Jika yang kuasa bertanya tentang hal yang kuinginkan sebagai permintaan terakhir, maka aku akan meminta agar Dia memberiku sedikit waktu lagi untuk bisa berada di dekatmu.
*
Thougha terdiam. Menatap Naara dengan tatapan yang sulit ditebak.
Waktu telah berlalu beberapa menit, Thougha yang sejak tadi terdiam mulai membuka mulutnya.
"Itu karena kau ... sangat lemah," ucapnya tanpa ekspresi. "Karena kau lemah kau tidak berhak untuk berada di dunia ini lebih lama lagi. Jadi se–""
"He-hentikan, Ayah!" pungkas Isura melepaskan diri dari pelukan Naara.
"Kakak, kau tidak apa-apa?"
Isura tidak menjawab. Tangan kanannya bergerak untuk memegang pedang yang tertancap di perutnya.
"Kakak, apa yang akan kau la–" Naara bergidik ketika Isura mencabut paksa pedang tersebut tanpa keraguan sedikit pun.
Darah mengalir namun tidak banyak. Dengan kemampuannya, Isura menghentikan pendarahann dengan membekukan area luka.
Dengan kaki gemetar, Isura menegakkan tubuhnya kembali. Mata safir kuningya menatap tajam pada Thougha. "Jika kau berkata buruk lagi tentang adikku, maka kau tidak akan kumaafkan!" ucapnya penuh penekanan.
Selang beberapa detik setelah Isura mencetuskan kalimatnya, gelak tawa melompat dari mulut Thougha.
"Tidak akan memaafkanku katamu. Huh, memangnya kau bisa apa?" ucap Thougha meremehkan.
Alis Isura makin menukik. Tatapannya pun makin menajam.
"Akan kuperlihatkan apa yang bisa kulakukan."
Qiwer yang semula hampir redup, menyala kembali dan meluap-luap seperti nyala api. Luapan kali ini lebih besar dari yang sebelumnya.
Area di sekitar seketika ditutupi es secara meluas. Pedang Thougha yang kini berada di tangannya pun ikut diselubungi qiwer yang menyala.
"Kau masih di sini? Aku sudah menyuruhmu pergi 'kan." Kalimat dingin itu ditujukan untuk Naara.
"Ta-tapi–"
"Apa kau tidak dengar? Aku bilang pergi dari sini!!" Nada ucapan Isura mulai meninggi, kesan dinginnya pun semakin terasa.
Ekspresi kaget bercampur takut jelas terlihat di wajah Naara. Ini adalah kali pertama Isura berbicara padanya dengan nada seperti itu.
Isura melirik Naara dengan sorot mata yang sangat tajam. "Apa lagi yang kau tunggu?!"
Naara tersentak. Menataap takut pada Isura. "Kakak ...." Kedua bola matanya bergetar. Benarkah yang di hadapannya itu adalah Isura?
Isura menggeser pandangannya kembali ke depan. "Ibu melindungimu dengan mempertarukan segalanya termasuk nyawanya sendiri. Mungkin selama ini kau mengira ibu tidak menyayangimu.
"Tapi sebenarnya ibu itu sangat menyayangimu. Dia membuat dirinya terlihat jahat di depanmu, semua itu demi melindungimu. Jadi ... Jika kau sampai mati di sini ...." Kedua tangannya mengepal. "Kau tidak akan kumaafkan!"
Lagi-lagi Isura mencetuskan kalimatnya dengan sangat dingin.
Mata Naara masih tidak berubah, bola matanya masih bergetar menatap punggung Isura. "Kakak ...."
Tidak ada jawaban. Isura bergeming. Angin berhembus membawa hujan. Sikap tak acuh nan dingin memprovokasi Naara untuk mulai mengangkat kakinya dari es lalu melangkah mundur. Selangkah, dua langkah, tiga langkah.
Ia berjalan mundur sesaat sebelum ia memutar tubuhnya dan berlari menjauhi Isura.
"APAPUN YANG TERJADI TERUSLAH MELANGKAH MAJU DAN TETAP HIDUP NAARA!!" teriak Isura ketika Naara telah menjauh dari pandangannya.
Di sepanjang pelarian, Naara tidak henti-hentinya menangis. "AAAAAAA!" Semua kesedihan ia teriakkan di bawah hujan lalu saat ia melewati lantai es dan kembali menginjak genangan air hujan ia jatuh terjerembab sesaat setelah terdengar dentuman juga getaran.
"Kakak!" Ia bangun dan melihat ke belakang dengan perasaan cemas. Sekilas pendaran cahaya terlihat di kejauhan. Ia ingin kembali tapi saat mengingat perkataan Isura .... "Kakak ... hiks ...." Ia kembali berlari.
