Chereads / Naara: Blind Sword / Chapter 34 - Ch.33: Ingatan Pilu Masa Lalu (IPML)

Chapter 34 - Ch.33: Ingatan Pilu Masa Lalu (IPML)

Hening. Tidak ada suara kecuali suara air yang mengalir lambat mengikuti jalannya. Mata biru itu menyipit, menatap tangan yang dia pegang. Tangan itu pernah bekerja sangat keras untuk mendapatkan pengakuan dari orang yang pernah ia panggil ayah.

{"Kau anak tidak berguna, seharusnya kau tidak pernah lahir," ucap Thougha pada Naara yang tergeletak menengkurap. Setiap kata yang diucapkannya begitu tajam membelah hati kecil yang cuma mengharapkan cinta.

Sekujur tubuh anak itu dipenuhi luka, wajahnya babak belur serta darah mengalir deras dari hidung, kepala dan mulutnya. Ia hampir tidak bisa bergerak sama sekali. Jika anak lain di posisinya maka anak itu pasti sudah tidak sadarkan diri bahkan meninggal.

Entah bagian mana dalam dirinya yang tidak dihinggapi rasa sakit, mungkin tidak ada.

"Anak lemah sepertimu tidak pantas menjadi putraku." Thougha hendak melangkah pergi namun kakinya tertahan oleh tangan kecil Naara.

"Tu-tunggu. Ji-jika a-aku menjadi kuat a-apa kau a-akan me-mengakuiku? Ji-jika aku ku-kuat apa kau a-akan me-menyayangiku A-ayah?" Dengan mata lebam yang sulit terbuka Naara memandang sayu kaki Thougha.

Tidak ada jawaban  Tanpa belas kasih, Thougha menendang tangan yang menahan kakinya dan berlalu.

Naara meringis saat tangannya diinjak.

"Ayah ...." Mata rubinya memandang kabur  punggung Thougha, ia sangat mencintai ayahnya itu tapi kenapa ia dibenci. Tubuhnya sakit tapi hatinya jauh lebih sakit.

Ia mengangkat dan menatap telapak tangannya sendiri. "Ayah aku akan menjadi kuat, aku janji" Tangan itu dikepalkan sebelum segala sesuatu menjadi gelap.}

'Tangan yang kau injak hari itu akan membunuhmu besok.'

"Guru sakit."

Tanpa sadar ia mencengkram pergelangan tangan yang dipegangnya dengan sangat kuat. Mendengar ucapan Niin, ia langsung melepasnya, berdiri dan berjalan pergi.

Ingatan tersebut benar-benar membuat kebencian yang selama ini ia pendam membuncah. Mata yang menatap tajam lurus ke depan dan kedua tangan yang mengepal kuat menjelaskan seberapa besar kebencian yang ia miliki.

"Maaf." Itu terucap dari Niin yang berjalan di sampingnya. Ia merasa telah membuat Naara teringat pada ayahnya.

Naara tidak menggubris, dia terus berjalan dengan ekspresi yang tidak berubah.

Tanpa terasa, hari sudah malam, matahari telah tenggelam sempurna di dalam tanah. Naara dan Niin telah sampai ke sebuah muara. Berbeda dengan dasar sungai yang berwarna kuning, dasar muara terlihat gelap.

Naara mngedarkan pandangan ke sekeliling, hanya ada pepohonan. Ia membuka lipatan kertas yang sejak tadi terselip di sabuk pedangnya dan membaca lagi kalimat teka-teki yang ada di sana.

"... Pada pertengahan bulan dua singkirkan satu ulat dari apel merah. Cahaya akan muncul. Jiwa kembali dan pintu terbuka."

Ia kembali melihat ke sekeliling, berpikir apa yang dimaksud pertengahan bualan dua, dia harap itu cuma kata kias sama seperti naga kuning. Lalu bagaimana tentang menyingkirkan satu ulat dari apel merah? Di sana banyak pohon tapi ia seratus persen yakin kalau di sana tidak ada pohon apel, apa itu kata kias juga?

Angin bertiup, membawa sehelai daun melewati garis pandangnya dan terjatuh ke permukaan air.

Dahinya berkerut, melihat bayangan bulan di depan daun. Ia melihat ke atas, bulan sedang bersinar cerah di sana 'pertengahan bulan dua apakah ...?" ia berpikir lalu kembali lagi melihat ke air lantas merasa terkejut karena daun yang tadi telah menghilang tanpa jejak.

"GURU!!"

Hal lain yang lebih mengejutkan terjadi. Niin, entah sejak kapan ia turun ke air dan sekarang dia sedang dalam proses tenggelam.

Ia berlari, melompat ke air dan berencana menolong Niin namun sesaat setelah ia tiba di dekat Niin, ia pun ikut tenggelam. Ia merasakan hal tak wajar sedang terjadi, seolah tubuhnya tersedot ke bawah.

Ia mengerahkan segala tenaganya untuk menyelamatkan diri sementara Niin sudah tidak terlihat lagi, selang beberapa detik ia pun ikut tenggelam.

Ketika ia berpikir bahwa dia benar-benar tenggelam ke dalam air, ia tersadar bahwa bukan itu yang terjadi. Sekarang ia terjatuh pada kegelapan yang entah di mana dasarnya. Terasa seperti ketika ia dan Niin dijatuhkan sesaat setelah pernikahan dan sekarang segerombolan bola-bola cahaya putih mengepungnya.

