Chereads / Dream Wedding / Chapter 24 - ⭕ 24. Hujan

Chapter 24 - ⭕ 24. Hujan

`Selamat Membaca`

🍁Ost - Here I Am 🍁

...

{Entah ini takdir atau tidak. Namun, yang pasti hujan selalu datang membawa segala kenangan yang melekat pada dirinya}

...

"Kakak lamban sekali, cepat kan sedikit langkahnya!"

Aditya mendumel dalam hati, salahkan Naya yang seperti babon. Kalau Naya seringan semut pasti saat ini mereka telah sampai di dapur dengan selamat.

"Sabarlah, sedikit lagi kita akan sampai di dapur," ujar Aditya sambil tersenyum tipis.

Naya memukul kepala Aditya tanpa sungkan, "Jangan berbohong, kita masih di lantai atas dan untuk turun ke bawah memerlukan waktu yang tidak sebentar. Aku sarankan kakak buat saja lift jangan menggunakan tangga seperti ini."

Cerewet. Aditya tak henti-hentinya menahan diri untuk tidak melempar Naya dari di sini.

"Baiklah, saya terima saranmu. Bisa diam sebentar saja? atau tidak kita berdua akan jatuh dari tangga."

Naya menurut, diam dan anteng seperti permintaan Aditya. Selain malas berdebat, Naya juga masih sayang nyawanya.

"Kita sampai, duduk di sini sebentar. Saya akan mengambilkan es krimnya,"

Naya mengangguk.

"Ini, makanlah." Aditya menyerahkan cup es krim yang berukuran sedang.

Naya mengerutkan kening, "Kenapa ada dua? satunya lagi buat siapa?"

Aditya menyimpan kedua es krim di meja dan kembali menggendong Naya dengan bridal style tanpa izin.

"YAK!" Naya spontan melingkarkan kedua tangannya pada tengkuk Aditya.

"Saya berubah pikiran, makan es krim di dapur bukanlah pilihan yang bagus. Jadi, saya memutuskan jika kita akan makan es krim di taman belakang," tutur Aditya.

"Taman belakang?" tanya Naya bingung.

Tak ada jawaban dari Aditya. Namun, keindahan taman bunga membuat Naya berdecak kagum. Kemana saja dia selama ini, kenapa tidak mengetahui jika di belakang rumah ada taman yang indah.

Tunggu!

Bukannya pelayan di rumah ini hanya ada 2? Calista dan Bik Ningsi, lalu siapa di antara mereka yang menanam pohon dan bunga sebanyak ini?

"Duduk dulu sebentar di sini, saya akan mengambilkan es krim kita."

"Hu um" Naya bergumam menyetujui.

....

"Sudah? apa kamu ingin memakan hal lainnya?" tanya Aditya sambil memainkan anak rambut Naya yang jatuh sewaktu Naya menunduk.

Naya menggeleng, "Tidak ada, satu cup es krim berukuran sedang sudah cukup menurutku."

"Baiklah, ayo kita masuk." Aditya menengadah menatap langit yang mulai gelap, "Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun."

Naya ikut menengadah, "Hujan?" gumam Naya lirih.

Aditya berdiri dari bangku taman dan mengulurkan tangannya kepada Naya, "Ada apa? ayo masuk, tidak baik terkena hujan dikondisimu seperti ini."

Naya menggeleng pelan, "Aku tidak mau, aku ingin merasakan hujan pertama di bulan ini."

Aditya menggeleng heran, "Jangan konyol, cepat lah masuk."

Naya tetap bersikukuh dengan keinginannya, "Jika Kakak ingin pergi, pergi saja kenapa harus mengajakku? aku masih ingin di sini!"

Aditya menghela napas dan kembali duduk di samping Naya, "Baiklah, anggap saja saya sedang menuruti keinginan anak saya."

Naya mengangguk pelan, "Itu bagus. Setidaknya anak ini mendapat kasih sayang Ayahnya."

Aditya menoleh, "Lalu bagaimana dengan kasih sayang Bundanya?"

