"Waah kau cantik sekali."
"Itu benar, sudah seperti seorang putri."
Raya dan Lily–dua gadis yang menghampiri Nenek Lope, Naara dan Niin beberapa waktu lalu sedang memuji kecantikan Niin yang terlihat telah memakai gaun pengantin berwarna putih elegan.
Niin yang didudukkan di depan cermin nyaris tidak bisa mengenali dirinya sendiri setelah di-make over oleh kedua gadis itu.
Apa itu benar dia?
Kedua mata birunya tak berkedip sama sekali saat menatap wajah seorang gadis yang rambut kuningnya telah disanggul rapi sehingga memperlihatkan jenjang lehernya yang indah.
"Sekarang tinggal ini." Raya memasangkan tiara perak yang memantulkan kilau elegan saat tersentuh partikel cahaya. "Nah, sekarang benar-benar sudah seperti putri." Raya tersenyum gemas, geregetan dengan Niin yang menurutnya sangat cantik.
"Yah yah, itu benar."
Niin menatap kedua gadis yang sedang tersenyum lebar kepadanya, jujur saja ia merasa kalau Raya dan Lily itu lebih cantik darinya, dengan dandanan alakadarnya saja kecantikan mereka sudah terlihat jelas apa lagi kalau sudah di-make over, mungkin mereka memuji seperti itu untuk membuatnya senang.
Suasana sekarang benar-benar terasa seperti pernikahan sungguhan yah memang sungguhan sih tapi niat Niin dan Naara menikah itu agar mereka bisa keluar dari tempat tersebut bukan untuk membuat anak ah, bukan, maksudnya adalah keluarga.
Niin benar-benar tidak habis pikir dengan prosedur yang harus dilakukan untuk keluar dari tempat itu, sepertinya memang benar kalau semua itu hanya akal-akalan Nenek Lope tapi apa tujuannya, semua terasa mencurigakan. Mereka tidak ada pilihan selain mengikuti permainan tersebut.
Ia membalas senyum kedua gadis itu dengan satu senyum simpul, bagaimanapun juga ia masih merasa canggung walau Raya dan Lily berlaku sangat manis terhadapnya. Kerling matanya kini mengarah pada sebuah bangunan sederhana yang terlihat dari balik jendela ruangan tempatnya berada sekarang.
Raya mengatakan kalau Naara ada di sana, ia juga sedang dipersiapkan oleh Jaiman dan Norman–kedua pria yang datang bersama Raya dan Lily beberapa waktu lalu, kedua pria itu adalah suami dari Raya dan Lily.
Ceklek!
Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya berjalan masuk. "Wah pengantinnya cantik sekali, apa semuanya sudah siap?" Ia melihat Niin terpesona lalu bertanya pada Raya dan Lily.
"Iya, Bibi," jawab Lily. "Nah, ayo." Lily mengulurkan tangannya pada Niin dan mereka pun berjalan keluar menuju altar pernikahan.
Suara keramaian langsung terdengar ketika Niin yang didampingi Lily dan Raya berjalan di atas karpet merah menuju altar, Niin melirik ke kanan dan ke kiri melihat orang-orang yang merupakan penghuni Tanah Randa, tidak banyak mungkin hanya sekitar lima puluh orang saja.
"Wah dia tampan juga yah," ucap Raya mengalihkan perhatian Niin.
Seketika wajah Niin memerah saat melihat Naara dengan stelah jas putih telah berdiri di altar menunggunya, pria itu benar-benar terlihat gagah dengan pakaian tersebut namun ada yang sedikit menjanggal, yaitu dua pedang yang masih setia tergantung di paha kirinya.
