Chereads / Dream Wedding / Chapter 25 - ⭕ 25. Mimpi

Chapter 25 - ⭕ 25. Mimpi

`Selamat Membaca`

...

Aditya menggeleng heran, menunduk menatap Naya yang setia bergelayut manja di lengannya.

Entahlah, apakah Aditya harus merasa senang atau mengasihani dirinya sendiri dengan segala perubahan sikap Naya yang tiba-tiba.

Sejak acara pelukan yang baru saja terjadi siang ini, Naya tak henti-hentinya mengikuti kemanapun Aditya melangkah seakan tidak ingin melepas Aditya barang sebentar saja.

"Kak, aku ingin seblak!"

Aditya menoleh kaget, "Tidak boleh!"

Naya mendesah kecewa, "Ish, kenapa nggak boleh?"

"Kata dokter, ibu hamil tidak boleh memakan makanan pedas." Aditya menoleh menatap Naya, "Bagaimana jika, saya belikan sushi?" ucap Aditya mencoba mengalihkan keinginan Naya dari makanan pedas.

Naya menggeleng, "Huek! mendengarnya saja aku ingin mual. Aku tidak suka makanan mentah!"

Aditya berusaha memutar otak, menatap sekeliling dengan gelisah, "Bagaimana dengan makanan padang?"

"Tidak suka."

"Makanan jepang?"

"Tidak suka!"

"Engh, pecel?"

Naya mengulas senyum, "Boleh, sudah lama aku tidak makan pecel."

Fyuh. Aditya menghembuskan napas lega, "Baiklah, tunggu di sini. Saya akan menyuruh Bik Ningsi untuk membuatkanmu pecel lengkap dengan makan malam kita."

Naya mengacungkan jempol, "Ogheeeey!"

...

"Di mana Bik Ningsi?"

Calista menoleh dan menunduk hormat, "Di halaman belakang, Tuan."

"Baiklah."

Aditya melangkah santai ke halaman belakang. Namun, mendengar suara Bik Ningsi mau tak mau membuat langkah Aditya berhenti.

"Baik Nyonya besar, saya akan menjaganya dengan baik. Iya Nyonya---"

Aditya memilih bersembunyi di balik pilar rumah. Aditya ingin mengetahui dengan siapa Bik Ningsi menelpon kenapa menggunakan sapaan Nyonya besar?

"Saya sudah melakukan tugas saya Nyonya besar, Nyonya telah hamil sesuai dengan keinginan Nyonya besar."

Aditya mengerutkan kening, sebenarnya dengan siapa Bik Ningsi menelpon. Lalu, kenapa mereka seakan sedang membahas Naya.

"Tidak Nyonya, untuk saat ini semua baik-baik saja."

Apa yang baik-baik saja?

"Baik Nyonya besar, saya tutup telponnya."

"Iya Nyonya besar."

Nyonya besar? sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan. Apa Bik Ningsi sedang berbicara dengan nenek? atau dengan Ibu? atau Tante?

Bik Ningsi kembali menyimpan handphonenya dan berbalik melangkah ke dapur.

Bik Ningsi menoleh terkejut, "Astagfirullah! Tuan sedang apa di sini?"

Aditya menoleh, berdehem menatap Bik Ningsi, "Saya mencari Bibi, bisa buatkan Naya pecel?"

"B-baik Tuan," ucap Bik Ningsi tergagap.

"Terima kasih." Aditya berbalik melangkah meninggalkan halaman belakang.

"Tuan!" teriak Bik Ningsi spontan.

Aditya berhenti melangkah, "Ada apa?" ucapnya tanpa berbalik.

"S-sejak kapan Tuan berada di sini?"

Aditya mengetuk-ngetuk sepatunya, "Baru saja."

"Engh baik Tuan." Bik Ningsi menunduk hormat.

Aditya tak menjawab dan kembali melangkah menjauh.

"Naya?!"

"Huaaa, Kakak kemana saja?"

Aditya segera menarik Naya yang tengah menangis kedalam pelukannya yang hangat dan nyaman.

"Saya bilang untuk menunggu, kenapa keluar dari ruang?" Aditya mengelus surai rambut Naya lembut.

