Can you still feel me loving you?
-Bridgett Devoue-
Juni,2017
Langitnya akan menangis sebentar lagi.
"Bisa kita memainkan permainan yang lebih menantang lagi? Yang tadi tidak seru!"
Aku mendongak selagi suara itu terdengar cukup keras. Menggelitik telinga. Menemukan presensi sepasang kekasih, tengah berdebat kecil berdiri sambil bergandeng tangan disalah satu both dengan sang wanita yang menunjuk ke segala arah tepat disetiap wahana ekstrim dengan ekspresi dibuat paling menggemaskan, memukul pundak sang lelaki agar menyetujui permintaannya segera.
"Beri aku alasan mengapa aku sulit meninggalkanmu," ujar si pria merasa gemas. "Kau mencintaiku, hanya itu alasannya," Kata si wanita.
Refleks, aku menggeleng tidak setuju. Dia juga mencintaiku, tapi sekaligus meninggalkanku.
Tanpa bisa dicegah lagi pikiranku kembali ke masa lalu, masa di mana aku menemukan senyuman terbaik sepanjang masa. Senyum kotak dengan mata sipit yang nyaris menghilang setiap melakukannya. Pria yang menjadi rumah. Pria yang menjadi semangatku pergi ke kantor kemahasiswaan selepas kelas berakhir. Sekaligus pria yang memberi obat serta luka secara bersamaan.
Seorang pria yang membuatku memupuk rindu dalam-dalam.
Di tempat ini. waktu ini. tiga tahun lalu seorang pria bajingan, hilter, serigala berbulu domba mampu membuat duniaku terhenti begitu saja. Seorang pria bajingan yang mengatakan ingin pergi kembali ke taman bermain ini beberapa tahun kemudian bersamaku, merangkai hari indah bersama seorang malaikat kecil yang nantinya akan menggenggam tangan kami berdua, merengek sambil menunjuk stan gulali dengan lucu. Menaiki wahana-wahana yang ada dengan perasaan yang lebih baik lagi. Sebuah bayangan manis yang tak mampu diwujudkan lagi. Kenangan manis memang selalu menjadi hal paling buruk untuk dilupakan.
Menarik napas panjang. Aku mengatur napasku, mencegah bayang-bayang itu kembali melingkupi isi kepalaku begitu saja. Namun rasanya begitu sulit, sangat sulit hingga aku menyerah disatu titik di mana aku mengakui bahwa hal paling sulit yang pernah aku lakukan adalah melupakannya, melupakan sepenggal kisah manis diantara aku dan dirinya.
Luka yang belum sempat mengering itu kembali terbuka, menyisikan sebuah luka baru yang mungkin akan lebih buruk lagi. Hiruk-piruk taman bermain ditambah aroma manis caton candy yang terbawa angin tercium menggugah selera. Namun tidak. Aku tidak tertarik. Apalagi setelah diriku disuruh menunggu lebih lama lagi ditengah keriuhan serta teriakan orang-orang yang jiwanya meluncur di wahana roller coaster semakin membuatku muak saja. Mengecek jam, aku berdecak kesal, jadi aku membalikan badan berniat menuju ke arah gerbang keluar hingga suara berat seseorang menghentikan laju langkah kakiku.
"Aletta!"
Aku berbalik. Menyipitkan mata memandang seorang lelaki jangkung berkulit putih yang berdiri cukup jauh sambil melambaikan tangannya. Seakan sebuah film adegan slow motion, lelaki itu berlari mendekat, tersenyum ramah lalu menawarkan high five kepadaku.
"Alleta."
"Ya, ini aku. Kau membuatku menunggu lama. Kesalahan berarti hukuman." Ucapku sinis. Nyaris tertawa ketika melihat ekspresi lawan bicaraku yang berganti seratus delapan puluh derajat dari awalnya, "Tidak susah, kok"
Aku mengiringnya duduk di sampingku, lantas berucap pasti, "Cukup naik roller coaster bersamaku."
Pria di sampingku tergelak, hampir terpingkal saat menjawab remeh, "Hanya itu? kau yakin?"
"Kau seharusnya berkata 'tidakkah ada pilihan lain' ketimbang berlagak sok pemberani seperti itu. aku masih ingat ketika terakhir kali kita kemari dengan beraninya kau menantang untuk melakukan hal yang sama dengan hasil akhir dirimu yang bahkan untuk bernapas pun kau kesulitan," ungkapku begitu saja, kembali di masa-masa ketika kamus indah masih ada dalam hidupku.
Lelaki itu bangkit, lantas menarik pergelangan tanganku dengan gerakan tiba-tiba. Hingga aku nyaris terjerembab di tengah-tengah kerumunan orang jika saja tubuhku tidak merespon secara cepat.
Kami berdua harus berjalan cukup jauh hingga sampai dititik di mana kami harus mengantri, menunggu giliran untuk menaiki wahana yang meliuk-liuk, berputar, hingga melaju pada kecepatan kedipan mata di atas kepalaku. Sial, ini lebih buruk dari yang kupikirkan. suara gemuruh wahana itu kembali menggema disertai teriakan histeris para penumpang menambah keadaanku lebih buruk lagi.
