Aku Vanessa Pricillya. Perempuan berusia 20 tahun keturunan asli Indonesia. Lahir dan di besarkan di Indonesia. Dan melanjutkan jenjang pendidikan perguruan tinggi di Amerika.
Aku melanjutkan jenjang pendidikan perguruan tinggi ku di Amerika menggunakan Beasiswa. Ayah dan Ibuku sudah meninggal beberapa tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku Kelas 2 SMA. Saat ini aku menjalani hidup sendirian tidak ada keluarga atau teman yang menemani.
Kalian pasti bertanya-tanya bukan? Kemana perginya semua keluargaku. Aku tidak tau kemana mereka sema menghilang. Bahkan saat aku sedang sedih tidak ada yang memberiku semangat. Aku jadi ragu apakah itu yang disebut keluarga.
Sudahlah aku juga sudah tidak perduli 'keluarga palsu' ku itu. Yang terpenting sekarang aku sudah bisa mencapai apa yang aku impi-impikan dari dulu.
Aku tinggal menjalani hidup dengan baik tanpa harus mengingat-ingat tentang masa lalu ku yang kelam itu.
Saat ini aku sedang berjalan sendirian menuju ke rumah. Hari sudah malam tapi aku masih saja di luar. Kalau ditanya apakah aku takut? Tentu saja aku takut, terlebih lagi akhir-akhir ini ada kasus pembunuhan di sekitar daerahku. Wajar saja kan kalau aku takut. Tapi aku tidak punya pilihan, kuliahku memang selesai pada malam hari. Aku sengaja mengambil jadwal kuliah sore hari, karena pagi harinya aku harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupku selama di negeri orang.
Sudah aku bilang bukan? Aku bisa kuliah karna mendapatkan beasiswa. Beasiswa itu hanya membayar uang kuliahku saja, tidak dengan kebutuhan hidupku. Terlebih lagi tidak ada saudara yang mau membiayai ku. Jadi, mau tak mau aku harus membagi waktu kuliah ku dengan bekerja. Agar aku bisa bertahan hidup di negeri orang.
Aku terus melangkahkan kakiku. Sambil mendengarkan lagu yang sedang aku putar. Untuk menghalau rasa takut ku aku mengikuti irama lagu tersebut.
Karena terlalu asik dengan duniaku. Tanpa sadar aku sudah sampai di daerah rumahku yang katanya terjadi tragedi pembunuhan itu.
Tanpa di komando tiba-tiba saja sekujur tubuh ku merinding.
Aku mencoba menghalau rasa takut ku dengan bersikap seperti tadi. Mendengarkan lagu sambil mengikuti irama lagu yang sedang ku dengar.
Semua baik-baik saja hingga aku sampai tempat dimana aku tinggal. Saat ingin melangkahkan kakiku untuk masuk kedalam rumah, aku seperti melihat siluet seseorang berada di belakang rumahku.
Awalnya aku tidak ingin menghiraukan siluet tersebut. Tapi karena rasa penasaranku sangat tinggi, aku mencoba memberanikan diri untuk melihat apakah benar ada seseorang di belakang rumahku.
Aku mulai melangkahkan kaki dengan sangat perlahan. Aku terus melangkah dngan sangat hati-hati sampai pada akhirnya, aku hanya bisa terdiam melihat apa yang terjadi di depanku.
Tepat di depanku seorang pria sedang membunuh pria paruh baya. Aku sangat shock melihat kejadian ini, aku hanya bisa mematung. Walaupun aku tau aku bisa dalam bahaya karna menjadi saksi pembunuhan yang telah terjadi.
Hati ku berkata aku harus kabur dan berlari sejauh mungkin. Tapi tubuhku berkata lain. Kaki ku rasanya mati rasa, sangat sulit untuk digerakkan.
Cukup lama aku berada dalam posisi tersebut. Hingga pria yang sedang membunuh itu menoleh dan melihat kearahku. Seketika aku tersadar, bahwa pria tersebut telah menyadari keberadaanku.
Sadar aku dalam bahaya, tubuhku bergerak lebih cepat. Aku lari sekuat tenagaku agar tidak tertangkap oleh pria itu.
Tapi ternyata keberentungan sedang tidak berada di pihakku. Aku merasakan pingganggu di peluk erat dari belakang oleh seseorang.
Aku segera memejamkan mataku dan menghela napas, karena telah mengetahui siapa orang itu. Aku pasrah dia akan berbuat apa saja kepadaku. Karena aku melihat yang seharusnya tidak aku lihat.
"Mau lari dari ku, Nona?" bisik pria itu dengan pelan.
"Kau takkan bisa lari dariku lagi, my Ily."
***
Sinar matahari yang masuk melalui gorden jendelaku mengusik ketenangan tidurku. Aku menggeliat dan mengerjakap mataku untuk menyesuaikan cahaya.
Aku melihat ke sekelilingku, rasa-rasanya ini bukan seperti kamarku. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku tadi malam.