Naya melayangkan pukulan pada bahu Aditya, "Aku tidak suka! aku tidak mau jauh dari Kakak," ujar Naya semakin mempererat pelukan.

"Naya, jangan terlalu keras. Anak kita---"

Hati Naya berdesir.

Anak kita.

Tak ada aneh dari kalimat 'anak kita', tapi kenapa Naya merasakan hatinya berdesir dan sudut bibirnya berkedut? memaksa dirinya untuk melengkungkan senyuman bahagia.

"Katakan lagi!" seru Naya.

"Katakan apa, hm?"

"Anak kita, katakan lagi. Aku suka mendengarnya."

"Hanya itu?" Aditya melepaskan pelukan dan menunduk menjajarkan tubuhnya pada perut Naya.

Cup.

"Anak kita," ucapnya lalu kembali menyerbu perut Naya dengan kecupan.

Naya menunduk, "Kakak, hiksd"

Aditya kembali berdiri, "Ada apa?"

"Aku bahagia---"

"Naya?!" Aditya segera menangkap tubuh Naya dengan cepat.

Menggendongnya secara bridal style, Lalu Aditya menurunkan Naya di sofa panjang.

"Naya?" Aditya menepuk pelan pipi Naya.

"CALISTA?!" teriak Aditya.

"Iya, Tuan?" ucap Calista yang terburu-buru melangkah mendekat.

"Ada apa, Tuan?"

"Segera telpon dokter Wahidah-!" perintah Aditya, sambil terus mencoba membangunkan Naya.

"B-baik Tuan." Dengan gemetar, Calista menelpon Dokter dan menyuruhnya segera ke rumah Tuan Aditya untuk memeriksa Nyonya Naya.

...

"Naya! sampai kapan kamu akan terus berdandan?" teriak Laura dari lantai bawah.

"Tunggu sebentar lagi, Ma!"

"Cepatlah atau ayah akan terus mengomel." gerutu Laura kesal.

"Siapa yang kamu bilang akan mengomel Laura?" Revan datang dari arah belakang.

Laura berbalik, "Tentu saja kau bodoh!"

Revan menunduk menjajarkan tubuhnya, "Astagfirullah, lihat Mamamu itu sayang. Dia selalu saja mengomel, tapi terus menuduh Ayah." ucap Revan mengadu pada cabang bayi yang baru saja tumbuh lima bulan.

"Jangan mengatakan yang aneh-aneh pada anakku." Laura melipat tangannya di depan dada.

Revan menggeleng dan kembali berdiri, "Anak kita, anak kita Laura."

"Astagfirullah Mama, Ayah berhenti menebarkan keuwuan di depan jomblo sepertiku." Naya turun dari lantai bawah dengan bibir yang manyun.

"Menikah saja sana!" ujar Laura santai.

Naya mengusap dada sabar menghadapi mulut mamanya yang kian menjadi tak terkendali setelah hamil anak kedua. Semoga saja adik Naya tidak menjadi lambe-lambean.

"Aku baru berumur 23 tahun, Ma." Naya segera memakai sepatunya.

"Apanya yang 23? bulan depan usiamu sudah 24 tahun, Naya." Laura menarik tangan Revan yang sentiasa melihat perdebatan ibu dan anak ini.

"Ayo mas kita pergi, biarkan saja anak ini pergi sendiri dengan mobil kesayangannya. Siapa tau di tengah jalan, dia bisa menemukan pemuda yang tampan, kaya raya dan tentunya baik," ujar Laura yang segera berlalu dari hadapan Naya.

"Mama! mana ada pemuda di tengah jalan? emangnya tuh pemuda mau bunuh diri?" Naya mengelus dadanya sabar sekali lagi.

Katanya, orang sabar di sayang Allah dan Naya akan selalu sabar demi mendapatkan kasih sayang Allah. Kalau kasih sayang Mama, pasti pepatah itu hoax.

"NAYA?! CEPATLAH ATAU KAMI AKAN MENINGGALKANMU!"

"Astagfirullah, emak." Naya segera berlari keluar rumah, sebelum suara menggelegar kembali terdengar dan membuat seluruh warga komplek terganggu.

Sesampainya di tempat acara, Naya tak henti-hentinya mengerit bingung.

