Olivia mencengkram mata pedang yang separuhnya telah tertanam di dadanya.
"Aku ...." Air matanya berjatuhan. Darah yang berasal dari luka di dahi merembes turun membasahi pipinya. Membuatnya terlihat meneteskan air mata darah.
"Aku ... tidak akan pernah memaafkanmu. Jika kau sampai melukai putraku maka aku ... ti-tidak akan pernah bisa ... sampai kapanpun.
"Jika kau ingin mengadakan sebuah revolusi, jangan korbankan anak-anakku! Itu tidak bisa kuterima ... hiks ...." Air mata bercampur darah kian menetes, membasahi karpet hijau yang menutupi lantai.
Di tengah rasa sakit yang mendera. Olivia mendesis, menangis dan mengingat saat-saat kebersamaannya dengan Thougha.
"Thougha, dulu kau tidak seperti ini. Kau pria yang baik karena itulah di masa lalu aku ingin menikah denganmu tapi ....
"Aku tidak mengerti ... hiks ... sebenarnya apa yang sudah merasukimu? Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan? Thougha ... sadarlah ... Thougha ... hiks sadarlah ...."
"Aku sadar sepenuhnya dengan yang aku lakukan. Aku mengumpulkan kekuatan dan melakukan berbagai penelitian untuk menciptakan kekuatan baru yang tidak tertandingi.
"Naara itu putraku, jadi aku mengekstraksi penelitian berhargaku Seimon ke dalam dirinya karena kupikir dia bisa mengendalikannya, tapi sayang anak itu mengecewakan. Dia lemah. Tidak berguna.
"Aku bahkan sangat malu mengakui anak lemah itu sebagai putraku. Dia tidak pantas menjadi anakku. Karena dia tidak berguna makanya dia lebih baik mati."
Sakit, sangat sakit. Naara saat ini sudah sedingin bongkahan es. Tidak ingin membuat adiknya lebih menderita lagi, Isura menggapai tangan Naara dan mengajaknya pergi dari sana.
Akan tetapi, Naara tidak bergerak sama sekali dari posisinya. "Naara ...." Isura menatap cemas.
"Aku ingin mendengar ini sampai akhir," ucap Naara tanpa ekspresi, matanya terlihat sangat kosong.
"Naara, kau ...."
Naara tidak merespon, ia fokus mendengarkan pembicaraan dua orang yang berada di dalam ruangan.
Air mata darah mengalir semakin deras membasahi wajah wanita malang itu.
"Keterlaluan kau, Thougha. Kau benar-benar sudah berubah. Hiks ... kenapa kau jadi seperti ini ... hiks ... hiks," Olivia masih terus berbicara, tersedu-sedu penuh penderitaan.
"Aku tidak berubah, Olivia. Sejak dulu kau sudah tau 'kan, kalau aku bercita-cita untuk menciptakan sebuah revolusi perdamaian. Semua ini kulakukan demi perdamaian."
"Perdamaian katamu ...." kekesalan Olivia semakin bertambah. Ia memperkuat cengkraman pada mata pedang membuat darah bercucuran, rasa sakit di hatinya pasti jelas terasa lebih sakit sehingga rasa sakit apapun di tubuhnya sudah tidak ia pedulikan lagi.
"Menjadikan anak sebagai kelinci percobaan dan membunuh istri sendiri, apa itu perdamaian yang kau maksud?" Giginya menggertak.
"Untuk mewujudkan itu, banyak hal yang harus dikorbankan. Naara hanya satu di antaranya. Aku tidak bermaksud membunuhmu, tapi karena kau ingin menghalagiku maka aku terpaksa melakukan ini.
"Sekarang aku memberimu dua pilihan. Mendukungku atau melawanku. Jika kau mendukungku untuk melenyapkan Naara maka kau akan kubiarkan hidup, tapi jika sebaliknya kau akan mati."
"Ja-jangan bercanda. Aku yang melahirkannya tidak mungkin aku membunuhnya ... hiks ...." Olivia mengingat saat ia pertama kali menggendong Naara.
"Huh." Thougha mempererat pegangannya pada gagang pedang. "Kalau begitu. Matilah." Ia menancapkan pedangnya lebih dalam ke dada Olivia.
"Uhk." Darah muncrat bertepatan dengan pedang yang menerobos rusuk dan menembus jantung.
"Kau yang memaksaku melakukan ini, Olivia," ucap Thougha kemudian mencabut kasar pedang yang tertanam.
Mata Olivia membelalak, kakinya mulai tak bertenaga. Tak lama ia jatuh berlutut kemudian jatuh tersungkur di dekat kaki Thougha.
"I-ibu ...." Seakan terhimpit oleh dua tembok yang besar. Dada Isura terasa sangat sesak dan sangat pilu. Kedua tanganyya terkepal. Benarkah pria di dalam itu adalah ayahnya? Bukan, itu iblis.
Hatinya terbakar, ingin sekali rasanya ia masuk dan mengamuk pada pria itu tapi ... ia melihat adiknya yang sudah seperti mayat hidup dan terngiang pembicaraan di dalam tadi.
Hidup Naara dalam bahaya sekarang. Sebagai kakak ia tidak akan pernah membiarkan siapapun melukai adiknya.
Malam semakin larut, Isura membawa adiknya berlari tanpa tujuan. Selama pelarian, tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Masing-masing tenggelam dalam pemikiran sendiri. Kejadian memilukan yang mereka saksikan beberapa waktu lalu terus terbayang dan menghantui pikiran mereka.
Hujan disertai angin kencang sama sekali tidak menaruh belas kasihan pada dua kakak beradik itu.
Naara yang sejak tadi mengikuti Isura berlari tiba-tiba berhenti dan hal tersebut tentu membuat Isura ikut berhenti.
Isura menoleh, menatap cemas ke arah Naara. "Ada apa, Naara?"
"Tinggalkan aku." Naara menunduk sambil menatap kaki Isura di bawah.
"Kau ini bicara apa?"
"Ayah membunuh ibu karena ibu berusaha untuk melindungiku. Jika kau melindungi dan terus bersamaku maka ayah juga akan membunuhmu."
"..."
Karena tidak mendengar apapun, Naara mengangkat kepalanya dan melihat Isura yang sedang menatapnya dengan lekat.
Setelah beberapa detik terdiam, Isura pada akhirnya membuka suara. "Kalau kau berhenti hanya untuk mengatakan hal seperti itu, kita tidak punya waktu. Ayo lari!" Isura kembali menarik tangan Naara untuk lari.
Akan tetapi Naara menghempaskan tangannya dari genggaman Isura. "Kau tidak mengerti!" ucapnya dengan nada meninggi.
"Bagiku ... kau itu adalah segalanya, jika kau sampai terbunuh karena aku maka aku ... bagaimana?
"Aku tidak punya teman, semua orang menjauhiku karena ayah melarang siapapun untuk mendekatiku, tapi kau ... Meskipun ayah melarang, kau selalu menemaniku.
"Kau tidak pernah membiarkanku merasa kesepian. Bagiku kau sangat berarti jadi pergilah, Kak! Aku tidak mau kau terbunuh karena aku, lebih baik mati dari pada harus kehilangan kakak ...." Air mata yang tersamar oleh air hujan membasahi kedua pipinya.
"Kalau aku jadi kau dan kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?" tanya Isura dengan ekspresi datar.
"..."
"Saat tau seseorang ingin membunuhku, apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan lari meninggalkanku dan membiarkanku mati begitu saja, Naara?"
Perkataan tersebut membuat Naara yang terisak bungkam, beku menatap wajah Isura. Berbeda dari biasanya yang selalu tersenyum dan hangat, kali ini wajah itu sangat datar namun sorot matanya terlihat sangat teguh.
"Aku ... tidak akan lari. Aku ... akan melindungimu," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari Isura.
"Kalau begitu jawabanku sama denganmu. Sudah menjadi tanggung jawab seorang kakak untuk melindungi adiknya. Jikapun harus terbunuh maka itu sudah menjadi takdirku.
"Naara, waktu kematian seseorang itu sudah ditentukan jauh sebelum orang itu lahir. Jika nanti aku terbunuh maka itu sudah menjadi takdirku bukan karena kau.
"Yang harus terjadi maka terjadilah. Kita tidak bisa menghindar ataupun melarikan diri dari kematian. Aku ingin kau memahami itu, Naara."
"Tapi, Kak–"
"Sudahlah, ayo!" Tanpa memberi kesempatan Naara untuk menyelesaikan kalimatnya, Isura menarik tangan Naara dan kembali berlari.
Belum lama mereka melangkahkan kaki dengan cepat, sebuah petir menyambar, membuat mereka jatuh tersungkur.
"Naara, kau tidak apa-apa?" Isura bangkit dan bergegas membantu Naara berdiri.
"Aku tidak apa-apa. Bagaimana denganmu, Kak?"
Isura hendak menjawab, tapi ....
"Tidak ada yang bisa lari dariku," Suara berat nan mengintimidasi tersebut membatalkan kata yang sudah hampir keluar dari mulut Isura.
Isura memutar kepalanya yang kaku ke belakang dan terbelalak. "A-ayah."
*
Jeki menoleh dan berbinar seketika saat melihat gadis berambut pirang berjalan ke arahnya.
"Nacima!"