Tetapi pada akhirnya suara gelak tawa yang lebih nyaring mengisi pendengaranku. Melirik ke samping, menemukan seorang lelaki sinting berusaha menahan tawanya, seperti ketika mendapati diriku yang berdiri kaku dengan bibir pucat adalah hal paling lucu sepanjang masa. Tidak terima, aku berusaha membela diri, "Apa? Mau mengatakan aku takut? Enak saja, tidak, ya."
Mencoba bersikap biasa dengan membuat ekspresi sedatar mungkin, walau debaran jantungku telah mengalahkan lajunya lesatan vampire, Lelaki itu malah menepuk pundakku, berujar pelan walau terasa menjengkelkan, "Jika takut akui saja, bodoh. Kau bisa menggenggam tanganku nanti."
Memukul lengannya sekeras mungkin, hingga aku sedikit menjauh dari tubuhnya. Memberikan tatapan jijik sekaligus kesal secara bersamaan, "Apa? sekarang kau pintar menggoda anak gadis, ya?"
Tidak menjawab, Lelaki itu sudah keburu menggenggam tanganku, sukses mengirimkan sengatan listrik di punggung. Menarikku menuju kursi yang sialnya berada pada bagian paling depan Roller coaster. Sial, kursi keramat. "Masih banyak kursi lain, kenapa harus ini?" tanyaku was-was.
"Apa? Memangnya ada yang salah? Jika takut akui saja."
"Tidak takut, kok."
Sialan, apa lagi sekarang? Aku bahkan berbohong hanya karena gengsi. Bahkan sebelum menaiki kursinya, aku sibuk memanjatkan doa pada Tuhan agar tidak membawaku pergi hari ini. Sedangkan lelaki sialan itu sudah terlebih dahulu naik, memandangiku dengan ekspresi paling menyebalkan di dunia, "Apalagi? Cepat naik."
Demi kerang ajaib, aku bisa melihat kepuasan di wajahnya yang menyebalkan itu. sukses mengirimkan sekelebat emosi dalam diriku agar segera mencabik wajahnya saat ini juga. Setelah menarik napas panjang, kakiku melangkah masuk. Memasang tali pengaman dengan tangan yang mencengkram erat. Berjaga-jaga sewaktu tiba-tiba roller coaster bergerak sebelum waktunya.
Baru setelah beberapa menit kemudian, terdengar intruksi bahwa wahana itu akan melaju sebentar lagi. Mengirim rasa mual mendadak di perut.
Tubuhku seketika menegang ketika roller coaster bergerak lebih dekat ke titik puncak, hingga aku memberanikan melirik pria sinting di sampingku yang memang sedang memandangiku dengan ekspresi tak terbaca antara gemas dan meremehkan, "Sini." Katanya.
Aku mengangkat dagu, mengisyaratkan agar berbicara lebih keras karena suara pria itu teredam oleh suara teriakan yang menggema dari arah belakang.
"Sini. Mendekatlah." Ujarnya, melambaikan tangannya agar aku mendekat.
Karena penasaran, otomatis aku mendekatkan tubuh ke arahnya. Sedangkan roller coaster ini semakin berada dititik puncak. Seketika, dari sepersekon detik yang lalu tubuhku membeku, nyaris mati secara tiba-tiba saat merasakan sebuah benda kenyal dan basah menempel di pipiku, mengirim sensasi ribuan kupu-kupu melayang di rongga perut.
Bagai sebuah sengatan listrik yang mampu melumpuhkan tubuhku dengan cepat. Detik itu juga, tubuhku lemas nyaris jatuh jika saja lelaki itu tidak menggenggam erat tanganku, mengusapnya lembut sambil berkata pelan, "Aku akan disini. Bersamamu. Berada di sampingmu untuk selamanya. Merangkai hari-hari indah hanya denganmu saja. Dan kau bisa percaya padaku, sebagaimanapun aku memperlakukanmu, sebagaimanapun menjengkelkannya aku terhadapmu. Kau hanya perlu ingat bahwa seseorang yang benar-benar mampu bersamamu adalah seseorang yang memperlakukanmu apa adanya, tidak menutup apapun barang sekecil kutu. Dan kau tahu? apa yang lebih indah dari pelangi? Yaitu ketika aku bisa mencintaimu hingga detik ini."
Oh. Sedikit lagi. Tidak. Jangan.
Tuhan.
"Jika memang suatu saat takdir itu tidak bisa lagi terjalin." Lelaki itu menjeda sejenak, menarik napas, menatap sepasang netra coklat milikku. Hingga dapat kurasakan genggamannya terasa lebih kuat lagi, memaksaku untuk membalas dengan hal serupa tepat sesaat sebelum roller coaster menukik tajam secepat kilatan cahaya, menembus angin yang bahkan sudah tak mampu lagi membuatku takut, "Tolong jangan pernah menyesalinya, karena sesungguhnya untuk beberapa alasan Tuhan telah membuat takdir yang lebih indah."
Kemudian, seperti sesuatu yang sudah disetting sebelumnya. Langit menumpahkan seluruh yang sudah ditampungnya, titik air itu menghantam wajahku bertubi-tubi.
Menutupi air mataku yang sudah keluar sama derasnya.