Chereads / Naara: Blind Sword / Chapter 30 - Ch.29: Janji Kai Pada Kei

Chapter 30 - Ch.29: Janji Kai Pada Kei

Lingkaran cahaya merah muncul secara ajaib di jari manis Niin dan Naara, berpendar membentuk pola sebuah cincin lalu di detik berikutnya pemandangan gua di sekitar mereka secara perlahan memudar dan berganti menjadi pemandangan pantai yang  indah.

Niin terpaku, terpukau dengan apa yang ada di depannya, cahaya lembut matahari fajar dipantulkan oleh perairan yang membentang luas terlihat begitu indah, suara debur ombak yang pecah di garis pantai memiliki ritme tersendiri yang membuat hati pendengarnya menjadi sangat tenang.

Untuk pertama kalinya ia melihat pemandangan seperti itu dan merasa tidak ingin beranjak dari sana.

Sementara Naara, ia terlihat memejamkan mata seperti sangat menikmati angin yang berhembus menyapu wajah dan menerbangkan beberapa helai rambutnya.

Niin yang tidak sengaja menangkap wajah Naara yang sedang meresapi setiap  ketenangan yang ada merasa terpesona, saat seperti itu Naara terlihat sangat tampan, tenang dan membuat hati orang yang melihatnya merasa teduh.  Tanpa sadar ia pun tersenyum.

"Nenek!"

Seruan seseorang mengalihkan perhatian semua orang. Empat orang berbaju putih menghampiri mereka. Dua dari mereka adalah pria dan dua lainnya adalah wanita, di telinga kiri masing-masing wanita tersebut terselip bunga merah.

"Mereka adalah calon mempelai, jadi segera persiapkan pernikahannya," ujar Nenek Lope sesaat setelah keempat orang tersebut tiba.

Mendengar itu mendadak Niin jadi tegang, ia memutar kaku lehernya ke arah Naara, berpikir bahwa raut wajah pria itu pasti sudah sangat tidak mengenakkan namun ternyata terlihat biasa saja dan tidak ada kerutan apapun walau begitu aura tidak suka jelas terasa terpancar darinya.

Naara, dia berencana untuk mengikuti permainan Nenek Lope untuk sementara waktu , nanti jika ada kesempatan dan ia sudah tahu cara keluar dari tempat tersebut ia akan membereskan nenek itu. Menikah adalah sesuatu yang tidak ada dalam daftar rencana hidupnya, yang ada hanyalah balas dendam lalu mati.

*

"Yyug bangun! Hey Yyug!!!" Ryukai yang baru kembali dari Negeri Lango bersama Levi berusaha membangunkan Yyug yang mereka temukan terlentang di depan pintu masuk.

"Jangan-jangan dia mati," celetuk Levi tak habis pikir dengan Yyug yang sejak tadi dibangunkan tapi tidak bangun-bangun.

Mendengar itu Ryukai hanya berdecak lidah, ia tahu persis  kebiasaan buruk bawahannya itu, kalau sudah mengantuk dia bisa tidur di mana saja dan kalau sudah tidur maka akan sangat sulit membangunkannya bahkan pernah suatu ketika banjir datang dan menghanyutkannya ia tetap tidak bangun sampai tidak jarang waktu awal-awal Ryukai bertemu Yyug, Ryukai beberapa kali dibuat panik karena berpikir Yyug mati.

Tahu bahwa Yyug tidak akan bangun sebelum dia mau, Ryukai menyerah dan memutuskan untuk membawa bawahannya itu masuk.

Setelah membawa Yyug ke kamarnya, di lorong, Levi bertanya apa tidak apa-apa, yang dia tanyakan adalah soal Reen dan yang lain karena mereka belum kembali.

Ryukai mengatakan bahwa tidak perlu mencemaskan mereka dan meminta agar Levi beristirahat sementara dia pergi ke ruangannya.

Di ruangannya ia melepas jubah merah muda kebanggaannya dan menggantung benda tersebut  di dinding. Setelah itu ia beralih merapikan mejanya serta benda-benda yang ada di rak namun tanpa sengaja ia menyenggol sebuah foto hingga jatuh, itu adalah foto kakaknya.

Ia mengambil foto tersebut dan merasa lega karena itu tidak pecah.

Sekarang ia menatap foto tersebut sangat lekat, di sana wajah Ryukei yang sedang tersenyum terpampang sangat nyata. "Sampai sekarang aku tidak mengerti, kau itu naif atau bodoh," gumamnya dan tanpa sadar ia mulai melamunkan suatu sore di masa lalu.