Menghentikan gerak jatuh dan membuatnya melayang.

"Dia?" Matanya membulat penuh saat salah satu bola menunjukkan sosok orang yang paling dia benci namun hal yang paling mengejutkan dan menggetarkan hatinya adalah keberadaan sosok gadis kecil berambut kuning terkurung di sebuah tabung dengan rangkaian selang melilit seluruh tubuhnya.

Gadis itu sangat pucat, kurus sampai bentuk kerangka wajahnya bisa dilihat dengan jelas. Sebuah kejahatan keji lainnya yang dilakukan oleh Thougha. Ia menunduk dan melihat Niin yang berada sedikit lebih rendah darinya.

Mulutnya membentuk o saat melihat air mata mengalir di wajah yang ia tatap.

Lalu ....

Tanpa bisa dikendalikan, sebuah ingatan dari tubuh yang ditumpangi mengalir begitu jelas.

"Guru ...." Setetes air meluncur bebas pada kegelapan, berkilau sepefti pecahan kristal yang jatuh.

*

"Murid Tuan Kei itu galak sekali, yah." Lily keluar dari lubang hitam yang terbuka di tanah sementara Nenek Lope dan Raya sudah keluar lebih dulu.

Kehidupan sudah membuatnya seperti itu." Nenek Lope berjalan menuju sebuah pohon.

"Tapi apa tidak apa-apa membiarkan mereka begitu saja? Seharusnya kita membantu mereka 'kan?" Raya menghampiri bersama Lily.

"Kalau mau keluar yah mereka harus usaha sendiri." Nenek Lope duduk bersandar di batang pohon, meluruskan kaki dan menjadikan tangan sebagai bantalan.

"Sepertinya nenek masih marah pada Naara," bisik Lily pada Raya.

Mereka saling tersenyum lalu duduk bersimpuh di dekat Nenek Lope.

Sementara itu Nenek Lope sedang menatap jauh ke langit malam, di sana ia membayangkan sosok pria berambut putih lebat berjubah abu-abu, Ryukei. "Ayo lihat bagaimana muridmu akan menghadapinya," ia membatin lalu kemudian teringat dengan Niin. "Gadis itu, dia juga menyimpan  banyak luka, memang sudah benar menikahkan mereka. Seperti katamu ...." Ia menyipitkan matanya menatap langit begambar sosok Ryukei. "Persamaan nasib akan membuat kita saling memahami."

Di tempat sebelumnya, Niin yang berada di tubuh Naara mulai terbawa ke sebuah ingatan masa lalu.

*

Awan mendung perlahan menutupi langit cerah di suatu sore.

Hamparan rumput dan pohon-pohon muda di pinggiran hutan bergemerisik, bergoyang mengikuti tiupan angin, di sana terlihat dua orang bocah laki-laki sedang berlarian ke sana kemari.

Isura si rambut putih dan Naara si rambut merah. Wajah kedua kakak beradik itu dihiasi oleh tawa kebahagiaan, lebih-lebih untuk Naara si rambut merah, ia benar-benar tidak bisa berhenti tertawa saat dikejar oleh kakaknya.

Mereka terus berlari, tertawa sambil menghindari ranting-ranting kecil yang mereka lemparkan secara bergantian, nampaknya mereka sedang bermain perang-perangan.

Angin lagi-lagi bertiup, kali ini cukup kencang hingga membuat daun-daun hijau beterbangan. Isura yang melihat itu, tiba-tiba berhenti berlari.

Ia terdiam sembari memandang lekat gumpalan awan hitam di atasnya.

Merasa kakaknya berhenti mengejarnya, Naara berhenti berlari, menoleh ke belakang dan melihat Isura yang sedang terdiam memperhatikan awan.

Dengan cepat ia berbalik arah dan berlari menghampiri Isura. "Kakak, ada apa?" tanyanya setelah berdiri di dekat Isura.

Sambil menunggu jawaban, ia ikut melihat awan yang sedang diperhatikan Isura. "Sepertinya akan turun hujan," gumamnya tanpa mengalihkan pandangan.

"Awan ini rasanya tidak wajar," ucap Isura, membuat Naara menatapnya.

"Tidak wajar? Apa maksudnya?" Naara berekspresi tidak mengerti.

"Entahlah  Naara. Aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi."

Naara menatap bingung, ia semakin tidak mengerti dengan ucapan Isura.

"Kita harus segera pulang." Isura menjatuhkan semua ranting yang sejak tadi dipegangnya kemudian meminta Naara menjatuhkan ranting-ranting yang dipegangnya juga.

"Tapi Kak, permainan ini belum selesai. Aku masih belum mengalahkanmu. Kita pulangnya nanti saja." Naara keberatan.

"Kita bisa melanjutkan ini besok." Isura mengambil semua ranting di tangan Naara, membuangnya lalu segera menarik tangan adiknya itu.

Isura membawa Naara berlari dengan cepat, wajahnya terlihat tegang sedangkan Naara hanya menatap bingung ke arah punggung kakaknya.

*

"Jeki!"

Pria pemilik poni berjurai ke samping menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya.