`Selamat Membaca`
...
"Tidak mau!"
"Sedikit saja Nyonya," ucap Calista mencoba memahami sikap labil Naya.
"Aku tidak akan makan, biarkan saja aku mati bersama anak sial ini!"
"Tidak Nyonya, jangan---"
"---Ambil ini, setelah meminum ini anak yang terus kamu hina akan menghilang selamanya dari hidupmu."
Naya mendongak menatap wajah Aditya yang berahang tegas dan karismatik dan sialnya, Naya menyukai setiap inci wajah Aditya.
"Apa ini?" ucap Naya sambil melirik barang yang ada di tangan Aditya.
"Obat penggugur kandungan, bukankah itu yang kamu mau?" ujar Aditya sarkasme.
Calista terbelalak menatap Aditya,
"T-tuan, apa yang Tuan lakukan?"
"Yang seharusnya, kamu pergi saja dari sini biar saya yang mengurus Naya."
Calista menggeleng takut, "Tidak Tuan, biar saya---"
"---Tidak ada bantahan!" pungkas Aditya.
Calista mengangguk patuh, "Baik Tuan, saya permisi." Calista berjalan meninggalkan Naya dan Aditya dengan ragu, takut akan terjadi sesuatu yang fatal.
Setelah tubuh Calista menghilang dari pandangan Naya, Naya mengalihkan pandangan menatap dingin Aditya, "Apa yang kamu inginkan?!"
Aditya berjalan menjauh, berbalik membelakangi Naya, "Menurutmu?"
"Kenapa kamu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?!" ujar Naya kesal.
Aditya tetap mempertahankan posisi membelakangi Naya, "Aku ingin anak itu, tapi aku tidak ingin melihatmu menderita karena anak itu. Jadi lebih baik, anak itu menghilang saja agar kamu tetap bahagia."
Mati-matian Aditya menahan air mata yang keluar di pelupuk matanya. Katakan saja dia cengeng, tapi ayah dan suami mana yang rela mengorbankan anaknya demi kebahagiaan istrinya?
Aditya sangat bahagia mendengar berita kehamilan Naya, tapi disisi lain dia juga merasa sedih karena Naya mengatakan anaknya adalah kesialan. Yah, walau Aditya tau anak itu lahir tanpa Naya inginkan.
Aditya bingung, dia ingin anaknya tetap bertahan di dunia ini. Namun, cerita masa lalu yang pahit menghantui dirinya. Aditya sadar, jika dia terlalu bersikeras menahan anaknya di kondisi Naya yang seperti ini sama saja dia membuat Naya semakin membencinya apalagi jika Naya mengetahui sebuah fakta yang selama ini Aditya sembunyikan dari semua orang terkecuali neneknya.
"Aditya!"
Aditya menghapus sebutir air yang menetes di pipinya, lalu berbalik menatap Naya, "Kenapa memanggil saya?"
"Kamu yang kenapa?! Aku sudah memanggilmu dari tadi, tapi kamu seakan tuli dengan panggilan dariku." Celoteh Naya mengundang sebuah senyum tipis di bibir Aditya.
Menggemaskan.
Satu kata yang terlintas di benak Aditya, yang menggambarkan segalanya.
"Sudah mengomelnya?" tanya Aditya mengakhiri.
Naya mengembungkan pipinya cemberut sekaligus kesal kepada Aditya yang menganggap ocehanya hanya sebatas angin lewat.
"Berhenti seperti itu, mulutnya seakan pantat ayam saat akan bertelur."
Naya mengerutkan kening bingung, "Apa kamu pernah melihatnya? Dasar pengintip ayam!"
Aditya memutar bola matanya, hei! enak saja dia disebut pengintip ayam sangat kurang kerjaan. Namun, dikondisi sekarang tidak mungkin Aditya ikut bertingkah konyol padahal situasinya sedang tegang.
"Apa yang kamu lakukan?"
Aditya menoleh, "Mengambil air untukmu."