*

Cahaya senja menerpa wajah kedua pria berambut putih yang duduk di bawah pohon seraya menenghadapkan wajah pada matahari yang mulai terbenam.

Sekilas wajah kedua pria itu hampir mirip, tak ada perbedaan yang menonjol selain perbedaan panjang dan model rambut.

"Kai, apa aku boleh meminta sesuatu padamu?" tanya pria pemilik rambut panjang tanpa melihat lawan bicaranya.

Beberapa detik pria berambut putih pendek berponi rata terdiam, tak langsung menjawab. Ia malah menautkan alisnya dan memandang dalam pada teman duduknya. "Kak, Kei?" ia berucap lirih.

"Kai, berjanjilah padaku, saat aku tidak ada, aku ingin kau menjaga anak Thougha, Naara. Kau tidak perlu ada di dekatnya, kau cukup mengawasi dari jauh. Pastikan dia aman dan harus tetap hidup," ucap Kei tanpa menunggu persetujan Kai. Kali ini ia juga masih belum mengalihkan pandangannya dari matahari senja.

"Hey ...." Kai memandang cemas.

Sementara itu, Kei nampak mengeluarkan sebuah buku bersampul coklat usang lalu menyodorkannya pada Kai. "Ambillah."

"Apa ini?" Kai mengambil buku tersebut dan memandangnya lekat.

"Itu buku tentang Seimon. Buku yang kutulis setelah bertahun-tahun mengamati Seimon di dalam tubuh Naara. Di sana ada cara untuk mengendalikan kekuatan itu dan aku ingin kau membantu Naara untuk mengendalikannya.

"Awalnya aku tidak ingin melibatkan Naara dalam konflik dunia ini karena itu aku mencoba mengekstraksi Seimon ke dalam diriku dan berencana meledakkan diri, tapi setelah bertarung dengan Thougha beberapa kali, aku jadi tau bahwa hanya Seimon yang mampu menandingi kekuatannya, tapi jika Seimon tidak bisa dikendalikan maka percuma saja," jelas Kei.

"Tapi kenapa harus aku, kenapa bukan kau saja?"

"Tubuhku ini sudah tidak bisa bertahan lebih lama, karena itu aku memintamu."

"Berhenti bicara seperti orang yang akan mati. Jujur kau membuatku takut, Kak." Kai memandangi wajah kakaknya dengan hati was-was. Ia melihat wajah itu tersenyum, tapi tatapannya amat sendu.

"Aku tidak tau kalau ada juga hal yang kau takuti, Kai." Sekarang Kei berucap sambil menatap adiknya.

Senyum yang ditunjukkan Kei terlihat semakin lebar namun senyum itu justru membuat Kai bertambah takut, seakan-akan itu adalah senyum terakhir dari Kei untuknya namun meski begitu, ia berusaha untuk membuat wajahnya senetral mungkin.

"Haah. Walau kau sangat menyebalkan, kau tetap kakakku dan satu-satunya keluarga yang kupunya. Jadi wajarkan kalau aku merasa begitu," Kai berucap seraya memalingkan wajah ke arah langit, sudah ada air yang menggenang di sudut matanya saat ini.

"Sampai sekarang aku tidak mengerti, kenapa kau selalu berusaha melindungi anak Thougha itu. Bahkan demi mengeluarkan Seimon dan memberikan kehidupan yang wajar pada Naara, kau berusaha mengekstraksi kekuatan itu dan merusak tubuhmu sendiri.

"Sebenarnya apa alasanmu, apa karena cintamu pada Olivia atau ada alasan lain? Kadang aku merasa bingung, kau itu baik atau bodoh?"

Tiba-tiba tawa Kei melompat bebas saat mendengar ucaan tersebut namun tak lama tawa itu mereda, sambil memandang langit kembali ia berkata, "Mungkin. Tapi ... bukan itu alasan utamanya."

"Lalu apa?"

"Karena aku percaya bahwa anak Thoughalah yang akan menghentikan kegilaan ayahnya dan mewujudkan perdamaian sejati, tekad kuat Isura yang didukung kekuatan dari Naara pasti bisa mewujudkan perdamaian yang aku, kau dan orang lain tidak bisa lakukan."

"Tu-tunggu, Isura? Dia kakaknya Naara 'kan? Bukannya dia sudah mati?"

"Hm." Kei tersenyum.

Kai menatap aneh. "Apa-apaan senyum itu." Ia merasa tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya.