Jaiman yang berdiri di dekat Naara sudah membujuk agar pedang itu ditaruh dulu tapi Naara tidak menggubris. Waktu kecil dia pernah membaca bahwa pendekar yang tidak bawa pedang sama saja tidak pakai celana dan yang lupa bawa pedang artinya lupa pakai celana. Itu sangat membekas di otaknya sampai ia jadi kebiasaan membawa pedang ke manapun, di manapun. Ia tidak mau dianggap tidak pakai celana atau lupa pakai celana. Disamping itu ... untuk jaga-jaga karena dia sama sekali tidak memercayai orang-orang di sana.
"Dia seperti pangeran."
"Yah itu benar."
Raya dan Lily saling melempar senyum sementara Niin menatap Naara tak berkedip, ia tegang juga gugup meskipun niatnya hanya untuk memenuhi syarat Nenek Lope tapi semua upacara pernikahan tersebut adalah asli yang artinya setelah ini ia dan Naara akan jadi pasangan suami istri.
Kini ia telah tiba dan sedang naik ke altar untuk melakukan akad pernikahan sesuai kepercayaan Tanah Randa yang dipandu langsung oleh Nenek Lope.
"Naara, apakah kau menerima Niin sebagai istrimu? Berjanji untuk selalu melindunginya, mendampinginya dalam suka maupun duka dan tidak akan menikah lagi setelah dia mati?"
"Hm," jawab Naara, jelas sekali kalau dia tidak niat dan tidak ingin melakukan hal yang menurutnya sangat konyol. Menikah? istri? Apaan tidak berguna.
Jawaban maha malas tersebut sontak membuat Nenek Lope menegur dan menyuruhnya untuk menjawab 'yah, aku bersedia dan aku berjanji' dengan benar kalau tidak pernikahannya akan dianggap tidak sah.
Raya, Lily dan suami-suami mereka terlihat saling melempar pandangan.
Nenek Lope kembali mengulang membacakan teksnya dan kali ini Naara menjawab sesuai dengan yang diinginkan Nenek Lope meskipun dengusan kesal terdengar mengiringinya.
Sekarang giliran Niin.
"Niin, apakah kau menerima Naara sebagai suamimu? Berjanji untuk selalu mematuhinya, menemaninya dalam suka maupun duka dan tidak akan menikah lagi jika dia mati duluan."
Krik krik krik ....
Tidak ada jawaban, Niin terbengong dengan mata menatap lurus ke arah Naara baru setelah Nenek Lope berdeham ia tersadar. "Y-ya." Ia seperti orang ling-lung
"Ya apa?" Nenek Lope menatapnya.
"A-anu ...."
Nenek Lope mengerjap-ngerjap beberapa kali lalu ... "Huffth, dengarkan baik-baik ...." Ia mengulang teksnya lagi dan Niin pun menjawab sesuai yang seharusnya.
"Yah, aku bersedia dan aku berjanji." Tepat setelah Niin menyelesaikan kalimat tersebut, lingkaran cahaya merah yang sejak awal melingkar di jari manisnya berubah menjadi cincin merah sungguhan, warnanya merah darah seakan-akan cincin tersebut adalah darah yang dipadatkan.
Hal serupa juga terjadi pada lingkaran cahaya yang terdapat di jari manis Naara, karena tidak bisa melihat, Naara hanya bisa merasakan sesuatu tiba-tiba terpasang di jarinya.
"Itu adalah cincin pernikahan kalian, sekaligus kunci dari pintu keluar Tanah Randa," jelas Nenek Lope saat melihat Niin menatap cincin merah polos tanpa berlian dan hiasan apa-apa yang terpasang di jarinya. Sungguh tidak bisa dijual saat krisis ekonomi melanda.
Entah kenapa, Nenek Lope terlihat melampirkan senyum miring. Ia mengangkat tangan kanannya lantas berkata, "Kuucapkan selamat atas pernikahan kalian dan selamat tinggal!" Nenek Lope menjentikkan jarinya dan secara mendadak lantai di bawah kaki Niin dan Naara terbuka membuat mereka jatuh pada kedalaman dengan batas yang tidak terlihat.