Naya mengerutkan alisnya bingung.
"Minum obat ini," Aditya meneteskan beberapa cairan obat penggugur kandungan pada air minum dan menyerahkannya pada Naya.
Naya menjauhkan gelas itu, "Tidak usah, aku akan meminumnya nanti bukan sekarang," ucapnya memalingkan wajah.
"Kenapa harus nanti?"
Naya berdecak, "Nanti ya nanti, udah sana menjauh dariku. Aku mual mencium aroma tubuhmu!" ujar Naya mengusir.
Aditya mengangguk, "Baiklah, saya pergi."
Setelah kepergian Aditya, Naya memandang dalam obat penggugur kandungan yang tergeletak di atas Nakas.
Apa Naya harus meminumnya atau membiarkan anak ini tetap hidup?
Naya tau dalam agama, pengguguran bayi adalah dosa besar. Namun, untuk kondisi seperti ini akal sehat Naya menghilang entah kemana.
Naya menatap sekali lagi obat itu, lalu mengambilnya beserta air minum. Dia menuangkan semua obatnya dan akan menghabiskannya dalam sekali teguk. Ya ini sederhana, Naya pasti bisa.
"Nyonya!"
Tangan Naya mengantung di udara, kepalanya menoleh melihat siapa orang yang mencoba menghentikannya.
"Alhamdulillah saya tepat waktu, Nyonya saya mohon taruh kembali minuman itu."
Naya tersenyum kecil, "Kenapa?" tanya Naya tertawa kecil.
Calista merampas gelas dari genggaman Naya, "Ini salah Nyonya, anak itu tidak bersalah."
"Iya! dia memang tidak bersalah, tapi kehadirannya akan membuatku lemah. Tolong mengertilah Calista, ini tak mudah bagiku," Naya mendesah memandang Calista dengan sarat terluka.
Calista termanggu, sekarang dia mengerti. Naya sebenarnya tidak ingin membenci anaknya. Namun, keadaan membuat Naya harus melawan keinginannya dan berusaha membenci anak yang sedang dia kandung agar Naya tidak terlihat lemah dan tidak berdaya di hadapan Aditya.
"Nyonya." Calista menangkup tangan Naya, "Saya tau ini berat Nyonya, tapi pikirlah sekali lagi. Bayi itu tidak bersalah dan mungkin saja bayi itu akan mendatangkan kekuatan untuk Nyonya. Saya pernah berada dalam posisi Nyonya, tapi sekarang lihat? Bayi yang saya benci sekarang telah menjadi kekuatan terbesar saya, belahan jiwa saya."
Naya menunduk, "Selain itu, a-aku takut anakku akan diambil secara paksa oleh keluarga Aditya." Naya mendesah pelan.
Kisah seperti ini tak pernah ada di pikiran Naya yang lugu. Menganggap pernikahan hanyalah sebuah kebahagian tiada akhir, tanpa tau dalam sebuah hubungan pernikahan terdapat batu besar tak kasat mata yang menjadi penghalang sebuah kebahagiaan sepasang suami istri.
"Nyonya. Cobalah berpikir positif dikondisi seperti ini, Nyonya tidak boleh sampai stres itu bahaya bagi Nyonya dan bayi Nyonya." pesan Calista.
"Aku akan mencobanya, tapi entahlah kenapa pikiranku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan merugikanku jika anak ini tetap hidup dan lahir kedunia."
Calista menjentikkan jarinya, "Aha! begini saja Nyonya. Mulailah pikirkan hal positif, seperti manfaat bayi itu---"
"--- Apakah ada manfaat bayi ini? kurasa tidak ada." potong Naya.
"Ada Nyonya, contohnya bayi ini bisa merubah hubungan suami istri dan sebagai pelengkap status seorang wanita, lalu dia juga bisa menjadi penyatu Nyonya dengan kerabat Nyonya dan Tuan," jelas Calista.
Naya mengangguk pelan, "Ya, kamu memang benar."