"Daun yang gugur memberi kekuatan pada mawar untuk hidup, angin musim semi akan mencairkan es lalu tunas-tunas baru akan tumbuh dari tangkai mawar yang patah."

"Jangan berbelit-belit, aku tidak bisa memahaminya."

Kei menoleh melihat Kai. "Suatu hari kau akan paham. Aku yakin kalau anak Thoughalah yang akan mengakhiri semua kekacauan ini." Kei tersenyum lebar sedangkan Kai menatap penuh kebingungan.

"Kenapa ... kau bisa berpikir begitu?"

Kei memalingkan wajah ke matahari kuning di depan sana. "Hanya firasat," singkatnya, membuat Kai kembali berekspresi aneh, merasa sebuah kelapa baru saja menimpa kepalanya.

"Apa? Jadi hanya mengandalkan firasat tumpul yang tidak berguna itu?" Kai benar-benar merasa kecewa.

"Hahaha. Ayolah, kali ini kau harus percaya pada firasatku."

"Dcak. Anggap saja aku percaya."

Kei semakin tertawa. Melihat kakaknya terus tertawa ia pun ikut tertawa, mereka tertawa sepenuh hati meskipun tak ada hal yang begitu lucu. Sebenarnya mereka sedang berusaha melepas segala kecemasan yang ada di dada.

Mereka tertawa, tertawa dan tertawa sampai akhirnya tawa Kai mereda ketika sesuatu mengganggu pikirannya.

"Ngomong-ngomong ...."

Kei meredakan tawanya. "Ada apa?"

"Sampai sekarang aku tidak habis pikir kenapa Thougha membunuh Isura setauku Isura itu anak yang selalu ia banggakan. Bahkan dia juga membunuh Olivia."

"Alasan Thougha melakukan penyiksaan pada Naara itu untuk membangkitkan Seimon. Ia ingin Naara marah, membenci dan putus asa karena dalam kondisi emosi seperti itu maka Seimon akan mulai menguasai hati Naara lalu mengambil alih kesadarannya kemudian tubuhnya, tapi sayang rencana Thougha selalu digagalkan secara tidak sengaja oleh Isura.

"Setiap kali Naara mulai dihampiri kemarahan dan keputusasaan, Isura selalu ada dan meredam semua kemarahan adiknya dengan kasih sayang dan cinta yang ia berikan. Ia selalu memberi cahaya harapan pada Naara hingga Naara yang hampir putus asa kembali ceria dan itu membuat Seimon gagal bangkit."

"Jadi maksudmu Isuralah yang menyebabkan Seimon tidak bisa bangkit?"

"Um."

"Haah. Ini sangat rumit, tapi ... aku ini tidak tau apapun soal Seimon, bagaimana aku bisa membantu Naara?"

"Di buku itu semua penjelasan tentang Seimon sudah kutulis. Kau hanya tinggal membaca dan mempelajarinya. Aku percayakan muridku itu padamu, anggap saja ini permintaan terakhirku."

"Sudah kubilang jangan bicara seperti orang yang akan mati."

"Tolonglah ...." Kei memberikan tatapan mendalam di mana di sana terdapat banyak sekali harapan, membuat Kai terdiam seribu bahasa.

Kai sungguh tidak bisa menolak ditambah lagi melihat kesehatan Kei yang terus memburuk membuatnya benar-benar tidak tega. "Ini merepotkan, tapi akan kulakukan," ucapnya memalingkan muka  ke arah lain, berusaha agar tidak menangis.

"Hum. Terima kasih," Kei tersenyum tapi matanya menatap sedih. "Maaf jika selama ini aku banyak merepotkanmu. Aku kakakmu tapi kau selalu lebih kuat dari pada aku. Jagalah dirimu dan makanlah dengan teratur. Jika nanti kau bertemu wanita yang kau cintai dan mencintaimu menikahlah dan buat keluargamu sendiri agar kau tidak kesepian." Kei menunduk dan air matanya terjatuh.

Kai yang memalingkan wajah membelakangi Kei juga sudah berlinangan air mata.

"Kai ... aku sudah sering mengatakan ini, tapi aku ingin mengatakannya lagi, aku ... sangat menyayangimu."

...

Hening, angin berhembus melirihkan kisah sedih sebuah perpisahan.

Karena tidak mendengar suara lagi, Kai menoleh dan melihat kakanya telah berjalan di kejauhan.

*

"Aku juga menyangimu." Ia mengusap sedih foto itu dan meletakkannya kembali di rak lantas menyeka sedikit air yang menggenang di sudut matanya.