Spontan aku langsung bangun setelah mengingat apa yang terjadi tadi malam. Aku telah tertangkap oleh pria itu. Seketika aku sedikit takut memikirkan apa yang akan dia lakukan padaku.
"Bagaimana ini? Aku bisa celaka kalau dia segera menemui ku. Apa aku kabur saja ya?"
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang sangat aku kenal.
"Jangan berpikir kau bisa lari dariku manis."
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar dugaan ku dia adalah pria yang semalam aku pergoki sedang membunuh orang.
Melihat tidak ada respon dariku, dia berjalan menghampiriku yang masih memikirkan cara agar bisa terlepas darinya.
"Kau sedang memikirkan apa hm?" tanya pria itu dengan lembut.
"Memikirkan cara bagaimana agar bisa terlepas darimu," ucapku ketus.
Tawa pria itu berderai setelah mendengar ucapan ku yang begitu ketus.
"Wah...berani juga kau berbicara ketus kepadaku."
Seketika aku tersadar apa yang telah aku lakukan. Aku menoleh horror kearahnya. Dan pria itu tertawa lagi melihat raut wajahku.
"Sudah-sudah, Sudah cukup main-mainnya. Sekarang ada hal yang lebih penting yang aku ingin tanyakan kepadamu," sambil terkekeh geli.
"Apa itu?" tanyaku ketus.
"Kenapa kau menghindar ku hm?" ucap pria itu sambil mengelus pelan pipiku.
"Bukankah kau sudah sering melihat aku membunuh seseorang? Mengapa seakan akan kau seperti orang yang baru pertama kali melihat pembunuhan secara langsung?"
Aku cemberut mendengar perkataannya. Semua yang dikatakannya memanglah benar. Aku tidak takut melihat pembunuhan. Aku hanya takut untuk bertemu pria ini lagi. Karena aku sedang malas dengannya, "Itu karena aku malas melihat mukamu, makanya aku menghindari mu dan berlari."
"Kenapa? Apakah aku melakukan kesalahan? Sampai-sampai tunangan ku ini tidak mau menatap ku."
YAP! Memang benar aku adalah tunangan dari seorang pembunuh. Pasti kalian bertanya-tanya kan kenapa bisa? Dan kenapa aku mau dengan seorang pembunuh. Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa jatuh cinta dengannya. Yang aku tahu aku tidak merasakan takut sedikit pun saat dekat dengannya. Malah aku sangat nyaman dan aman saat dekat dengannya.
Jadi tidak ada alasan khusus kenapa aku bisa bertunangan dengannya. Itu semua karena aku jatuh cinta dengannya, jatuh cinta karena perlakuan nya selama ini kepadaku.
Oke, kembali ke topik.
"Iya. Itu karena kau berbohong padaku, kau bilang kau akan menemaniku pergi, tapi kau malah bekerja. Padahal aku sangat ingin ditemani olehmu."
"Saat itu situasinya sangat mendadak, aku tidak bisa menunda pekerjaanku. Aku sudah berusaha untuk mencoba bernegosiasi dengan sekretaris ku. Tapi dia tetap menolak. Jadi, aku mau tidak mau menuruti apa yang dia ucapkan."
Walaupun dia sudah menjelaskan alasannya kenapa tidak jadi mengantar ku, tetap saja aku merasa kesal. Karena hari itu hari yang sudah aku rencanakan dengan baik. Tapi semua itu hancur karena dia yang tiba-tiba membatalkan janjinya itu.
"Percaya lah padaku, aku bukannya sengaja melakukannya. Aku sungguh tidak punya pilihan lain. Tolong maafkan aku. Aku janji tidak ada lagi kejadian seperti ini lagi," ucap nya memohon kepadaku.
Melihat dia memohon maaf dengan begitu tulus, aku jadi tidak tega untuk terus-menerus marah kepadanya. Lagi pula dia sudah mengakui kesalahannya. Tidak ada salahnya bukan aku memaafkan nya.
"Baik lah, aku memaafkan mu. Tapi ingat ya janji mu, aku tidak mau terkena janji palsu lagi dari mu," ucapku sambil menatapnya tajam.
"Iya iya my Ily. Aku janji aku akan selalu mengingat janjiku itu," ucap nya sambil tersenyum lembut.
"Jadi, sekarang kau sudah tidak marah denganku lagi, kan?"
Aku menghela napas dan mengangguk meng iyakan perkataannya.
"Terimakasih my Ily, aku mencintaimu. Aku akan terus menjagamu dan tidak akan pernah melupakan janjimu padaku," ucapnya sambil memelukku dengan erat.
"Aku juga mencintai mu Axell, aku percaya padamu. Aku serahkan semua kepercayaan ku padamu," ucapku dan membalas pelukannya tak kalah erat.
Terimakasih telah hadir di hidupku Axell. Karena kau aku tidak merasa sendirian. Walaupun kau seorang pembunuh bayaran, aku tidak peduli apa yang dikatakan orang orang tentang kau. Aku tidak peduli itu semua. Asal kau tetap bersamaku dan tidak akan meninggalkanku. Itu semua sudah cukup bagiku.
End.
***