"Yah, ini teh tempat naon?"

"Bahasa apa tuh? Haeduh Naya---"

"Mama diam dulu, Naya lagi malas debat."

Laura mengulir bola mata malas. Siapa juga yang ajak debat?

"Ayo turun." Revan membuka sabuk pengamannya.

"TUNGGU! Ayah dan Mama nggak jual aku ke om-om kan?"

"Ngomong apa sih kamu dari tadi? Ngawur."

"Terus kenapa kita pergi ke club malam?"

Revan tertawa mendengar ucapan ngawur Naya, "Kita bukan pergi kesana, tapi di belakang club."

"Astagfirullah kenapa gitu, aku kan tadi udah suudzon."

Laura tak segan menjitak dahi Naya, "Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, Naya."

"Bener kata Mamamu."

"Yaudah yuk turun." Revan turun lebih dulu dan berjalan kedepan.

"Yuk turun Ma." Naya melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil.

"Ma?"

"Aduh, Mama lupa bawa hadiahnya."

Naya menepuk jidatnya, "Astagfirullah, lalu bagaimana, Ma? Ayah udah masuk duluan ke dalam pesta."

"Ayah juga ngapain, buru-buru amat. Gini aja, kamu susul Ayah. Biar Mama yang ambil kadonya di rumah," usul Laura.

"Enggak-enggak Naya nggak setuju, biar Naya aja yang ambil."

"Kamu gila, Naya? Kamu lupa kalau kamu belum lancar mengendarai mobil, yang ada bukannya mengambil kado kamu malah mengambil tempat di pangkuan Allah."

Naya menyengir, "Muehehe atau aku panggil Ayah aja, gimana?"

Laura menggeleng, "Nggak usah biar Mama aja, lagi pula nggak lama paling cuman 5 menit."

"T-tapi Mama lagi hamil."

"Jangan lebay, Naya."

"Engh, tapi---"

"Udah, Mama pergi dulu."

"Hati-hati Ma, malam ini kayaknya akan hujan."

"Iya, kamu sana gih susul Ayah."

"Baik Ma."

Naya berbalik badan. Namun, tidak melangkah melainkan menunggu mamanya pergi dari sini. Perasaannya tidak enak, apalagi ini sudah malam dn hujan sebentar lagi akan turun.

"Tunggu apa? Udah sana, jangan lebay. Oh iya sampaikan pada Ayah, mama menyayanginya. Tunggu mama datang."

Naya berbalik menatap netra Laura, "Mama ada-ada aja, hati-hati Ma awas ketemu cogan di tengah jalan," goda Naya.

"Iya sayang entar Mama aja kerumah ngelamar kamu. Assalamualaikum," Mobil Laura berjalan melewati Naya.

"Waalaikumsalam, Ma."

....

"ARGH-!"

Saat terbangun dari tidurnya Naya menutup mata merasakan sakit yang teramat sangat di kepalanya.

Malam itu, kenapa ada di dalam mimpinya? Naya ingat dengan betul, malam itu adalah malam yang terburuk bagi keluarganya.

"ARGH!" Naya berteriak memegang kepalanya. Sakit.

Aditya spontan terlonjak kaget. Menatap Naya dengan rasa khawatir.

"Naya? apa yang terjadi?" tanya Aditya.

Naya menoleh, mengerjap-ngerjap, "Kakak?"

"Ada apa? kenapa kamu tiba-tiba saja pingsan? Apa ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?"

Naya segera memeluk dan menjatuhkan kepalanya di dada Aditya, "Kakak, aku takut. Malam itu terulang kembali di mimpiku seakan ada sesuatu yang kulupakan dari kejadian malam itu. Aku takut, kepalaku sangat sakit ...."

Aditya membalas pelukan dan mengelus surai rambut Naya dengan lembut, "Tenanglah, semua akan baik-baik saja untuk saat ini." Untuk kedepannya saya juga bingung Naya, ucap Aditya di dalam batinnya.

Naya mendongak, "Kakak, kenapa kakak menangis?"

....

🌿 To Be Continud 🌿

🌿Selamat membaca dan mendukung cerita ini🌿

Salam cinta❤

Apipaa📍