Matahari terbit dan hari yang baru telah tiba. Tirai debu diterbangkan oleh angin. Di antara kekacauan, sisa-sisa dari pembantaian semalam terbaring seorang gadis kecil dalam kondisi menyedihkan. Takdir mencambuknya sampai ia tak sadarkan diri. Saat ini ia masih terlelap dengan tenang namun setelah bangun nanti kenyataan akan membuatnya menangis lagi. Luka di hatinya ia peroleh dalam waktu semalam tapi akan butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkannya.
Perlahan-lahan kelopak mata yang bengkak itu terbuka dan kedua bola biru bening nan indah terlihat. Ia menatap lurus ke awan putih di atas lalu tak lama ia terisak seiring dengan air yang kembali mengalir dari sudut kedua matanya. "Ayah ... hiks ... ibu ...."
Angin berhembus menghamburkan abu orang mati.
Menit ke menit berganti, ia mulai bangun, berdiri dan melihat sekeliling. Tidak jauh darinya tergeletak benda yang mirip kepompong, perlahan ia mendekati salah satunya dan segera terhentak kaget saat menyadari isi benda tersebut adalah mayat manusia.
Ia melangkah mundur dengan gemetar setelah itu ia kembali melihat sekeliling. Di depannya adalah puing-puing tapi yang ia lihat adalah orang-orang yang dibakar. Di sekitarnya hanya ada kesunyian tetapi yang ia dengar adalah teriakan minta tolong yang memilukan juga tentang proses kepergian ayah dan ibunya.
'Kenapa?' Itu adalah pertanyaan besar yang ada di hatinya saat ini. Air mata kembali berjatuhan di pipinya lalu tak berselang lama tangan seseorang memegang pundaknya.
Ia terhentak kaget dan mendongak. Seorang pria berambut merah lebat sedang berdiri di sampingnya.
*
Bola-bola putih yang menampilkan cuplikan masa lalu masih terus bergulir.
Kepalan tangan Naara semakin menguat saat melihat sosok pria itu.
*
Latar berganti, Niin dibawa terbang oleh pria tersebut ke sebuah pulau. Hutan lebat juga belasan menara yang menjulang tinggi menjadi ikon mencolok dari pulau tersebut.
Niin tidak tahu ke mana ia dibawa, ia hanya berharap bahwa pria yang membawanya adalah orang baik. Sekarang ia diturunkan di depan sebuah menara, menara yang paling tinggi. Seketika itu ia merasakan aura mengerikan, ia ingin lari tapi bahunya ditahan.
Kilas balik ingatan berganti dengan cepat, membawa Naara pada waktu ketika penyiksaan berkepanjangan yang dialami oleh Niin. Gadis itu dimasukkan ke sebuah tabung yang memendarkan beragam warna cahaya seperti pantulan pada lentera, tubuhnya ditanami jarum dari ujung rangkaian selang.
Menangis, berteriak, menjerit penuh penderitaan, gadis itu terlihat sangat kesakitan namun tidak ada yang memedulikannya.
*
Geram, marah. Melihat hal itu Naara ingin sekali memukuli semua orang yang terlibat dalam penyiksaan tersebut dan ... membawa gadis itu pergi. Secara tidak sadar hatinya kini dipenuhi oleh keinginan untuk menolong si gadis. Sejak kehilangan Isura ia tidak pernah berempati kepada siapapun, tidak pernah ingin menolong dan tidak pernah ingin mengasihani tapi melihat yang dialami Niin semua perasaan itu muncul dan memenuhi hatinya.
Saat itulah cincin yang ia dan Niin kenakan memancarkan cahaya merah. Cahaya tersebut menyingkirkan seluruh bola-bola, menghentikan aliran ingatan dan terus bertambah terang hingga nyaris menggusur semua kegelapan di sekitar sana.
Naara yang sejak tadi terpejam menyaksikan kilas balik masa lalu Niin membuka mata dan menemukan kegelapan yang pekat. Apa dia sudah kembali ke tubuhnya? Ia bertanya-tanya dalam benaknya.
"Guru!"
"Ah."
Spontan tangannya bergerak menangkap tubuh seseorang yang jatuh menimpanya dan saat itu waktu terasa berjalan lambat. Mereka dibuat melayang dalam gerakan memutar yang lambat pula.
