Chereads / Angel and His Broken Wing / Chapter 2 - Angel and His Broken Wing BAB 2

Chapter 2 - Angel and His Broken Wing BAB 2

Tubuh mungil itu tengah tertidur pulas di tempat tidurnya. Jika kalian bertanya apakah aku berhasil menyelamatkannya, maka jawabannya YA dan TIDAK. Aku sedikit terlambat sehingga Fatimah terlanjur jatuh ke dalam kolam renang. Beruntung insting alamiahnya untuk berenang masih dapat membantunya untuk mengapung sebelum aku sempat melompat ke dalam kolam dan meraihnya.

Ternyata bunda yang saat itu sedang berada di dapur mengira bahwa Fatimah masih terlelap di kamarnya. Hanya setelah mendengar suara dari halaman belakang, bunda segera berlari dan melihat Fatimah yang sudah terjatuh ke dalam kolam.

"You did good Son. Kalau nggak ada kamu, bunda nggak tau lagi apa yang akan terjadi" Lirih bunda yang saat itu tengah duduk di tempat tidur Fatimah. Bajuku rasanya sudah mengering di badan. Belum sempat kuganti. Entah kenapa hatiku sama sekali tidak ingin meninggalkan Fatimah. Kekhawatiran itu masih ada meski telah melihatnya tertidur pulas di atas tempat tidur dengan selimut warna pink kesayangannya.

"Bunda, aku janji, selama aku masih ada, aku nggak akan pernah biarin Fatimah terluka. Aku nggak tau apakah aku bisa jadi kakak yang baik yang mampu lindungi dia nantinya. Tapi aku akan selalu jaga dia seumur hidup aku bunda. Nggak ada yang boleh lukai dia sama sekali. Aku nggak akan pernah biarin peri kecil aku ini disakiti."

"Semua orang pernah teledor Fur. Kamu, Bunda, bahkan Ayah. Nggak ada yang patut disalahkan karena kecerobohan. Tugas kita memastikan itu nggak akan terulang lagi. Kamu adalah kakak terbaik yang bisa dimiliki sama Fatimah. Bunda yakin, kelak Fatimah akan bangga dan merasa beruntung karena punya kamu sebagai kakaknya. Vana juga pasti ikut bangga sama kamu."

Bunda tersenyum hangat setelah mendengar apa yang baru saja kuucapkan. Mungkin pada akhirnya harapan bunda agar aku bisa menerima kehadiran Fatimah sebagai adik telah terwujud. Jujur saja, aku sama sekali tidak pernah menyangkal kehadiran Fatimah dalam keluargaku ataupun sebagai adikku. Aku hanya terlalu takut jika kelak ia tahu bahwa kakaknya hanyalah orang yang tidak bertanggung jawab. Kini tak ada alasan lagi bagiku untuk menarik diri dan menjauh dari adikku ini.

Semakin hari semakin banyak waktu yang kuhabiskan bersama Fatimah. Mulai dari menemaninya bermain sepulang sekolah hingga tidur di malam hari. Boleh dikatakan aku tidak akan bisa tenang sebelum melihat peri kecilku benar-benar terlelap, dan itu menjadi sebuah kebiasan.

Masih terlalu jelas dalam benakku akan hari itu. hari di mana Fatimah hampir celaka jika saja aku tak segera melompat ke dalam kolam untuk menyelamatkannya. Hari yang sama dengan pertama kalinya rasa takut kehilangannya menyusup ke dalam hatiku mengalahkan luka yang selama ini kubiarkan menganga. Luka kehilangan yang membuatku selalu mendorongnya menjauh dariku.

Sejak saat itu aku bahkan sangat takut ketika melihat wajah pucatnya meski hanya kedinginan atau demam biasa. Seolah wajah pucat yang kulihat hari itu akan kembali menghiasi wajahnya dan menghapus rona merah di pipi peri kecilku.

Setelah merasakan kehilangan sekali dan hampir terulang kedua kalinya, aku membulatkan tekadku untuk menjadi dokter seperti ayah. Aku tidak ingin kelamnya rasa kehilangan menghantui hati orang lain. Tekadku adalah menyelamatkan sebanyak-banyaknya orang dan mengganti air mata mereka dengan senyuman kelegaan.

Malam sudah semakin larut hingga rasa kantukku tak lagi tertahan. Aku tersadar ketika suara bunda membangunkanku. Ternyata tanpa sadar aku tertidur di kamar Fatimah. Aku ingat ketika menemaninya tidur, ia enggan melepas jemariku dalam genggamannya sehingga aku memutuskan untk berbaring di sisinya sejenak, namun aku justru jatuh terlelap.

"Kamu balik tidur ke kamar gih. Fat juga udah nyenyak kok tidurnya."