AAAAAAGH!
"Semoga jiwa mereka tidak apa-apa." Raya, Lily, serta semua orang yang ikut menyaksikan pernikahan tadi berkumpul dan mengelilingi lantai yang terbuka lebar.
"Apa mereka akan berhasil?" Lily berucap ragu.
*
"A-apa ini?" Saat terjatuh, slow motion terjadi. Jika ini adalah film maka kau akan mendengar alunan piano yang berdenting lambat.
Niin, ia yang terjatuh bersama Naara ke dalam kegelepan melihat puluhan bahkan mungkin ratusan bola-bola cahaya putih bergulir di sekitar mereka.
"I-ini ... kenapa?" Ia terbelalak, terkejut ketika melihat bola-bola tersebut menampilkan kilas balik ingatannya.
"A-ayah!" Bola matanya bergetar saat salah satu bola yang melayang menampilkan gambaran dirinya yang masih kecil sedang tertawa bahagia di gendongan seorang pria berambut kuning yang tak lain adalah ayahnya.
Lalu ... di bola yang lain. "I-ibu ...." Gambaran wajah seorang wanita berambut hitam yang sedang tersenyum hangat kepadanya.
Dengan mata berkaca-kaca ia mengedarkan pandangannya dan melihat semua bola menampilkan kilas balik masa lalunya dan bergulir seperti potongan-potongan adegan dalam film, membuat semuanya terasa sangat nyata.
Sudah sangat lama ia tidak melihat wajah ayah dan ibunya, ia tidak punya selembar foto pun untuk ia tatap dan peluk saat ia merasa sangat merindukan mereka. Satu-satunya kenangan yang ia miliki adalah ingatan.
"Ayah, ibu ... hiks .... " Air kesedihan itu akhirnya tidak bisa terbendung lagi, Ia mengangkat tangan kanannya, ingin meraih bola yang melayang di atas dimana di sana terdapat gambaran kilas balik ketika ia sedang berjalan didampingi oleh kedua orang tuanya.
Sesak, benar-benar sesak. Ia merasa ingin terbang dan melesat masuk ke dalam bola itu, walau sebentar saja ia sangat ingin memeluk mereka, sebentar saja ia ingin merasakan sentuhan mereka.
Tangannya masih terangkat untuk menggapai, hatinya benar-benar memohon agar yang ia harapkan itu terwujud akan tetapi objek tersebut malah bergulir keluar dari garis pandangnya lantas tergantikan oleh bola lain yang memperlihatkan seorang anak laki-laki berambut putih sedang menggendong anak laki-laki berambut merah di punggungnya.
Keterkejutan yang tipis terlihat di matanya, gambaran itu tidak berasal dari ingatannya, ia tidak tahu siapa anak laki-laki berambut putih yang ada di sana tapi ... sepertinya ia tahu siapa anak laki-laki berambut merah yang digendong.
Perlahan ia melirik Naara di sampingnya dan menemukan bola-bola cahaya bergulir di sekitar pria itu yang juga menunjukkan berbagai kilas balik.
Kilas balik pertama yang ia lihat menunjukkan Naara kecil sedang duduk meringkuk di kegelapan, kilas balik berikutnya menunjukkan Naara kecil sedang dipeluk erat oleh anak laki-laki berambut putih, berikutnya lagi menunjukkan Naara kecil sedang berdiri di tengah hujan, keadaannya terlihat sangat buruk, lusuh dengan wajah dipenuhi memar lalu yang berikutnya menunjukkan Naara kecil yang sakit sedang dikompres oleh anak laki-laki berambut putih.
Siapa anak itu?
Ia bertanya-tanya ketika melihat semua kilas balik di bola ingatan Naara yang ia lihat menunjukkan sosok tersebut.
Saat ia masih berpikir, ia merasa mulai semakin jatuh dan dengan cepat tenggelam dalam kegelapan.