Kadang-kadang karena menjalani penderitaan, rasa sakit dan masalah yang tidak ada habisnya membuat seseorang menganggap hidup tidak adil, merasa menjadi satu-satunya orang yang menderita di dunia ini padahal sebenarnya tidak begitu. Semua orang punya masalah dan beban hidup sendiri-sendiri.
Mereka yang terlihat kuat padahal sebenarnya sangat rapuh. Mereka yang sedang tersenyum padahal sebenarnya sedang menangis. Mereka yang terlihat sehat padahal sebenarnya sakit, sangat sakit.
Perlahan-lahan Niin menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Naara, walau sempat terlihat ragu, Naara pada akhirnya merangkul pinggang Niin dan membawa tubuh mungil gadis itu tenggelam lebih dalam pada pelukannya. Kedua hati yang dingin itu sedang berusaha untuk menghangatkan satu sama lain.
Sinar merah yang sejak tadi menyala terang mulai meredup dan menghilang bersama kedua sosok di tengahnya.
*
"Nenek memang sangat pintar membuat orang bingung. Beberapa orang pasti tidak mengerti kalau pertengahan bulan dua adalah muara ini." Lily menatap bayangan bulan di air. Dia, Raya serta Nenek Lope sedang berdiri di tepi muara.
"Hm." Nenek Lope tersenyum. "Ternyata dia bisa melakukannya," ia bergumam.
"Lalu ... apa arti dari singkirkan satu ulat dari apel merah?" Kali ini Raya yang membuka suara.
"Ulat itu sifat buruk dan apel merah itu hati," jelas Nenek Lope.
"Jadi singkirkan satu ulat dari apel merah itu maksudnya singkirkan satu sifat buruk dari hati, begitu?"
Nenek Lope mengangguk.
Muara di depan mereka sebenarnya adalah portal yang terhubung dengan berbagai ruang dimensi namun penduduk Tanah Randa menyebutnya Muara Kebenaran dan ada juga yang menyebutnya Jalan Sesat, disebut Muara Kebenaran karena jika seseorang masuk ke dalamnya maka Muara tersebut akan mengungkap semua kebenaran yang tersembunyi di dalam hati lalu tentang sebutan Jalan Sesat karena banyaknya orang yang pernah tersesat sebab terdampar di tempat asing yang sama sekali tidak mereka ketahui.
Portal tersebut bisa membukakan jalan menuju tempat yang seseorang ingin tuju namun untuk itu seseorang harus menyingkirkan sekurang-kurangnya satu dari sekian banyak sifat jelek yang ada di dalam hatinya.
Niin adalah gadis yang punya kepedulian besar di dalam hatinya hanya saja saat berada di situasi dimana ia merasa kebebasannya terancam ia menjadi orang yang ragu-ragu, sering kali ia memilih melarikan diri dan melupakan kepeduliannya sedangkan Naara, dia sudah lama mengubur perasaan-perasaan seperti itu dan menjadi anti sosial.
'Kenapa dia harus menolong orang lain saat dia sendiri susah.' Kurang lebih begitulah yang ada di pikirannya. Dia merasa dialah orang yang paling menderita di dunia ini dan menyimpan banyak prasangka buruk terhadap dunia.
Akan tetapi saat melihat masa lalu Niin, ada yang berubah walau sedikit. Dari yang tidak pernah peduli menjadi peduli, prasangka buruknya tentang cuma ia yang menderita di dunia hilang. Tangisan dan jeritan gadis itu sangat meresahkan, membuat hatinya tergerak untuk menolong.
Di sisi lain, hal tak jauh berbeda pun terjadi pada Niin. Ia juga sangat ingin menolong Naara, menyingkirkan semua keraguan yang bisa mengurunkan niat mulia tersebut, hatinya bahkan sempat memohon agar ia bisa ke masa yang ia lihat dan memeluk Naara kecil yang sedang menggigil kedinginan padahal di sana ada Thougha, orang yang sangat ia takuti.
*
Yyug membuka mata dan ternganga saat mendapati banyak kepala di atasnya.
"Untung kau bangun, tadi aku sudah ingin menguburmu," Jeki berucap, raut wajahnya pada Yyug sudah sangat masam. Seluruh anggota Garuda Merah selain Naara, Niin dan Binggo sudah kembali ke markas.