Naya terdiam!

Naya bimbang!

Naya bingung!

Naya dilema!

Naya memang menerima anak ini dan menganggap semuanya baik-baik saja. Namun, tak bisa dipungkiri di dalam lubuk hati yang paling dalam Naya belum bisa menerima anaknya, apalagi anak ini hasil dari pemaksaan Aditya.

Naya membenci anak ini, Naya tidak bisa janji untuk akan selalu menyayangi anak ini seakan semuanya baik-baik saja. Ini sulit.

"Naya?"

Naya menoleh tersenyum tipis, "Entahlah Kak, aku juga tidak tahu kedepannya akan seperti apa. Aku tidak bisa menjanjikan anak ini akan lahir kedunia."

Aditya menatap netra legam milik Naya dengan tajam, "Jaga ucapanmu, Naya. Anakku harus lahir ke dunia dengan selamat."

Naya mengangguk, "Aku tau, tapi takdir siapa yang bisa menebaknya?"

Aditya speechless.

Naya mengibaskan tangannya, "Lupakan, aku ingin menanyakan satu hal pada Kakak."

"Apa? tanyakan saja."

Naya menatap hamparan bunga yang tersaji di hadapan. Memandang jauh di depan sana. Hingga pandangan Naya berhenti pada seekor kupu-kupu yang hinggap di sari bunga. Entah apa yang Naya pikirkan, hingga matanya tak berhenti menatap kupu-kupu itu.

"Apa alasan Kakak menerima lamaran Ayah?"

"Kenapa kamu menanyakan hal itu?"

Naya mengangkat bahu acuh, "Aku tidak tahu."

Tes ....

Tes ....

Tes ....

Naya menengadah, menatap bulir-bulir air hujan yang mulai turun dengan deras.

Naya menoleh merasakan tangannya digenggam seseorang, "Kita pergi saja dari sini, hujannya sangat deras."

Naya menatap Aditya,"Berhenti! aku ingin tetap di sini," Naya melepaskan genggaman Aditya, "Kenapa Kakak mengajakku pergi, tanpa menjawab pertanyaan yang kuberikan?"

Aditya terdiam, menghela napas gusar dan kembali duduk di samping Naya, "Aku akan menjawabnya, tapi jangan di sini."

"Aku ingin di sini hingga hujan berakhir!" Naya mengulurkan tangannya, membiarkan tetesan air mengenai telapak tangannya.

Bersama hujan, Naya bisa merasakan kehadiran mereka. Mereka yang tidak akan mungkin kembali menyapa Naya di pagi hari. Mereka yang pergi tanpa pamit dan meninggalkan luka yang sangat dalam di hati Naya dan Revan.

Aditya melepaskan jasnya dan memakaikannya pada tubuh Naya yang mungil, "Saya menerima lamaranmu, karena wajahmu mengingatkan saya pada seseorang. Jadi saya berpikir, mungkin dengan menerimamu rasa bersalah saya pada orang itu akan berkurang secara perlahan."

Naya menoleh kaget, "Rasa bersalah? Apa Kakak pernah melakukan sebuah kesalahan?"

Aditya mengangguk "Benar, sebuah kesalahan yang tidak akan pernah bisa dimaafkan untuk selama-lamanya."

Aditya memandang kebawah dengan sendu, itu salahnya. Namun, orang lain harus kehilangan nyawa karena kesalahannya. Tak ada yang mengetahui hal ini, selain Destriani --- nenek Aditya.

Naya mengusap kedua lengannya sambil menatap Aditya, "Kakak memperkosa anak orang?" cicit Naya.

Aditya terkekeh, "Bukan, memikirkan hal itu saja tidak pernah terlintas di otak saya Naya." Aditya mengajak rambut Naya gemes.

Naya mencebik, "Apanya yang tidak pernah? Lalu, yang dua bulan terkahir ini Kakak lakukan padaku. Namanya bukan pemerkosaan?!"