*
"Guru ...." Air mata lagi-lagi terjatuh dari mata yang terpejam, meluncur bebas pada kegelapan tanpa batas. Bola-bola yang memenampilkan kilas balik masih bergulir di sekitar tubuh yang melayang.
*
Ia yang sejak tadi berlari kini tiba di sebuah tepi sungai.
Apa yang harus kulakukan? Sekarang bagaimana? Mungkin pertanyaan itulah yang ada di benaknya saat menatap arus ganas di depannya. Arus itu menghanyutkan dan menenggelamkan apapun yang dilewatinya.
Tidak tahu harus melakukan apa, ia semakin menangis. Air matanya terus berjatuhan seolah tidak akan pernah ada habisnya.
"Kakak, ada sungai ... hiks... aku tidak bisa lewat." Ia terduduk dan melepaskan selurjh kesedihan dan air matanya yang ingin keluar.
"AAAAAAGH! hiks ...."
"Kakak ... hiks ...." Ia tersungkur. "Ka-kakak, aku sakit."
Ia merasakan sakit tapi ia pun tidak tau bagian mana dari dirinya yang sakit.
Selama ini ia sudah menerima semua bentuk rasa sakit. Seharusnya ini sudah biasa baginya.
"Ka-kakak ...." Ia membayangkan wajah Isura yang sedang tersenyum hangat kepadanya.
Sekarang dia mengerti, alasan kenapa ia bisa begitu tabah melewati semua penderitaan yang ada. Itu karena selama ini ada Isura yang berdiri di dekatnya.
Selama ini, Isura tidak hanya memerankan perannya sebagai seorang kakak, tapi dia juga memerankan peran sebagai seorang ayah dan juga memerankan peran sebagai seorang ibu dalam hidupnya.
Saat ia dalam bahaya, Isura selalu ada untuk melindunginya seperti seorang ayah. Saat ia sakit dan terluka, Isuralah yang merawat dan mengobati lukanya seperti seorang ibu.
Isura mengisi setiap kekosongan dalam hatinya. Karena itulah dia mampu melewati semua penderitaan. Diabisa bertahan karena selalu ada Isura.
Tapi sekarang bagaimana? Sudah tidak ada Isura di dekatnya, sudah tidak ada Isura yang bisa ia andalkan. Sekarang dia dituntut untuk bisa bertahan hidup sendiri.
"Apa aku bisa, Kak Isura?" ia bergumam kembali seraya menolehkan wajahnya dan tak sengaja melihat sebatang rumput yang berada tiga jengkal darinya.
Ia berpikir bahwa rumput itu sama sepertinya. Dia juga sendirian.
Ia terus mengamati tumbuhan berbatang kerdil itu bertahan di bawah terpaan hujan. Sesekali ia merunduk sampai begitu rendah tapi dia tidak patah. Terlihat lemah tapi sebenarnya kuat, sangat gigih dan keras kepala.
Dia hidup sendiri tanpa ada yang menopang. Dia hidup tanpa bergantung dan tanpa mengandalkan siapapun. Meskipun hujan badai menerpanya tanpa ampun, tetap saja ia mampu bertahan.
Dari dalam hatinya, Naara merasa malu pada tumbuhan kerdil tersebut karena tumbuhan itu bisa bertahan dengan kekuatannya sendiri.
Ia menyadari satu hal lagi bahwa selama ini ia selalu mengandalkan dan bergantung pada Isura.
Naara belajar tentang kegigihan bertahan hidup dari rumput kerdil yang tak sengaja ditemukan oleh indra penglihatannya. Mungkin itu adalah petunjuk semesta.
Bertahan hidup dengan kekuatan sendiri. Itulah yang Naara pelajari.
=>Apapun yang terjadi teruslah melangkah maju dan tetap hidup Naara!" teriakan Isura beberapa waktu lalu seketika menggema dalam pikirannya.
Ekspresi kaget yang tipis sesaat terlihat di matanya. Ia bangun dan mulai menegakkan tubuhnya kembali.
Setelah tubuhnya benar-benar tegak, ia mengepalkan tangan. "Kakak, aku akan tetap hidup, tapi kau juga harus bisa bertahan hidup. Kau tidak boleh kalah. Aku akan menunggumu di seberang sungai ini." Ia memandang daratan yang berada di seberang.
Sesudah mengumpulkan tekad, ia melompat dan menceburkan diri ke dalam sungai. Tak peduli bahwa arus di sana dapat membuatnya terbunuh.
Tak memberi ampun dan belas kasihan, arus ganas sungai bergantian menerjang dan menghantam tubuh mungilnya. Walau sangat kesulitan untuk mempertahankan diri dari buasnya gelombang arus ia tidak ingin kalah.