?" Adeeva menepis lengan gadis tersebut. Bukannya merasa malu, dia malah menyenderkan kepalanya di pundak Yudistira.
Bola mata Adeeva semakin membulat sempurna, dia merasa bingung dan marah secara bersamaan.
"Lepaskan aku Fania." Suara berat itu akhirnya terdengar. Yudistira terlihat malas dan mencoba menyingkirkan gadis bernama Fania tersebut dari dirinya.
"Kak! Kita 'kan mau tunangan. Kok kakak malah dingin gini sama aku?" Suara Fiona benar-benar terdengar seperti anak kecil. Adeeva bisa menduga usia gadis itu belum genap 20 tahun.
Di sisi lain, entah mengapa Yudistira tidak bisa mengalihkan matanya dari sosok Adeeva yang terlihat sedang... cemburu? Terlihat jelas gadis itu memalingkan wajahnya, jijik melihat kedekatannya dengan Fania. Entah mengapa hati Yudistira tergelitik merasa senang.
Tidak bisa Yudistira pungkiri, Adeeva terlihat sangat menawan dan cantik. Matanya tidak bisa berpaling sedikitpun dari sosok sang sekertaris dengan rambut merah yang sangat mencolok. Matanya terus memperhatikan Adeeva, bahkan saat dia di goda oleh seorang buaya darat yang juga dia kenal.
Yudistira yang merasa gengsi tidak bisa berbuat apapun saat melihat Adeeva terlihat nyaman dengan Davion. Untung saja Zion yang berada di sebelahnya segera peka terhadap keadaan kemudian membawa Adeeva menjauh.
"Tunangan? Kau tidak bilang bahwa akan bertunangan." Suara Adeeva membuat Yudistira tersadar. Dia menyentak keras lengan Fania kemudian segera membuat jarak antara keduanya.
"Hanya perjodohan merepotkan." Balas Yudistira membuat Adeeva merasa sedikit lega.
"Kak! Aku bakal bilang sama Papah ya kalau Kakak kayak gini." Fania terlihat kesal. Kakinya menghentak lantai dengan cukup keras membuat beberapa pasang mata memperhatikan mereka.
Adeeva memutar bola matanya dengan malas. "Dasar perempuan tidak tahu malu. Yudistira sudah bilang bahwa dia tidak menyukai perjodohan ini. Kenapa ngotot sekali? Apa tidak ada yang menyukaimu sampai harus mengemis kepada seseorang yang tidak menyukaimu?"
Fania tersulut emosi mendengarnya. Memangnya siapa gadis ini sampai berani mengatur kehidupan Yudistira, calon tunangannya?
"Memangnya kau siapa sampai berani sekali mengatakan seperti itu? Kau salah satu pelacurnya Yudistira?" Fania berkacak pinggang. Rahangnya terangkat sempurna dengan angkuh. Gadis itu bahkan menunjukkan seringaiannya saat melihat Adeeva diam tak bisa menjawab.
Adeeva diam. Dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan bahwa dirinya hanya sebagai sekretaris, itu akan semakin membuat Fania merendahkan harga dirinya.
"Dia milikku." Tangan besar seseorang melingkar sempurna di pinggang ramping milik Adeeva, membuat gadis itu menoleh melihat pelakunya.
Yudistira kini sangat dekat dengannya. Tubuh keduanya terlihat rapat dan intim ditambah dengan tangan Yudistira yang melingkar di pinggangnya. Adeeva membeku. Otaknya seakan gagal berfungsi dengan hati dan jantung yang berkompromi saling berdetak cepat.