Aditya tertawa dengan lepas, "Hahahaha, jika denganmu itu namanya bukan pemerkosaan karena kita melakukannya demi kebaikan masing-masing,"

Naya memutar bola matanya malas, "Kibiikin mising-mising apanya!"

"Sudahlah untuk saat ini kamu tidak akan mengerti, tapi suatu saat nanti kamu juga akan mengerti seiring berjalannya waktu." Aditya tersenyum tipis.

Naya mengembungkan pipinya kesal, "Aku tidak suka menunggu, kenapa tidak katakan saya sekarang?"

"Waktunya tidak tepat."

Naya mengibaskan tangannya ke depan, "Baiklah, lalu jika bukan memperkosa. Kakak melakukan kesalahan apa?"

Aditya menoleh menatap Naya dengan pandangan penuh emosional, "Saya menabrak mobil seorang perempuan di malam hari, setahun yang lalu."

Deg

Seperti tertimpa ribuan beban, Jantung Naya berhenti berdetak. Perkataan Aditya mengingatkan Naya pada peristiwa kecelakaan yang di alami Laura, mama Naya.

Tidak! Naya tidak mengerti ada apa dengan dirinya, kenapa rasanya sangat sesak. Apa semua ini karena hujan? Apa ini hujan yang sama yang turun dengan deras di malam peristiwa itu terjadi?

"Saya ... saya melakukan kesalahan saat itu. Bukannya menolong perempuan itu, saya malah kabur dan bersembunyi di Vila nenek. Saat itu saya tidak bisa berpikir dengan jernih, saya sedang dalam keadaan mental down."

Naya tertawa lirih, apa hal ini juga yang dialami oleh orang yang menyebabkan kecelakaan Laura. Mental down? Alasan yang sangat lucu. Jika sedang dalam kondisi yang tidak baik, kenapa dia membuat orang lain merasakan kondisi yang tidak baik juga seperti dirinya? Bukankah itu tidak adil?!

"Saya pergi melarikan diri dan bersembunyi selama seminggu seperti seorang pengecut. Saya juga tidak tahu menahu tentang kondisi perempuan itu sekarang, saya ---"

"STOP! jangan di teruskan, Kakak memang goblok dan pengecut!" Naya berdiri dan berjalan meninggalkan Aditya di bangun taman.

Suasana hati Naya tiba-tiba memburuk mengingat pelaku kecelakaan Laura yang belum terungkap. Argh! detektifnya memang tidak becus, melakukan pekerjaan. Tapi, baiklah Naya akan turun tangan sendiri tanpa bantuan dari siapa pun. Mereka semua tidak berguna!

"Naya! Naya! tunggu sebentar!" Aditya menangkap tangan Naya dan menariknya kedalam pelukan.

"Kenapa pergi begitu saja? Maaf, saya memang bukan laki-laki yang suci. Kesalahan yang saya perbuat mungkin tidak akan pernah di maafkan, sekedar mencari tahu keadaan pengendara perempuan itu saja saya terlalu takut melakukannya."

Naya hanya diam, tak membalas pelukan ataupun perkataan Aditya.

Naya tidak mungkin mengatakan bahwa Aditya tidak sepenuhnya bersalah jika dia menempatkan posisinya sebagai keluarga dari perempuan itu.

Rasanya mustahil ...

"Apa malam itu, hujan turun dengan sangat deras?"

Aditya terdiam, jantungnya tiba-tiba terhenti berdetak untuk sesaat mendengar perkataan lirih dari Naya.

"Tidak, malam itu hujan tidak turun. Malam itu bintang-bintang bertebaran di langit dengan sangat indah menemani bulan yang senantiasa menerangi kegelapan."

Entah untuk apa, Naya bernapas lega dan membalas pelukan Aditya dengan erat, "Aku tau, itu bukan dirimu." Naya bergumam di dada bidang Aditya yang menyebabkan suaranya seperti hembusan napas.

...

To Be Continud ➿

➿ Selamat berkomentar dan mendukung cerita ini ➿

Selamat siang, salam hangat➿

Apipaa ➿