Naya menatap Dinding di sampingnya dengan senyuman indah, membayangkan dirinya akan bermain dan bersenang-senang dengan anaknya yang manis.
Calista menatap Naya ragu, "Apa, Nyonya tetap akan menggugurkannya?"
Naya menoleh dan menggeleng yakin, "Tidak, aku akan mencoba mempertahankan anak ini. Namun, kamu jangan beritau Tuanmu jika aku berpikir untuk mempertahankan anaknya."
Calista spontan memeluk Naya erat, "Huaaaaa, itu keputusan yang tepat Nyonya dan saya pastikan hal ini hanya akan diketahui saya dan Nyonya saja."
"Ah, maaf kan saya. Saya tidak sengaja menguping pembicaraan kalian."
Calista segera melepaskan pelukannya dan menunduk sopan dihadapan Aditya.
"Mau apa kamu datang lagi kesini?!" Naya mendengus kesal, niatnya sudah ketahuan. Tak ada gunanya lagi dia menutupi segalanya pada Aditya.
"Calista, keluar!" ucapnya. Namun, dengan lekungan bulan sabit di bibirnya.
"Ba-baik, Tuan." Calista segera berjalan keluar ruangan, setelah Calista keluar Aditya segera mengunci pintu ruangan tanpa menunggu persetujuan dari Naya.
Naya melotot, "Ya!! apa yang kamu lakukan?! Paboyaa!"
"Shut! jangan marah, saya sedang bahagia."
"Terus jika kamu bahagia, urusannya sama aku apa?!" ucap Naya kesal.
"Ada, karena kamu adalah sumber kebahagiaanku."
Naya speechless mendengar perkataan Aditya yang mengandung sedikit. Ingat! sedikit keuwuuan di dalamnya. Naya hampir saja terbawa suasana, tapi tidak. Naya tidak boleh membiarkannya.
"Bulshit!" umpat Naya kesal.
Aditya tertawa dan melangkah duduk di hadapan Naya, "No, no. Kamu sedang hamil, tidak baik mengumpat seperti itu. Iya kan, babby?" bisik Aditya di perut Naya.
Naya mundur menjauhi Aditya, "Jangan aneh-aneh, aku bisa berubah pikiran kapan saja!"
Aditya kembali menegakkan bedanya mendengar ancaman Naya, "Baiklah, tapi biarkan aku menyapa anakku."
"Silahkan saja, aku tidak melarangmu." ucap Naya bersedekap dada.
Aditya tersenyum lalu berdiri melepaskan gespernya.
"Ya! sedang apa kamu?" tanya Naya takut sekaligus kesal.
Aditya menatap Naya polos, "Lah? katanya saya boleh menyapa anak saya."
"Iya memang bener, tapi kenapa kakak membuka celana?" tanya Naya bingung.
"Ini lah definis menyapa menurut saya, junior saya akan menyapanya secara langsung tanpa penghalang apapun."
Naya melotot mendengar jawaban vulgar dari Aditya. Benar-benar nggak ngotak.
"DASAR MESUM!!!"
"Biarkan saja, tapi malam ini saya akan membuatmu mendesah di bawah saya."
Naya semakin melotot kan matanya. Tanpa segan-segan, Naya melemparkan batas di wajah Aditya, "Mesum, Kyaa!!!"
Terlambat, sebuah benda kenyal yang manis telah berhasil membungkam mulut Naya dengan lincah. Lidah Aditya mulai mengabsen setiap inci mulut Naya, saling membelit dan melumat hingga Aditya benar-benar menyapa anaknya di kandungan tanpa penghalang apapun.
Naya memang labil, ucapan dan tindakannya selalu berlawanan di hadapan Aditya, seakan-akan Aditya mempunyai magnet tersendiri agar Naya selalu tunduk di hadapannya.
....
To Be Continud🌿
Selamat berkomentar dan mendukung cerita ini🌿
Salam cinta🌿
Apipa🌿