Aku menuruti perintah bunda untuk beranjak menuju kamarku yang bisa diakses langsung melalui kamar Fatimah. Yap! Sejak 4 bulan yang lalu, ayah memutuskan untuk membuat connecting room sebagai kamarku dan Fatimah. Hal itu tidak terlepas dari rengekanku saat Fatimah harus menangis semalaman karena demam. Aku tidak ingin beranjak dari sisinya meski hanya sejenak yang berujung pada dramaku yang ingin selalu tidur di kamar Fatimah. Lebih dari sebulan kamarku tak pernah benar-benar kugunakan untuk beristirahat. Bahkan untuk belajar pun aku memilih untuk melakukannya di kamar Fatimah.

Terserah jika kalian menilaiku berlebihan. Namun jika kalian berada di posisiku, aku jamin kalian juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang sanggup dihantui rasa kehilangan terus menerus?

Oh iya, sekadar informasi. Aku diterima di SMA impianku, Right Brain High School. Akhirnya perjuanganku tidak sia-sia. Apa yang kusukai dari SMA ini? Programnya yang jauh berbeda dari sekolah pada umumnya. Di sini setiap pembelajaran yang diterima akan disesuaikan dengan tujuan dan bakat siswanya. Dengan kata lain, setiap siswa akan menentukan sejak dini langkahnya setelah lulus SMA. Sepertiku misalnya, memutuskan menjadi dokter membuatku menerima berbagai pembelajaran yang menjadi dasar bidang ilmu kedokteran. Sehingga materi pembelajaran yang tidak berkaitan dengan dunia medis akan menjadi pengecualian yang tidak perlu kuambil.

Di sini pula aku berkenalan dengan sahabatku, Navya Adinda. Dia adalah gadis keturunan India-Indonesia. Dia gadis yang baik dan menyenangkan. Dia juga merupakan orang pertama yang bisa dengan santai bergaul denganku, ketika orang lain memandangku sebagai kutu buku yang jauh dari kata asyik.

Pukul 2 siang, sudah waktunya aku kembali ke rumah. Hari ini aku berjanji pada bunda untuk menemani Fatimah. Bunda harus mengunjungi butiknya untuk meeting dengan client penting dari Malaysia. Semenjak menikah dengan ayah, bunda memang menjalankan usaha butiknya. Dari online shop, akhirnya bisnis itu berkembang menjadi butik yang memiliki banyak cabang di Indonesia dan beberapa cabang di Asia. Meski begitu, bagi bunda keluarga tetap menjaddi prioritas. Oleh karena itu, ia memberikan tanggung jawab bisnisnya kepada Tante Ardana, adik sekaligus orang kepercayaan bunda. Dari situ pula aku memiliki mimpi jika kelak aku ingin membangun sebuah bisnis yang kelak akan kuberikan kepada Fatimah.

Mimpiku sederhana. Aku ingin membangun dunia kecil yang indah untuk kuberikan kepada peri kecilku itu.

"Fur, ngapain ngelamun sendirian di sini?" Suara cempreng Navya benar-benar mengusik telingaku.

"Nunggu jemputan." Jawabku cuek. Seperti itulah aku. Aku tidak begitu pandai berekspresi di hadapan orang lain, termasuk Navya.

"Boleh main ke rumah loe nggak?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Di rumah lagi nggak ada orang Vya."

"Terus?"

"Gue nggak boleh nerima tamu cewek kalau di rumah lagi nggak ada orang. Lagian loe tuh nggak boleh yah asal main ke rumah cowok sendirian, apalagi kalau di rumah itu nggak ada orang. Loe tuh cewek. Gimana kalau loe kenapa-napa?"

"Astaga Furqan.... Pikiran loe travelingnya jauh amat sih."

"Jaga-jaga doang, Vya. Eh, jemputan gue udah datang. Gue duluan"

Entah ia sadar atau tidak, itu adalah kalimat terpanjang yang pernah kuucapkan kepada orang lain selain keluargaku. Aku bukannya tidak pandai bergaul. Aku hanya terlalu memilih pergaulanku. Entah kenapa, aku sangat anti dengan pergaulan hedonisme yang hanya menghabiskan waktu untuk nongkrong dan membicarakan hal yang tidak penting.

Wajah lucu Fatimah sepertinya jauh lebih menarik perhatianku dibandingkan obrolan tak bermutu seperti itu. Aku hanya lebih seriing menghadiri kuliah umum atau pembahasan mengenai sastra beraliran filsafat karena menurutku itu merupakan konsumsi yang jauh lebih berbobot dan tidak membuang waktu. Maaf jika kalian tidak setuju, tapi itu pendapatku.

Sepertinya aku terlalu banya berhayal sepanjang perjalanan hingga tidak sadar bawha mobil yang kutumpangi sudah memasuki halaman rumah. Baru saja hendak membuka pintu mobil, samar-samar aku mendengar suara tangis Fatimah yang menggema. Aku segera berlari ke dalam rumah untuk memeriksa penyebab tangisnya. Dan yang kulihat benar-benar jauh dari bayanganku....

To Be Continued