Angin berhembus, membuat hujan yang turun semakin lebat.
Di tengah badai, seorang pria berdiri berhadapan dengan dua bocah laki-laki.
Naara dan Isura membuat ekspresi tegang melihat wajah dingin di depan mereka.
Mata tajam Thougha menyorot Isura dan Naara bergantian sebelum pada akhirnya ia menetapkan pandangannya pada Naara.
Melihat tatapan tajam yang diarahkan pada Naara, Isura maju dan berdiri selangkah di depan Naara, menyembunyikan Naara di balik punggungnya.
"Kakak ...." Naara memandang cemas pada punggung Isura yang terbalut kaos abu-abu.
"Menyingkirlah dari sana, Isura!" ucap Thougha bernada dingin.
"Aku tidak akan menyingkir, Ayah," tegas Isura kukuh pada pendiriannya.
Thougha tersenyum sinis. "Begitukah?"
"Hm." Isura mempertajam tatapannya.
Sinar putih kebiruan muncul mengitari tubuhnya dan dalam waktu singkat sinar tersebut telah membungkus tubuhnya. Isura baru saja mengeluarkan qiwer-nya. Mendadak saja suhu udara di sekitar menurun drastis sampai terasa seperti kutub.
"Naara, apa kau menyayangiku?" Ia bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari Thougha.
Pertanyaan Isura jelas membuat Naara terkejut, juga merasa bingung.
"Apa ... maksudmu? Tentu saja, aku sangat menyayangimu," jawab Naara memandang lekat punggung Isura.
"Bisakah kau berjanji bahwa kau akan selalu menurut padaku?" tanya Isura lagi, masih tanpa berbalik pada Naara.
Naara terdiam, berusaha mencerna pertanyaan yang dilontarkan Isura.
Karena tidak kunjung mendapat respon, Isura melirik, melihat Naara lewat bahunya. "Jadi tidak bisa yah?"
"Bu-bukan begitu. Iya aku janji!"
Mendengar jawaban tersebut, Isura tersenyum kemudian kembali memandang lurus dan berkata, "Bagus. Kalau begitu larilah, Naara!" titahnya yang langsung mendapat penolakan.
"A-apa?!" Naara terkejut. "Tidak mau! Aku tidak akan meninggalkanmu, Kak!" tegas Naara menolak.
"Jangan keras kepala, lagi pula kau sudah janji 'kan?" Isura masih tidak mengalihkan pandangan dari pria di depannya.
Mata Naara membulat penuh, kedua tangannya mengepal dan giginya menggertak kesal. Dia merasa telah dicurangi.
"Ini tidak adil, Kak! Kau curang! Aku tidak akan lari. Kalau mau lari ayo lari sama-sama dan kalau harus mati ayo mati sama-sama! Aku tidak mau hidup sendirian!!" teriaknya berlinang air mata.
"Laki-laki tidak boleh mengingkari janjinya. Larilah sekarang juga. Ini perintah!" ucap Isura tak ingin menerima penolakan.
Air mata Naara semakin tumpah. Ia memohon agar Isura tetap membiarkannya berada di sana.
"Aku tidak mau lari kalau tidak bersamamu. Aku mohon jangan usir aku, Kak. Aku hanya ingin terus berada di dekatmu, Kak.
"Di depan sana gelap dan ke mana aku harus pergi? Aku mohon biarkan aku berada di dekatmu. Aku tidak akan menyusahkanmu, aku akan jadi adik yang baik, aku akan menuruti semua yang kau katakan. Tapi biarkan aku berada di dekatmu, Kak. Aku mohon ... hiks ...."
Naara mulai tesedu-sedu sedangkan Isura berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis tapi sekuat apapun ia berusaha ia tidak bisa. Sama seperti Naara, air matanya pun berjatuhan seperti derasnya air hujan saat ini.
Thougha yang sejak tadi diam mrmperhatikan mereka mulai membuka suara.
"Kalian berdua tidak perlu menangis karena kalian akan mati bersama. Akan kubawa kalian ke tempat ibu kalian," ucapnya sembari mengangkat pedang yang sejak tadi di genggamnya.
Isura tertegun dan menelan air matanya sendiri, segera ia berusaha mengontrol emosinya dan berhenti menangis untuk kemudian menatap Thougha.
Pedang itu ... adalah pedang yang digunakan membunuh ibunya. Bahkan darah ibunya masih ada di sana dan hujan sedang membilasnya.
Marah, benci, sedih, kecewa. Itulah yang ia rasakan saat ini. "Aku tidak percaya." Tangannya terkepal kuat sementara matanya menatap sangat tajam.
Suhu semakin menurun, tetesan-tetesan air telah menjadi kristal-kristal es . Rasa dingin terasa sangat menusuk sampai ke tulang. Di belakang, Naara bergeming melihat kakaknya. "Kakak ...." Ada ketakutan yang ia rasakan saat melihat Isura seperti itu.
Thougha melempar pedangnya, pedang berputar seperti cakram mengarah ke sebuah pohon dan terpantul melesat menuju Naara.
Slesh!
Naara terbelalak kaku namun sebelum pedang mengenainya sebuah dinding es tebal naik dan melindunginya.
"Jangan berani menyakiti adikku."
Suara dingin nan penuh penekanan itu mengalihkan perhatian Naara dari es. "Kakak ...."
Kristal-kristal es bergulir dan berkumpul di sekitar tangan kanan Isura, membentuk pola memanjang dan seperti sebuah sihir, sebuah pedang es telah berada di dalam genggaman Isura.
Thougha melampirkan sebuah senyum. Selang satu detik, Isura telah berada di depannya bersama pedang yang terayun. Senyum masih belum pudar dari Thougha, ia menghindari serangan Isura dengan baik namun Isura tidak menyerah, tekad untuk melindungi Naara mendorongnya melewati semua batas rasa takut dan keraguan.
Ia tahu persis siapa yang sedang ia hadapi dan ia juga tahu ia tidak akan menang tapi ... ia cuma ingin melindungi adiknya. Tempo serangannya bertambah dan mulai sulit terbaca. Thougha yang sejak tadi menghindar tanpa bergeser sedikit pun dari tempat berdirinya dipaksa bergerak.
Pedang yang tadi dilempar kini telah kembali dan mengadu pedang es milik Isura.
Mengabaikan rasa dingin yang menusuk, Naara mematung melihat pertarungan dua orang di depan sana. Ia melihat keterampilan Isura dalam bertarung. Sekarang ia mengerti kenapa ayah mereka selalu membanggakan kakaknya itu.
"Kau memang hebat tidak seperti anak tidak berguna itu."
"DIAM!"
"Mha."
Satu goresan horizontal baru saja terbentuk di sisi kanan wajah Thougha. Ia mengusap dan melihat darah dari pipinya lallu tersenyum seolah ia bangga dengan itu.
Serangan masih dilancarkan Isura namun setelah luka tadi, Thougha sedikit mulai serius memberikan perlawanan.
"Ka-kakak!" Naara sudah tidak bisa mengikuti gerakan keduanya sampai beberapa detik berselang sebuah pedang kembali melesat ke arahnya.
"NAARA!!!"
Jleb
"Uhk." Darah muncrat bertepatan dengan menancapnya bilah pedang di perut Isura.
Naara terbelalak. Apa? Apa yang terjadi? Ia tidak mengerti. Kejadian itu begitu cepat.
Qiwer yang membungkus tubuh Isura perlahan-lahan meredup.
"K-kakak ...." Untuk sesaat Naara merasa waktu baru saja berhenti.
Ini pasti mimpi. Tidak mungkin terjadi.
Ia menolak untuk percaya namun hembusan angin memberinya tamparan karena berusaha menolak kenyataan di depannya saat ini.
Setelah tertatih-tatih untuk mempertahankan diri agar tidak tumbang, akhirnya Isura mencapai batas kekuatannya.
Ia jatuh berlutut dan terlihat akan tersungkur.
"KAKAK!" Naara histeris, bergegas menopang dan memeluk tubuh yang nyaris tersungkur itu. Di tengah kepanikan dan ketakutan ia terus terus memanggil-manggil nama Isura.
Semakin lama, suara Naara semakin terdengar samar di telinga Isura, kedua matanya perlahan-lahan menyipit namun ia tetap berupaya mempertahankan kesadarannya. Ia tidak ingin mati sekarang. Naara masih belum aman.
Tersenyum sinis. Adalah yang dilakukan Thougha saat ini.
"Huh. Kau tidak perlu menangis seperti itu. Bukankah Isura sudah biasa melakukan hal seperti ini. Mengorbankan diri untuk melindungi adik tersayangnya. Kau itu benar-benar sebuah beban."
Thougha berucap sambil berjalan mendekati Naara yang sedang memeluk Isura.
Tatapan keduanya bertemu, ketika Thougha telah berdiri dua langkah di depan Naara.
Naara menatap Thougha dengan penuh ketakutan sedangkan Thougha memberinya tatapan menghinakan.
"Pahamilah ini, Naara. Tidak ada tempat bagi percobaan gagal sepertimu di dunia ini. Satu-satunya takdir yang kau miliki adalah disingkirkan."
Ucapan Thougha jelas terasa menyakitkan bagi Naara. Sesak. Sangat sesak yang ia rasakan.
"Di mana ...." Naara menundukkan pandangannya, melihat helai-helai rambut Isura yang bersender di dadanya.
"Di mana salahku, Ayah? Kau menjadikanku sebagai wadah percobaanmu, aku terima. Kau memperlakukan aku berbeda dengan Kak Isura, aku terima.
"Kau melarang ibu untuk mendekatiku, aku terima. Kau melarang semua anak untuk berteman dan bermain denganku. Itu ... aku juga menerimanya.
"Aku menerima semuanya dan aku juga menjalani semuanya tanpa menyalahkanmu sedikit pun, Ayah. Aku menerima semuanya sambil berharap bahwa suatu hari nanti kau bisa menyayangiku sama seperti kakak. Aku sangat menyayangimu tapi kenapa kau sangat membenciku ... hiks ...."
Isura yang berada dalam pelukan Naara, ternyata diam-diam mendengarkan curahan hati yang diutarakan Naara pada Thougha.
Matanya yang terbuka sayup tidak kuasa menahan air kesedihan. Bagaimanapun juga, dialah orang yang paling mengerti penderitaan yang ditanggung Naara selama ini.
Meski begitu, di hadapannya, Naara selalu tersenyum dan tertawa seolah-olah ia tidak sedang menanggung beban apa-apa.
Air mata Isura semakin mengalir deras, meluncur bebas dan bergabung bersama air hujan yang membasahi wajahnya.
Sambil menangis, Isura masih mendengarkan.
"Sebenarnya di mana salahku, Ayah? Kenapa kau sangat membenciku dan kenapa aku yang selalu saja kau salahkan?!" Naara mengangkat kepalanya dan kembali menatap Thougha.